Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #11

Misi di tempat sepi

Dubana terbangun di pagi hari. Nakas di samping ranjangnya tampak berantakan dengan asbak yang penuh dengan sisa-sisa cerutu sehingga meluber keluar. Dia membuka glassphone untuk mengecek apakah ada pesan penting mengenai pekerjaannya. Sebuah pesan singkat tersimpan di dalam kotak masuknya. Dia membacanya. Itu adalah sebuah panggilan misi divisi Auditorial. Dubana menelpon nomor administrasi divisi Auditorial.

“Admin, apakah kamu mempunyai informasi tentang siapa target misiku kali ini?” tanyanya melalui telepon.

“Aku adalah sistem operasi yang baru. Perkenalkan, namaku adalah PAI, kepanjangan dari Police Artificial Intelligence. Aku adalah sistem operasi yang akan melayani setiap petugas polisi,” jawab suara dari dalam telepon.

“Ke mana para Admin yang biasanya?” tanya Dubana.

“Pekerjaan mereka dinilai terlalu lama dalam mendeteksi adanya orang miskin. Kepolisian sudah terlalu lama menjaga mereka atas dasar tenggang rasa. Dan aku baru saja rampung dari proses pengembangan yang memakan waktu dua tahun,” jawab PAI. “Kembali ke misimu, targetmu bernama Wati Pujiono, umur tujuh puluh enam tahun, dan baru saja keluar dari penjara tiga bulan yang lalu. Berhati-hatilah karena targetmu adalah mantan narapidana. Aku akan mengirimkan foto target ke glassphone-mu. Itu saja yang bisa kusampaikan. Kamu bisa langsung menjalankan misimu tanpa harus ke kantor terlebih dahulu. Setelah itu, kamu bisa langsung pulang dan beristirahat, tidak perlu ke kantor. Kali ini kamu menjalankan misi ini sendiri karena petugas Arial sedang mengambil cuti sakit. Mohon gunakan mobil pribadimu, karena untuk mengambil mobil dinas kamu harus ke kantor terlebih dahulu dan itu akan memakan waktu. Jangan ditunda. Terima kasih.”

Telepon terputus. Dubana menduga-duga mengapa Arial mengambil cuti sakit. Mungkin pelajaran yang diterimanya dari Baram terlalu keras. Dubana sudah mengenal Baram sejak di militer. Dia sudah tahu mengenai kegilaannya. Suatu ketika dia mengerjai seorang junior dengan melempar helmnya ke danau dan menyuruh junior itu mengambilnya sendiri. Junior itu hampir saja dimakan buaya. Yang lebih mengesalkan lagi Baram tidak menolong sama sekali melainkan tertawa dengan gembira. Untung saja yang lainnya menolong junior itu. Tetapi Baram tidak pernah berani macam-macam dengan Dubana dari semenjak pertama mereka bertemu di militer.

Dubana bangun dan merapikan tempat tidurnya. Dia membuka lemarinya dan mengambil setelan seragam Auditornya yang serba putih itu, digantung dalam satu gantungan baju. Sepanjang deret lemari itu hanya ada seragam auditornya saja. Dia menaruh setelan serba putih itu di atas ranjangnya yang sudah rapi lalu membuka laci nakasnya dan mengambil sebuah cerutu, pemotong cerutu dan korek api besi milik Amran. Dia pergi ke beranda rumahnya dan duduk di sebuah set meja teh di sana. Dia memotong ujung cerutu dengan pemotong cerutunya lalu memasukkan ujung cerutu satunya ke mulutnya. Dia mengambil korek api dan menyalakan cerutunya. Dia meniup-niup ujung cerutunya yang terbakar hingga nyalanya merah membara. Ketika cerutu itu sudah terbakar dengan baik, Dubana menghisapnya dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi di udara. Ada tiga hal yang dia nikmati secara bersamaan yaitu cerutunya, udara pagi hari dan pemandangan kota dari rumahnya yang berada di lantai lima puluh. Setelah selesai ritual paginya itu, dia mandi, mempersiapkan diri untuk pergi menjalankan misinya.

