Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #17

Kekanakan

Winerson memotong cerutunya dengan pemotong cerutu. “Mengapa kamu membela bayi miskin itu, Arial?” tanyanya. Di hadapannya, Arial, Dubana dan Baram sedang berdiri.

“Aku tidak tega untuk membunuhnya,” jawab Arial.

“Jika kamu tidak tega membunuh bayi itu, kami bisa memakluminya karena kamu baru di divisi ini. Tetapi mengapa kamu sampai melindunginya segala?” tanya Winerson sambil menyalakan cerutunya dengan korek api kayu.

“Itu adalah ide Inspektur Dubana. Dia yang mengajakku untuk menyembunyikan bayi ini. Karena dia tidak tega membunuh bayi itu,” jawab Arial.

“Benar begitu, Dubana?” tanya Winerson kepada Dubana.

“Bukankah aku yang pada akhirnya menembak bayi itu? Aku sudah membunuh banyak sekali bayi, mengapa aku tidak tega membunuh satu bayi lagi? Sungguh tidak masuk akal,” jawab Dubana.

“Berhenti mengelak dan akui perbuatanmu layaknya pria jantan,” tantang Arial.

“Pria jantan tidak hanya menggunakan mulut dan tangannya, tetapi juga menggunakan kepintarannya, Arial,” kata Dubana.

“Baram,” kata Winerson. “Kamu menyaksikan semuanya, apa Dubana benar-benar melindungi bayi itu?”

“Tidak. Dia bahkan menembaknya seperti sedang berburu seekor rusa,” jawab Baram.

“Itu karena kamu datang belakangan,” tanggap Arial. “Ayah, sebelum Baram datang memang ada pembicaraan itu. Aku bilang bahwa aku tidak bisa membunuh bayi itu, Inspektur Dubana juga berkata bahwa dia tidak bisa membunuhnya. Dia bertanya apa aku sudah memanggil petugas bersih, aku menjawab sudah. Dia bilang bahwa waktu kami tinggal sedikit, lalu aku bilang bahwa kami harus menyembunyikannya dengan cepat. Setelah itu dia berkata untuk berhati-hati agar tidak terlihat oleh drone. Di saat itulah Baram datang.”

“Ya, pada saat itu aku berkata jika kamu mengeksekusi pastikan terlihat oleh drone agar hasil kerjamu dapat terekam dan ayahmu akan bangga,” kata Dubana.

“Omong kosong! Kamu berkata untuk hati-hati menyembunyikan bayi itu agar tidak terlihat oleh drone!” sangkal Arial.

Winerson menengok kepada Baram. “Apa itu benar?” tanyanya.

“Aku memang datang pada saat mereka sedang berbicara, tetapi aku tidak ingat apa yang sedang mereka bicarakan,” jawab Baram.

“Bohong!” seru Arial. “Aku ingat ketika kamu datang, kamu bertanya mengapa kami harus berhati-hati agar tidak terlihat oleh drone.”

“Setelah dipikir-pikir, sepertinya aku tetap tidak ingat. Memang ada pembicaraan mengenai drone, tetapi aku tidak ingat apa,” kata Baram.

“Tidak mungkin kamu lupa! Oh! Apa kalian berdua bersekongkol? Aku tahu kalian berteman sejak masih di militer. Kalian pasti bersekongkol!” bentak Arial.

“Kecilkan volume suaramu,” perintah Winerson kepada anaknya.

“Baram benar-benar mengatakan itu, Ayah! Aku berani bersumpah demi Tuhan!” bentak Arial sekali lagi.

“Berhenti!” bentak Winerson dengan suara yang sangat keras sambil menggebrak meja. Janggutnya ikut bergetar bersama urat-urat di wajahnya yang menegang. “Dan jangan bawa-bawa Tuhan. Dia tidak hadir di ruangan ini.”

Arial tidak berani berkata apa-apa lagi. Sekujur tubuhnya gemetaran karena dibentak oleh ayahnya sendiri. Sedangkan Dubana dan Baram masih berdiri tegap. Ini bukan pertama kali mereka melihat Winerson marah sebesar ini. Selain itu mereka sudah sering diperhadapkan di situasi yang jauh lebih mengerikan yang melibatkan senjata-senjata berat. Bahkan di depan puluhan robot tentara pun Dubana sama sekali tidak gentar.

Winerson menghisap cerutunya dengan kuat lalu menghembuskannya di udara untuk menenangkan emosinya sendiri. Dia menoleh ke Dubana. “Dubana, apakah perkataan Arial benar?” tanyanya.

“Tidak sama sekali,” jawab Dubana.

“Lalu apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Winerson lagi kepada Dubana.

