Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #8

Monster dan Keluarganya

Jarum di jam tangan sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah tiga jam lamanya Dubana duduk di tempat yang sama, di kafe yang sama, dengan cangkir minuman yang sama, hanya saja isinya sudah dihabiskannya sedari tadi. Dia masih gelisah juga. Maju ke medan perang lebih mudah dibandingkan melakukan hal yang akan dia lakukan sebentar lagi. Sudah cukup lama dia menunda dan mengumpulkan niatnya. Dia memandang cangkir teh sekali lagi, entah untuk apa. Lalu memandang keluar kaca jendela, memperhatikan orang-orang yang berseliweran, entah untuk apa. Dia kembali melihat jam tangannya, lalu melihat robot-robot pekerja di balik meja kasir, entah untuk apa. Terakhir, dia memandang ke robot pelayan yang sedang membersihkan secuil kotoran di kolong meja di sudut kafe. Akhirnya dia berdiri. Cukup lama dia berdiri, sebelum akhirnya memantapkan langkah pertamanya. Dia keluar dari kafe itu dan masuk ke dalam mobil pribadinya. Dia duduk di sofa belakang.

“Selamat siang tuan Dubana, tentukan tujuan kamu dan oskar autocar akan mengantar kamu tiba dengan tepat dan selamat.”

“Selamat siang Bowie. Antarkan aku ke rumah kakakku.”

Terdapat fitur menyimpan alamat pada oskar autocar. Pemilik mobil bisa menyimpan alamat rumah, keluarga, maupun tempat kerja, sehingga lebih praktis untuk diucapkan dibandingkan harus mengucapkan alamat lengkap berulang kali. Selain itu juga terdapat fitur untuk menamakan mobil. Arial menamakan mobilnya ‘Bacot’ karena mulut virtualnya yang cerewet.

“Tujuan sudah diterima, kami akan mengantarkan kamu ke rumah kakakmu yang berjarak sekitar 69.3 km. Apakah kamu sudah yakin dan siap berangkat?”

“Ya.” kata Dubana. “Dan aktifkan mode sunyi, aku ingin menikmati perjalanan ini.”

“Dimengerti. Kencangkan sabuk pengamanmu, karena kita akan segera berangkat. Sekedar informasi, kamu sudah tidak mengunjungi tujuan ini sejak empat tahun yang lal...”

“Aktifkan mode sunyi!”

“Dimengerti, sebelum kami mengaktifkan mode sunyi, kami ingin mengingatkan kembali untuk mengencangkan sabuk pengaman, karena kita akan segera berangkat, terima kasih.”

“Dan jangan berbicara kecuali aku yang bertanya duluan.”

Bowie terangkat perlahan sehingga melayang sedikit di udara. Jet di bagian belakang mobil mulai aktif dan mendorong mobil untuk maju ke depan.

“Bowie, tolong atur kecepatan maksimal di lima kilometer per jam,”

“Maaf, Tuan Dubana. Tetapi sistem kami hanya bisa mengatur kecepatan maksimal terendah di dua puluh kilometer per jam.”

“Baiklah, kalau gitu dua puluh kilometer per jam. Jadikan perjalanan ini perjalanan yang lama dan membosankan,” perintah Dubana sambil memandang keluar jendela.

“Dimengerti. Kecepatan maksimal dalam perjalanan kali ini adalah dua puluh kilometer per jam. Kamu akan tiba di tempat tujuan pada pukul tujuh belas lewat dua puluh satu menit. Selamat menikmati perjalananmu.”

Dubana tampak semakin gelisah. Dia berganti-gantian memandang ke sana sini. Terkadang dia memandang ke jendela sebelah kanan, lalu sebelah kiri, lalu jendela depan, bahkan jendela belakang. Dia memperhatikan orang-orang di jalan, betapa mereka semua mempunyai kepentingan masing-masing. Beberapa drone di udara sedang terbang membawa paket. Ada sebuah paket yang sangat besar dan dibawa oleh empat buah drone. Mungkin isinya lemari es.

Dubana berusaha berbaring di sofa mobil untuk tidur, tetapi tidak bisa. Lalu lintas hari itu cukup padat. Baru kali ini ada seseorang yang bersyukur karena lalu lintas yang tidak lancar. Walaupun hanya secepat dua puluh kilometer per jam dan jalanan yang tidak begitu lancar, tidak terasa dua jam telah berlalu. Dia tidak sadar sudah melewati pintu tol dan kini berada di jalan tol menuju Banten dan terus melaju dengan pelan di jalur sebelah kiri. Rasa bosan dan gelisah membuatnya membuka glassphone untuk membaca-baca berita. Kali saja ada yang menarik perhatiannya, dan benar saja, sebuah berita yang mengabarkan tentang kemajuan dalam teknologi. “Ilmuwan asal Indonesia berhasil menciptakan robot yang dapat bersandiwara,” begitu isi tajuk utama dari berita tersebut. Dubana membuka berita tersebut, membacanya dan memutar videonya. Tampak sebuah robot wanita yang sedang syuting film. Dalam video diperlihatkan bahwa robot tersebut bisa menangis, sungguh sebuah kemajuan teknologi.

Ketika dilihatnya tujuannya tinggal tiga puluh kilometer lagi, Dubana semakin gelisah dan menutup glassphone-nya. “Bowie, tolong berhenti di rest area terdekat,” perintahnya.

“Dimengerti.”

