Dubana keluar dari mobil lalu berjalan ke bagasi. Dia berusaha membuka pintu bagasi itu tetapi terkunci. “Oskar, buka pintu bagasinya,” perintah Dubana. Pintu bagasi mobil terbuka. Di dalamnya ada sebuah kaos hitam dengan celana panjang jeans biru dan sepatu bot hitam. Juga ada finger wealth checker dan tiga buah senter kecil berwarna putih.
Arial membuka pintu dan menghampiri Dubana. Dia melihat setelan ganti Dubana di dalam bagasi itu. “Aku tidak tahu kamu menyimpan pakaian lain di dalam sana,” kata Arial.
“Hujan baru saja berhenti. Aku tidak suka jika setelan Auditorku kotor karena lumpur, bukan darah,” kata Dubana.
Dubana mengganti pakaiannya dengan setelan pakaian itu. Arial tidak memiliki pilihan lain selain mengenakan setelan Auditor serba putihnya. Dubana mengambil dua buah senter kecil berwarna putih dan melemparkan satunya kepada Arial. Arial menyalakan senter kecil tersebut dan tidak disangka-sangka sinarnya sangat terang sehingga membuatnya kesilauan. Mereka berdua masuk ke dalam hutan itu dengan siap siaga dengan pistol masing-masing di tangan kanan dan senter di tangan kiri mereka. Jalan hutan itu dipenuhi dengan lumpur sehingga langsung mengotori sepatu mereka berdua. Arial mengangkat kakinya dan melihat ke alas sepatunya yang penuh dengan lumpur itu. Baru berjalan beberapa langkah, dia melakukan hal itu lagi. Kemudian dia kembali melakukan hal itu lagi. “Jika kamu terus melakukan itu, kita akan keluar dari hutan ini seminggu lagi,” kata Dubana.
Mereka berjalan melewati hutan yang lembap itu hampir satu jam. Mereka masuk semakin dalam dan semakin dalam hingga akhirnya menemukan sepeda motor yang tergeletak begitu saja. “Itu dia,” seru Arial sambil menunjuknya.
Dubana berjongkok untuk memeriksanya. Ban bagian depan sepeda motor itu penyok. Dia menyinari pohon sekitar dan menemukan sebuah pohon yang bataknya terkelupas sedikit. “Sepertinya dia menabrak pohon,” bisiknya.
“Di mana dia sekarang?” tanya Arial dengan suara yang lantang.
“Ssst..!” Dubana menyuruhnya untuk diam. Burung-burung di pohon tiba-tiba pergi dari rantingnya dan beterbangan. Dengan kepekaannya, dia tahu ada sesuatu yang aneh. Dia segera mematikan senternya. Dia mendengar suara langkah kaki, tidak hanya satu, melainkan banyak. Arial juga mendengarnya dan dia menjadi takut karenanya.
“Ada apa?” tanya Arial yang mulai panik dan melihat ke sana kemari sehingga cahaya senternya ke mana-mana. Dia terlalu banyak berputar sambil melangkah.
“Diam di tempat dan matikan sentermu, kamu akan membuat kita berdua celaka,” bisik Dubana. Arial mematikan senternya. Langkah-langkah kaki mulai mendekat. Ada yang berjalan perlahan, ada satu yang berlari. Dubana mengarahkan pistolnya tepat ke arah suara langkah yang berlari itu berasal, yaitu ke belakang Arial.
Arial mengangkat tangannya, dia mengira Dubana akan menembaknya. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan semakin panik.
“Menunduk!” perintah Dubana.
Arial menunduk. Di belakangnya, seorang laki-laki berlari sambil membawa kapak. Dubana menembakan senjatanya tepat ke kepala laki-laki itu. Arial berteriak saking paniknya. Tanah yang berlumpur membuat keseimbangannya goyah dan terjerembap ke belakang. Seorang laki-laki lainnya muncul dari semak-semak di kanan Dubana dan mengayunkan kapaknya ke tangan Dubana. Dubana segera menghindar sehingga orang itu tersandung dan terjatuh ke atas tanah. Dengan sigap, Dubana langsung menembaknya di kepala. Belum sempat bernapas, sebuah pisau terlempar melewati wajahnya. Dia melihat arah datangnya pisau itu, tetapi semuanya sangat gelap.
Dubana menghampiri Arial yang sedang tiarap. “Bangun! Kita harus lari ke tempat yang terbuka,” serunya. Tetapi Arial yang sedang panik tidak dapat melakukan apa-apa. Pikirannya sangat kacau dan dipenuhi oleh ketakutan akan kematian. Dubana menamparnya dengan keras. “Sadar dan dengarkan baik-baik. Kita dikepung. Kita harus lari sekarang atau...”