Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #6

Sebuah Pelajaran

Mobil otomatis terparkir di kolong sebuah jalan tol di pinggiran kota. Baram dan Arial keluar dari mobil tersebut.

“Di sinikah tempatnya? Aku tidak melihat ada rumah,” tanya Arial.

“Begitulah kata admin, sejauh ini mereka tidak pernah salah, kamu tahu bagaimana mereka bekerja?” tanya Baram

“Ya, kurang lebih, mereka menyortir data penduduk dan melihat jumlah kekayaan mereka satu per satu, bukan begitu?” tanya Arial meminta konfirmasi atas jawabannya.

“Betul sekali, tidak sia-sia kamu jadi anak jenderal,” ejek Baram sambil berjalan ke arah rerumputan.

“Aku baca buku lebih banyak darimu, Baram,” balas Arial.

“Oh, baiklah kutu buku,” ejek Baram sambil tertawa gembira karena menemukan nama panggilan yang cocok untuk rekannya ini.

Mereka berjalan melalui rerumputan yang tingginya sedengkul. Jika mereka tidak memakai setelan kaki mereka sudah pasti gatal bukan main. Tanah menempel di sepatu mereka yang putih. Baram tidak peduli dengan itu, sedangkan Arial sedikit-sedikit berhenti dan mengangkat kakinya untuk melihat telapak sepatu.

“Selamat, akhirnya setelah sekian lama di divisi Auditor, sepatumu kotor juga,” sindir Baram.

“Kamu lucu sekali, apakah kamu dulunya seorang badut?” balas Arial.

Baram memelototinya dengan tajam. Tatapannya seperti ingin menghajar orang. Arial tampak tidak takut dan balas memelototinya sambil melebarkan kedua tangan.

“Kenapa? Kamu suka mengejek orang tetapi tidak terima bila diejek?” kata Arial.

“Tidak, bukan begitu. Aku hanya berpikir bahwa kamu sangat humoris,” kata Baram dengan nada datar. “Lihat ke depan, kita sudah hampir sampai.”

Dari kejauhan terlihat sebuah desa dengan rumah-rumah kayu. Panas matahari membuat pandangan kabur dan bergelombang.

“Tampak seperti desa. Apa mata pencaharian mereka ya? Selama ini mereka terus selamat dari dekrit Auditor, sepertinya mereka memiliki semangat bertahan hidup yang tinggi,” kata Arial.

“Aku tidak peduli, aku berharap mereka semua tidak lolos di hadapan wealth checker milikku sehingga aku bisa membantai satu desa itu. Sudah lama sekali aku tidak membantai satu desa. Pertama dekrit disahkan, hampir setiap hari aku membantai satu desa bersama Dubana, inspektur kesayanganmu itu,” kata Baram.

“Kamu benar-benar membunuh warga satu desa?” tanya Arial.

“Ya, benar. Walaupun sebenarnya ada beberapa yang tidak tergolong orang miskin sih, mereka selamat dari murkaku, tetapi terkadang bila aku iseng, aku menembak mereka juga,” cerita Baram sambil tertawa terbahak-bahak.

“Apa? Kamu membunuh mereka? Bukankah itu melanggar undang-undang? Kamu membunuh orang tidak bersalah,” tanya Arial yang sangat terkejut mendengar perkataannya.

“Memang. Tetapi aku tinggal bilang bahwa aku tidak sengaja. Saat itu mereka tidak mungkin mengurungku karena polisi Auditor tidak banyak dan dekrit ini harus dijalankan dengan cepat. Aku tidak tersentuh. Sekarang aku harus lebih berhati-hati,” kata Baram.

“Aku tidak tahu bahwa kamu orang yang seperti itu,” kata Arial. Dia sekarang tidak heran mengapa Baram merupakan salah satu orang paling ditakuti di kepolisian, bahkan dia berpikir bahwa Baram sedikit gila dan mengerikan.

“Oh, Arial. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku, bahkan seperdelapannya saja tidak,” kata Baram dengan sombongnya.