Dubana menuruni tangga menuju lantai satu rumahnya lalu berjalan melalui ruang tamu. Di depan pintu keluar rumahnya dia mengambil jaket coklat kesayangannya yang tergantung di standing hanger. Sesudah memakai jaket coklatnya, dia membuka pintu rumahnya dan keluar dari sana. Kini sudah lengkap setelan yang dikenakannya, kemeja, celana bahan dan sepatu serba putih dengan jaket coklat. Bowie sudah terparkir di halaman rumah. “Bowie, buka pintunya,” perintah Dubana sambil menuruni tangga rumahnya. Pintu mobil bagian depan terbuka, Dubana masuk ke dalamnya.

“Selamat pagi, Tuan Dubana,”

“Bisakah kamu berbicara dengan tidak formal kali ini? Maksudku dengan tidak mengikuti skenario yang sudah ditulis di dalam sistemmu,” perintah Dubana.

“Dimengerti. Aku akan mencobanya. Tentukan tujuan kamu dan oskar autocar akan...”

“Stop!” sela Dubana. “Itu masih terlalu formal. Sudah kubilang jangan mengikuti skenario yang tertulis di dalam sistemmu.”

“Baiklah kalau begitu. Halo, Tuan Dubana. Mau ke mana?” tanya Bowie dengan nada yang kaku.

“Begitu lebih baik,” kata Dubana. “Antarkan aku ke desa Sayembara, Bowie.”

“Desa Sayembara berada sekitar delapan puluh lima kilometer dari posisi kita sekarang. Aku harap kamu mengencangkan sabuk pengamanmu, Tuan Dubana. Perjalanan kali ini akan membuat leher pegal.”

“Kamu tidak punya leher, Bowie,” kata Dubana sambil mengecangkan sabuk pengamannya.

Bowie terangkat sedikit ke udara, lalu berjalan di area komplek perumahan itu. Dia tiba di depan sebuah garasi yang terbuat dari kaca. Pintu garasi itu terbuka otomatis, Bowie masuk ke dalamnya. Pintu itu menutup kembali.

“Selamat pagi. Kami akan mengecek identitas terlebih dahulu,” kata sebuah suara di dalam garasi tersebut. “Selamat pagi, Tuan Dubana. Ke lantai berapakah kamu ingin pergi?”

“GF,” jawab Dubana dengan singkat.

“Dimengerti,” kata suara tersebut. Lantai garasi tersebut turun ke bawah. Ternyata garasi tersebut adalah sebuah lift.

Rumah Dubana memang berada di komplek di lantai lima puluh dari sebuah gedung apartemen bernama The View. Lantai satu hingga empat puluh terdiri dari unit-unit apartemen biasa, lantai empat puluh satu hingga empat puluh sembilan merupakan kondominium, sedangkan lantai lima puluh merupakan komplek perumahan. Di komplek perumahan ini terdapat kolam renang, lapangan olahraga, taman yang luas, panel surya untuk memasok tenaga apartemen dan fasilitas lainnya. Sudah banyak gedung yang dibangun dengan konsep komplek perumahan di lantai paling atasnya. Berjalan-jalan di komplek perumahan ini sama seperti berjalan di komplek perumahan pada umumnya, hanya saja pemandangannya begitu indah dan udaranya begitu sejuk. Meski memiliki panel surya, mereka masih tetap membayar listrik, begitu pun rumah-rumah warga, tidak ada yang berubah dari hal itu.

Bowie telah keluar dari The View. Di langit terdapat begitu banyak drone yang beterbangan. Dubana mulai kesulitan membedakan mana yang drone pengintai, mana yang mengantarkan barang. Pagi itu matahari sebetulnya lumayan terik, tapi gedung-gedung tinggi menghalangi sinarnya sehingga yang menyentuh jalan raya hanyalah bayangan gedung saja.

“Tuan Dubana,” sapa Bowie memecah keheningan.

Lihat selengkapnya