Bus sekolah itu sedang melayang bergerak di atas jalan raya. Murid-murid sekolah sedang duduk di dalamnya. Mereka sama sekali tidak tenang. Sintia duduk bersama dengan Martha di barisan tengah bis. Di punggung kursi di hadapan Sintia tersandar sebuah kruk. Pergelangan kaki kanan Sintia dibalut oleh perban.
“Apakah mereka semua tidak bisa diam,” keluh Sintia.
“Tidak akan bisa,” sahut Martha. “Tidak ada guru yang menjaga kita.”
“Hanya saja aku pusing menahan sakit di kakiku. Meskipun sudah diperban, tapi sakitnya masih terasa,” kata Sintia.
“Setidaknya tidak ada EMI di sini yang menyebalkan. Aku baru tahu Artificial Intelligence bisa mengesalkan seperti itu.”
“Mau bagaimana lagi, dia diciptakan dan diprogram untuk bertingkah layaknya seorang guru.”
“Apa kamu ingat dengan guru matematika kita waktu masih di sekolah dasar?” tanya Martha. Mereka berbincang di tengah kebisingan bis sekolah ini.
“Pak Rizal? Tentu saja aku mengingat beliau. Beliau adalah guru yang paling humoris di sekolah kita. Aku selalu tertawa setiap kali beliau menyampaikan candaannya di kelas,” jawab Sintia.
“Aku setuju denganmu. Beliau adalah guru yang paling menyenangkan. Itu sebabnya aku sangat membenci dekrit Auditor,” ungkap Martha.
“Aku juga sangat membenci dekrit itu. Mereka memperlakukan orang-orang miskin itu dengan tidak manusiawi,” tanggap Sintia.
“Ya. Apakah perbuatan seperti itu bisa dibenarkan?” tanya Martha.
“Tidak. Itu adalah perbuatan yang salah dan tidak manusiawi. Hanya binatang yang bisa melakukan hal itu,” jawab Sintia.
“Hush!” bisik Martha. “Jangan bicara sembarangan. Bus ini bisa mendengarnya. Siapa tahu mereka punya perekam di dalam sini.”
“Aku tidak peduli, lagipula memangnya bus ini bisa bergosip seperti kita?” bantah Sintia.
“Tidak tahu, aku hanya takut tiba-tiba mereka mendengar pembicaran kita, entah dari mana. Lihat saja drone-drone yang memenuhi langit. Bukankah itu artinya semua gerakan dan perkataan kita mulai dibatasi?” tukas Martha.
“Kamu ada benarnya juga. Aku lebih senang jika drone digunakan sebagai pengantar barang saja. Lebih cepat dan tidak pernah terlambat,” kata Sintia.
“Pemikiran seperti itulah yang memulai dekrit Auditor, Sintia,” kata Martha.
“Benar. Tetapi seharusnya mereka memikirkan solusi lain untuk orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Toh mereka menjadi pengangguran karena ulah pemerintah,” tanggap Sintia.
“Kalau begitu, jika kamu menjadi pemerintah apa yang akan kamu lakukan untuk orang-orang miskin dan pengangguran?” tanya Martha.
“Aku tidak akan pernah mendatangkan robot,” jawab Sintia.
“Tetapi itu berarti kamu tidak akan menerima paket dengan cepat dan tepat lagi, apakah tidak apa-apa?” tanya Martha.
“Tidak apa-apa,” katanya sambil memandang langit melalui jendela bus. “Bagiku, nyawa manusia lebih berharga dibandingkan waktu.”
Sisa perjalanan itu dihabiskan Martha sambil mendengarkan lagu sedangkan Sintia mencoba untuk tidur di tengah ramainya suasana di dalam bis. Dia hanya bisa setengah tidur karena setelah itu dia pasti terbangun oleh suara murid yang tiba-tiba berteriak. Selalu ada yang berteriak di dalam bus sekolah. Beberapa saat berlalu, mereka pun tiba di tempat tujuan mereka.
Bus sekolah berhenti di parkiran sebuah menara yang sangat tinggi di daerah Jakarta Pusat. Bentuk menara itu sangat aneh, yaitu limas segi empat terbalik. Semua murid terkagum melihatnya, termasuk Sintia dan Martha. Ada sebuah plang besar yang terpasang di pintu masuk menara yang bertuliskan “Menara Pertanian dan Irigasi”. Anak-anak sekolah turun dari bus satu per satu. Sintia dan Martha menyiapkan tas mereka. Mereka menunggu hingga semuanya turun karena kondisi kaki Sintia. Setelah itu, Martha membantu Sintia untuk turun dari bus dengan susah payah.
“Terima kasih,” ucap Sintia kepada Martha ketika mereka turun dari bus.
“Dengan senang hati,” tanggap Martha. “Menurutmu apa yang akan kita lihat di menara ini?”