“Setelah aku berbicara denganmu, aku jadi tahu, kamu tidak mempunyai kosakata yang luas. Pemilihan katamu sangat terbatas. Kamu harus banyak membaca,” kata Arial.

“Hei, kamu sekarang berbicara layaknya kutu buku sejati. Untuk apa punya banyak kosakata jika aku punya ini?” kata Baram sambil menepuk-nepuk pistol putih di sabuk senjatanya

Mereka sudah dekat dengan desa. Beberapa ibu rumah tangga yang sedang menjemur baju di depan rumah mereka langsung meninggalkan jemurannya itu dan menggendong anak mereka yang sedang bermain untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa dari mereka berlari mencari anaknya yang entah bermain di mana sambil meneriaki nama mereka. Jendela-jendela rumah yang terbuka langsung ditutup.

“Lihatlah itu, Arial. Lihatlah baik-baik. Ini adalah pemandangan yang paling aku sukai di dunia ini. Panjatlah gunung, pergilah berkelana, lihat matahari terbenam di pantai, aku berani bertaruh tidak akan lebih indah dari melihat orang-orang yang berlari ketakutan karena kehadiran kita. Kamu tidak akan merasakan hal seperti ini dengan menjadi tentara,” tutur Baram dengan gembira.

Arial kini benar-benar yakin bahwa kosa kata Baram memang terbatas. Jika Arial yang berbicara, dia akan berkata seperti panjatlah gunung Everest, pandangilah aurora di Reykjavik, nikmatilah matahari terbenam di Santorini.

“Kamu benar-benar gila, apakah kamu tahu itu?” tanya Arial.

“Gila? Itu adalah pujian terbaik yang dapat aku terima. Aku tidak peduli tidak dihormati, aku lebih memilih untuk ditakuti. Kamu, Arial, mana yang lebih kamu pilih? Dihormati atau ditakuti?”

“Aku? Tentu saja dihormati. Dengan begitu, aku juga akan disegani.”

“Dengan ditakuti kamu juga bisa disegani,” kata Baram. “Walaupun kamu tidak akan mendapatkan kedua-duanya karena kamu hanyalah karung tinju.”

Mereka berdua sudah menginjakan kaki di desa yang mendadak sepi itu. Tampilannya benar-benar seperti kota mati. Tidak ada satu pun orang yang terkena matahari selain mereka berdua.

“Aku yakin kamu tidak tahu ada desa di sini. Kita hanya dua puluh kilometer di luar ibu kota,” kata Baram.

“Ya, aksesnya lumayan tersembunyi. Mobil tidak bisa masuk ke sini,” kata Arial.

“Rumahnya nomor 21, ayo kita cari,” kata Baram sambil mulai berjalan.

“Haruskah kita berpencar?” tanya Arial.

“Berpencar?” kata Baram sambil tertawa. “Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa ya.”

“Aku hanya bertanya, tidak perlu sampai menghina seperti itu kan?” balas Arial.

“Baiklah. Kita tidak perlu berpencar, ini bukan misi yang darurat. Berbahaya pun tidak. Kita hanya akan bersenang-senang di sini. Paham? Kamu harus menikmati pekerjaan ini. Buatlah dirimu nyaman,” kata Baram.

“Mana bisa nyaman ketika menembak kepala orang?” tanya Arial.

“Sudahlah, kamu hanya belum terbiasa dengan semua ini. Jika sudah terbiasa kamu bahkan bisa menembak orang sambil makan pizza,” kata Baram.

Mereka tiba di depan sebuah rumah kayu yang sederhana. Nomor 21 tertempel di dindingnya. Jendelanya penuh dengan debu. Beberapa ayam berada di kandang di halaman rumah tersebut. Kokokannya membuat kepala Baram pusing sehingga dia mengeluarkan pisau dari sabuk senjatanya. Arial yang melihat itu tentu saja terkesiap.

“Baram, Apa yang kamu lakukan? Simpan pisau itu!” seru Arial.

Lihat selengkapnya