Bowie berbelok ke kiri, memasuki sebuah rest area lalu parkir di sana bersama mobil-mobil lainnya di lapangan parkir terbuka. Dubana keluar lalu berdiri di samping Bowie. Dia mengeluarkan cerutu dari balik jaket coklatnya, lalu menyalakannya sambil mengamati sekitar. Ada seorang ibu yang berjalan bersama anaknya sambil membawa balon. Ada seorang ayah yang merokok elektrik di depan rumah makan. Tempat bermain yang dahulu adalah pom bensin kini dipenuhi oleh anak-anak. Siapa yang butuh bensin jika sudah ada mobil bertenaga matahari?

Cukup lama Dubana menghabiskan waktu di sana. Yang dia lakukan hanyalah menghisap cerutunya dan mengamati sekitarnya. Matahari sudah siap untuk membenamkan dirinya. Dia membuang sisa cerutunya ke atas tanah begitu saja, kemudian memasuki mobilnya kembali dan duduk di sofa belakang.

“Selamat sore, Tuan Dubana. Apakah kamu ingin melanjutkan kembali perjalananmu?”

“Ya, tentu saja. Aktifkan mode senyap. Jangan berbicara jika aku tidak bertanya terlebih dahulu.”

“Dimengerti.”

Bowie terangkat ke udara dan melaju. Ketika itu, sebuah robot pembersih jalanan datang. Dia tidak memiliki kaki. Bagian bawah tubuhnya memiliki roda dan bentuknya mirip dengan tank. Sedangkan bagian atas tubuhnya seperti manusia, memiliki kepala dan tangan, tetapi tidak dilapisi kulit, hanya logam. Dia memungut cerutu yang dibuang oleh Dubana, lalu membuangnya ke tong sampah terdekat. Teknologi mengurangi kedisplinan manusia. Hanya sedikit orang yang masih membuang sampah ke tong sampah, dan beberapa dari mereka melakukannya karena kebetulan berada di dekat tong sampah. Untuk apa repot-repot membawa sampah sampai menemukan tong sampah jika bisa membuangnya sembarangan dan lingkungan tetap bersih?

Kaki Dubana tidak bisa berhenti bergerak. Semakin dekat dengan tujuan, semakin gelisah dirinya. Dia terus-terusan melihat layar di dasbor mobil. Angka kilometer tersebut terus menerus berkurang. Konsentrasinya teralihkan ketika dia mendengar suara seperti beratus-ratus benda di udara yang sedang terbang. Dia berpindah duduk ke kursi depan. Dari jendela depan, dia melihat ke langit. Ratusan drone pengintai sedang terbang menuju ibu kota. Mereka pasti baru saja selesai uji coba penerbangan dan akan segera digunakan. Dia teringat akan berita yang dibacanya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor polisi. Hari ini pemerintah akan mendatangkan ribuan drone ke berbagai kota di Indonesia. Drone-drone itu dibeli dari Amerika Serikat. Tujuannya tentu saja untuk berpatroli. Beberapa dari drone tersebut bahkan memiliki senjata api yang bisa langsung digunakan untuk menembak siapa saja yang tertangkap melakukan tindak kriminal. Negara-negara lain terutama negara maju sudah lebih dari dua tahun mempraktikkan hal ini. Hasilnya, penurunan angka kriminal hingga delapan puluh empat persen. Beberapa tindakan kriminal tetap terjadi di luar pengawasan drone. Para kriminal itu menunggu hingga drone pergi untuk melaksanakan aksinya. Beberapa dari mereka bahkan nekat menghancurkan drone-drone. Memang pada akhirnya kriminal-kriminal itu tertangkap juga, sehingga jumlah kasus yang terpecahkan hingga sembilan puluh dua persen. Pada masa ini hanya dua tipe kriminal yang tidak akan tertangkap yaitu seorang psikopat jenius atau yang melakukan tindak kriminal di tempat tinggi.

Tidak terasa, lamunan Dubana cukup banyak membunuh waktu. Dia melihat angka kilometer di layar dasbor, lima koma enam kilometer lagi menuju tujuan. Sebentar lagi dia harus menghadapinya, sesuatu yang ditunda-tundanya selama empat tahun, entah karena kemalasan, rasa ketidakpantasan, atau hal lain. Sepertinya dia harus memandang cermin berhari-hari untuk mengetahui alasan sebenarnya.

Dubana membuka jendela sebelah kirinya, menyalakan cerutunya dan menghisapnya. Asap cerutu membumbung tinggi di udara dan terhempas angin ke belakang sehingga Bowie terlihat seperti gerbong kereta uap. Dubana melihat pemandangan di jendela kirinya, persawahan terbentang luas. Ada sebuah gambaran siluet sosok seseorang di kejauhan yang tampaknya adalah robot petani. Jangan bayangkan apa yang terjadi pada para petani karena yang tersisa hanyalah mereka yang cukup beruntung untuk memiliki juragan baik hati yang tidak membeli robot. Apakah ilmu pertanian akan punah dengan menghilangnya para petani? Tidak. Karena robot-robot canggih itu memiliki program yang dipenuhi dengan pengetahuan dan teknik pertanian. Sama dengan robot penjaga yang memiliki pengetahuan dan teknik keamanan, robot pembantu yang memiliki pengetahuan dan teknik hospitality dan robot-robot lainnya dengan tujuan masing-masing. Mereka sejatinya pengetahuan itu sendiri.

Lihat selengkapnya