“Aku berdiri di balkon untuk menunggu Arial kembali. Lalu ketika dia kembali, dia naik ke lantai dua dan mengecek setiap ruangan. Dia masuk ke kamar tempat bayi itu berada dan menemukannya di sana,” jawab Dubana.

“Itu bohong! Ketika aku kembali, Inspektur Dubana sudah menemukan bayi itu terlebih dahulu. Dia memandangi bayi itu dan tidak ada niat untuk membunuhnya,” bentak Arial.

“Ini bukan kali pertama dia melakukan hal ini,” timpal Dubana.

“Bagaimana maksudmu?” tanya Winerson sambil menghisap cerutunya.

“Di misi sebelumnya aku dan Arial pernah menemukan seorang anak perempuan berumur sekitar lima tahun yang sedang bersembunyi di dalam lemari. Arial menemukannya terlebih dahulu dan dia berusaha menyembunyikannya dariku. Dia berusaha melindungi anak itu dengan menutup pintu lemarinya, beruntung aku datang tepat waktu dan memergokinya,” Dubana menjelaskan.

Winerson menatap Arial dengan penuh kemarahan. “Benarkah begitu?” tanyanya dengan nada yang keras.

“Ya,” jawab Arial. “Itu benar.”

“Dasar kamu memang anak yang licik. Kamu sudah bersalah malah menuduh atasanmu sendiri,” tukas Baram dengan geram.

“Meskipun begitu, bukan berarti aku bersalah kali ini. Aku memang berencana melindungi bayi itu, tetapi Inspektur Dubana juga berencana demikian. Dia juga yang pertama kali menemukan bayi itu. Dia menyangkal dan menuduhku ingin melindungi bayi ini sendirian ketika Baram datang,” kata Arial membela dirinya sendiri.

“Dubana,” kata Winerson. “Aku mendengar bahwa Arial mengejar-ngejar satu orang miskin hingga keluar rumah dan mengeksekusinya di jalan. Bukankah itu berarti kamu menunggunya di balkon cukup lama?”

“Benar sekali. Kamu bisa mengecek drone di sekitar balkon,” jawab Dubana. Dia sudah bisa memprediksi bahwa tidak ada drone di sekitar rumah karena drone pada saat itu pastilah sedang merekam aksi kejar-kejaran dan eksekusi yang dilakukan oleh Arial.

“Aku sudah mengecek semua rekaman drone-drone di sekitar. Tidak ada satu pun yang merekam balkon rumah pada saat itu. Tidak ada saksi maupun bukti yang membenarkan atau mendukung bahwa kamu sedang berdiri di balkon untuk menunggu Arial pada saat itu,” kata Winerson.

“Itu artinya Tuan Komisaris harus memilih untuk percaya pada siapa. Aku yang sudah belasan tahun di tentara dan bertahun-tahun di divisi Auditorial atau arsitek gagal yang baru di divisi Auditorial dan kebetulan menjadi anakmu?” tanya Dubana dengan hinaan yang pedas kepada Arial.

Arial memelototi Dubana dengan mata dan air muka yang penuh kemarahan. Dia sangat tidak suka bahwa pekerjaan terdahulunya sebagai arsitek disebut oleh Dubana. Dia hanya menceritakannya kepada Dubana saja. “Aku pikir aku bisa mempercayaimu. Itulah mengapa aku menceritakannya padamu. Ternyata kamu jauh lebih rendah dari yang aku pikirkan,” katanya dengan sangat kecewa.

“Seseorang sedang sakit hati. Oh, biarkan aku meralat kalimatku. Seorang arsitek gagal sedang sakit hati,” timpal Baram.

“Aku tidak pernah memintamu untuk percaya kepadaku. Kamu pikir aku pernah percaya padamu walau hanya sedetik saja?” tanggap Dubana.

“Kamu benar-benar manusia rendahan!” umpat Arial yang sudah mulai menangis.

“Kamu mulai lagi. Jangan menangis seperti bayi,” ejek Dubana.

“Tunggu dulu. Aku bisa melacak dari sinyal glassphone­-mu apakah kamu benar-benar berada di balkon saat itu,” kata Winerson.

“Kurasa cara itu juga tidak akan efektif,” kata Dubana.

“Mengapa demikian?” tanya Winerson.

“Karena aku meninggalkan glassphone-ku di mobil pada saat itu,” jawab Dubana.

“Astaga. Kalau begitu biar aku tanya kepadamu satu hal lagi yang menurutku sangat aneh. Kamu bilang kamu menunggu Arial di balkon. Kamu benar-benar hanya berdiri di balkon dan tidak mengecek seisi rumah itu sama sekali?” tanya Winerson.

Lihat selengkapnya