Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #16

Pengejaran, Pengkhianatan dan Keraguan di Kampung Janas

Arial berusaha mengarahkan senjatanya kepada Hasan sambil berlari. Guncangan kakinya membuat kekerannya menjadi kabur. Ketika Hasan hendak berbelok, dia menabrak seorang anak kecil yang sedang bersepeda hingga terjatuh. Dia berusaha bangkit kembali, namun Arial segera menerkamnya dari belakang hingga dahinya menyentuh tanah. “Diam di tempat!” bentaknya. Ibu dari anak kecil itu berlari menghampirinya dan menggendongnya menjauh dari tempat itu.

DOR!

Arial menembak bahu Hasan. Dia berteriak kesakitan. Letusan pistol dan teriakan Hasan mengundang semua orang di sekitar untuk melihat. Yang berjalan kaki segera mendekat hingga membentuk lingkaran, yang di dalam rumah segera membuka jendela dan menonton.

“Berbalik!” teriak Arial.

Hasan membalikkan badannya dengan perlahan dan susah payah. Arial yang tidak sabar memegang bahunya dan memutarnya dengan kasar sehingga Hasan kini sudah sepenuhnya telentang. Arial mengarahkan pistol ke dahi Hasan. “Kamu akan menembak kepalaku sekarang, petugas?” tanya Hasan.

“Ya. Aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” kata Arial.

“Kamu akan melakukannya di depan anak-anak, petugas?” tanya Hasan sekali lagi.

Arial melihat ke sekitarnya. Ternyata banyak anak kecil yang menonton. Mereka berdiri dekat-dekat dengan orang tua mereka yang sepertinya tidak terlalu peduli jika anak-anak mereka menyaksikan eksekusi ini. Beberapa orang merekam mereka dengan glassphone masing-masing. Drone-drone di langit memperhatikan mereka.

“Mengapa tidak? Hal ini akan menjadi pelajaran yang bagus untuk mereka,” jawab Arial.

“Jika kamu menembakku, itu artinya kamu melakukan eksekusi publik. Kamu pikir semua orang di sini akan setuju dengan tindakan tidak manusiawi seperti ini?” kata Hasan.

“Kamulah yang tidak manusiawi,” teriak seorang laki-laki dari kerumunan. Teriakannya itu seolah menjadi seruan perang dan membangkitkan amarah publik. Sebuah telur melayang tepat ke kepala Hasan. Mereka melemparkan apapun yang ada di tangan mereka kepada Hasan mulai dari telur, tomat, batu, bahkan seseorang rela memungut kotoran anjing di tanah dan melemparkannya kepada Hasan.

Hasan menatap Arial dengan tajam. Matanya digenangi oleh air mata. Tidak ada harapan yang terpancar darinya. Rasa malu menyelimuti dirinya. “Sekarang, aku adalah hiburan bagi mereka,” katanya.

Arial mengarahkan pistolnya ke dahi Hasan. Entah mengapa, rasa kasihan muncul di hati Arial. Jalan satu-satunya untuk mengakhiri rasa malu di dalam diri Hasan adalah dengan mengakhiri hidupnya.

DOR!

Darah segar mewarnai jalanan. Cipratan darah mengenai wajah Arial dan setelannya. Dia menyimpan kembali pistolnya dan memandangi jasad Hasan yang sudah tidak bernyawa. Kerumunan bubar dengan cepat bagai semut yang kehilangan gula. Mereka telah puas merekam dan menghina. Seorang ibu rumah tangga bahkan berkata kepada anaknya, "jika kamu tidak serius belajar dan bekerja, kamu akan berakhir seperti orang itu." Dekrit Auditor dan celaannya terhadap kemiskinan bukan hanya dipercayai oleh aparat dan pemerintah, melainkan juga oleh sebagian besar warga negara. Arial mengambil glassphone dan menelepon petugas pembersih. Lalu dia kembali ke rumah keluarga Rahmat untuk menemui Dubana.

Arial menaiki tangga yang sempit itu dengan hati-hati. Dia hampir tersandung berkali-kali hingga tiba di lantai 2. “Inspektur,” panggilnya. Namun tidak ada jawaban. Dia berjalan dan melongok ke pintu-pintu yang terbuka namun tidak menemukan Dubana. Hingga tiba di pintu paling ujung sebelah kiri, dia melihat Dubana sedang berdiri terpaku di sana, tepat di depan sebuah ranjang.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Inspektur?” tanya Arial sembari berjalan mendekat. Dubana tetap tidak menanggapi, bahkan menoleh pun tidak. Ketika sudah cukup dekat, barulah Arial menyadari apa yang sedang diperhatikan oleh Dubana. Seorang bayi yang sedang dibedong tertidur dengan lelap.

