Dubana masuk ke dalam mobilnya. “Selamat sore Tuan Dubana. Apakah kamu sudah menyelesaikan misimu,” tanya Bowie.
“Tentu saja, ayo kita pulang,” ajak Dubana sambil menaruh syal merah dan jaket coklatnya di jok belakang.
“Baiklah, kencangkan sabuk pengamanmu,” kata Bowie. Mobil itu terangkat ke udara dan melayang pergi.
“Bowie, apakah kamu bisa mencari informasi tentang seseorang?” tanya Dubana.
“Aku rasa aku bisa melakukan itu, memangnya siapa yang hendak kamu ketahui?” tanya Bowie.
“Seseorang bernama Alexei Pujiono,” jawab Dubana.
“Baiklah. Alexei Pujiono. Aku sudah menemukannya.”
“Cepat sekali.”
“Iya, aku menelusuri jejaring media sosial dan menemukannya,” kata Bowie dengan bangganya.
“Tunggu. Kamu punya sosial media?” tanya Dubana terkejut.
“Apakah itu sesuatu yang aneh?”
“Foto siapa yang kamu pajang di profilmu?”
“Seorang pria tampan yang sedang berfoto dengan mobil yang setipe denganku. Karena memasang foto ini, orang-orang jadi ramah denganku. Sebagian besar dari mereka mengikuti profilku kembali. Aku bahkan chatting dengan beberapa perempuan. Mereka mengira aku pria tampan yang kaya raya.”
“Aku tidak tahu bahwa robot bisa genit. Tetapi kamu kan tidak punya jenis kelamin.”
“Memang. Aku melakukan ini hanya sekedar iseng. Aku senang berbincang. Maka itu terkadang aku juga memasang foto perempuan dan chatting dengan laki-laki. Apakah kamu punya sosial media, Tuan Dubana?”
“Aku tidak punya waktu untuk itu. Bagaimana dengan informasi yang kuminta?” tanya Dubana.
“Oh iya, aku sampai lupa,” jawab Bowie. “Alexei Pujiono, dia tinggal di Jakarta, memiliki istri dan tiga orang putra. Sepertinya dia pengusaha dan memiliki sebuah kafe di Jakarta Selatan. Dia tampak sukses. Dia juga memiliki mobil sport otomatis.”
“Baiklah,” kata Dubana. Pantas saja Alexei meninggalkan dan tidak mau mengakui ibunya. Selain rasa malu akibat ibunya yang pembunuh dan ayahnya yang temperamen, pasti dia merasa kehidupannya yang sekarang sudah jauh lebih baik. Dia takut untuk menghadapi masa lalunya kembali. Rasa penasaran Dubana terpenuhi, tetapi dia merasa bingung terhadap dirinya sendiri karena sebetulnya dia tidak pernah ingin mencari tahu tentang orang lain. Dia merasa ada sesuatu bergerak di dalam jiwanya. Sesuatu yang asing.
Bowie sudah berada di jalan raya dan menuju ke pintu tol. Mereka berpapasan dengan sebuah mobil berwarna hitam bermerk Romero Autocar. Dubana melihat mobil itu melewati mobilnya dari arah yang berlawanan. Dia tahu betul mobil apa itu. Ketika sudah hampir melewati pintu tol, dia memberikan perintah, katanya, “Bowie, berhenti di pinggir sebentar.”
“Baik,” turut Bowie sambil menepi ke pinggir jalan.
“Putar balik mobilnya. Ayo kita kembali ke tempat tadi,” kata Dubana.
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu ke sana,” kata Bowie tanpa mempertanyakan apapun perintah dari Dubana.
Bowie memutar balik dan bergerak menuju Desa Sayembara. Dalam pikiran Dubana dia bertanya-tanya mengapa dirinya berkeinginan untuk melakukan hal ini. Ini bisa jadi berbahaya, tetapi dia sangat ingin melakukannya.
“Apakah ada sesuatu yang tertinggal, Tuan Dubana?” tanya Bowie.
“Ya,” jawab Dubana.
“Sesuatu itu pasti penting sekali. Untunglah kita belum terlalu jauh,” tanggap Bowie.
“Sebetulnya tidak penting. Tetapi entah mengapa, aku sangat ingin melakukannya,” kata Dubana.
“Keinginan manusia memang begitu. Kadang manusia menginginkan hal yang tidak penting. Kalian sudah punya keinginan bahkan sebelum bisa berbicara. Manusia selalu memiliki sesuatu yang diinginkan dan tidak diinginkan, dan bahkan manusia menginginkan sesuatu yang sebetulnya tidak ingin mereka inginkan,” tutur Bowie.
“Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba kamu berkata seperti itu, tetapi sepertinya masuk akal,” tanggap Dubana.
“Aku banyak membaca di waktu senggangku, bahkan di saat aku sedang mengantarkanmu ke tujuan,” kata Bowie.
“Berkendara sambil membaca adalah hal yang berbahaya, Bowie,” sahut Dubana.
Sekitar tujuh menit kemudian mereka sampai di depan gapura Desa Sayembara. Mobil Romero Autocar terparkir dekat dengan mereka. “Itu mobil yang tadi berpapasan dengan kita, Tuan Dubana,” kata Bowie.
“Aku tahu,” kata Dubana sambil turun dari mobil dan berjalan masuk ke desa. Pintu mobil tertutup dengan otomatis. Robot-robot di sekitar memperhatikan Dubana. Di kejauhan dia dapat melihat dua orang tim pembersih yang sedang memfoto tubuh Wati yang masih kaku di atas kursi meja teh. Kepalanya pun masih tergeletak di atas meja teh. Tim pembersih menggunakan setelan APD berwarna putih lengkap dengan masker hijau dan face shield. Ada sebuah tandu yang tergeletak di tanah di dekat mereka. Dubana mempercepat jalannya.
Seorang dari tim pembersih melihat Dubana. “Joko, coba lihat orang itu. Bukankah dia Inspektur Dubana?” katanya sambil menunjuk Dubana.
Joko berhenti memotret dan melihat Dubana. “Sepertinya kamu benar, Doni,” tanggapnya.
“Bukankah dia yang menjalani misi ini? Mengapa dia kembali lagi?” tanya Doni.
“Aku tidak tahu, mungkin ada sesuatu yang ketinggalan. Atau mungkin dia ingin membawa sendiri mayat nenek ini dan meringankan pekerjaan kita,” canda Joko sambil tertawa.
“Tetapi seorang Dubana tidak pernah meleset. Dia selalu menembak tepat di dahi,” kata Doni sambil memperhatikan lubang di mata jasad Wati.
“Perkataanmu itu benar adanya,” tanggap Joko.