“Mereka pasti tidak mendaftarkannya di catatan sipil,” kata Dubana.

Arial terkejut melihat bayi itu. Dia sama sekali tidak tega. “Dua pemuda yang baru saja kabur itu meninggalkan bayi ini sendirian,” katanya.

“Itulah jati diri mereka yang sebenarnya. Manusia cenderung menyelamatkan dirinya sendiri dan tidak mempedulikan orang lain, bahkan keluarganya sendiri,” tanggap Dubana.

“Mengapa kalimatmu mirip sekali dengan Baram?” tanya Arial.

“Dia belajar dariku,” jawab Dubana.

“Ngomong-ngomong apakah kamu pernah membunuh bayi selama ini, Inspektur?” tanya Arial.

“Tentu saja pernah,” jawab Dubana. “Bukan hanya satu, banyak sekali.”

“Kalau begitu apa yang kamu tunggu?” tanya Arial.

“Kamu,” jawab Dubana.

“Aku?”

“Ya, tembak bayi itu,” perintah Dubana.

“Mengapa tidak kamu saja, Inspektur?” kata Arial menolak perintahnya.

“Jika kamu membunuh bayi ini, kamu tidak akan ragu membunuh lagi di misi-misi berikutnya,” jawab Dubana.

Arial menarik nafasnya dan mengeluarkan pistolnya. Dia mengarahkannya ke dahi bayi itu. Bayi itu tidur dengan tenang. Wajahnya begitu damai. “Aku tidak bisa,” kata Arial sambil menurunkan pistolnya.

Dubana mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke dahi bayi itu. “Dasar payah,” ejeknya. Jarinya sudah bersiap-siap di pelatuk pistol, tetapi tiba-tiba keraguan memenuhi hatinya bagai sebuah virus. Dia memandang bayi yang begitu polos dan tidak berdaya itu. Wajahnya yang damai mengingatkannya kepada Nana, keponakannya. Hatinya menjadi hangat. Jiwanya menjadi tenang. Dubana menurunkan pistolnya dengan perlahan.

“Apa yang kamu lakukan? Bukannya kamu sudah membunuh banyak bayi sebelumnya, Inspektur?” tanya Arial.

“Benar, tetapi hari ini aku tidak bisa melakukanya,” jawab Dubana.

“Mengapa?”

“Jangan tanya mengapa.”

Arial dan Dubana memandangi bayi itu untuk beberapa saat tanpa mengeluarkan kata sedikitpun. Mereka seperti terlempar ke dimensi lain di mana tidak ada peperangan dan darah yang tertumpah. Ketika kembali pada nalarnya, Arial bertanya, “lantas apa yang harus kita lakukan?”

“Apakah kamu sudah memanggil petugas pembersih?” tanya Dubana.

“Ya. Aku sudah memanggilnya,” jawab Arial.

“Kalau begitu waktu kita tinggal sedikit. Tidak ada yang tahu mengenai bayi ini,” kata Dubana.

“Aku setuju denganmu, kita bisa menyembunyikannya di suatu tempat jika kita bergerak dengan cepat,” tanggap Arial.

“Ya. Kita harus berhati-hati agar tidak terlihat oleh drone,” timpal Dubana sambil berjalan terlebih dahulu ke pintu.

“Mengapa kalian harus berhati-hati dan tidak terlihat oleh drone?” tanya seseorang yang suaranya tidak asing.

Dubana dan Arial mengenali suara tersebut. Mereka menoleh secara perlahan, seseorang berada di depan pintu. Dengan canggung Arial melambaikan tangannya. “Halo, Baram. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arial. Dia langsung memposisikan tempat berdirinya untuk menghalangi pandangan Baram dari bayi itu.

“Tidak ada, aku hanya sedang berada di sekitar sini, jadi aku mampir untuk melihat-lihat. Ternyata kalian telah menyelesaikan misi ini. Aku melihat ada dua jasad di luar rumah, yang satu di jalanan dekat sini, yang satu lagi tepat di depan rumah. Perbuatan siapakah itu?” kata Baram. Dia berdiri tepat di depan pintu. Dia memakai setelan seragam Auditor serba putih. Tampaknya dia sedang tidak menjalankan misi.

“Yang di depan rumah adalah perbuatan Inspektur Dubana, sedangkan yang di jalanan adalah perbuatanku,” jawab Arial.

“Astaga! Arial saudaraku! Sekarang kamu benar-benar sudah menjadi laki-laki dewasa,” seru Baram.

Lihat selengkapnya