Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #20

Robot di Atas Awan

Wanita itu duduk sendirian di set meja bundar di sebuah restoran fine dining yang bergaya Italia. Dia mengenakan gaun berwarna merah, senada dengan sofa yang sedang dia duduki. Restoran itu terletak di lantai 50 dari sebuah hotel. Dia melihat ke kiri dan kanan, menanti teman makan malamnya yang tak kunjung datang. Segelas Negroni menganggur di atas meja. Ujung gelasnya tercetak bekas lipstik. Dia hanya meminumnya seteguk sedari tadi. Pengunjung-pengunjung lain tampak menikmati waktunya. Ada yang berkencan sambil merokok di beranda sambil menikmati pemandangan kota di malam hari, ada satu keluarga yang sedang menikmati makan malam dan kebersamaan, ada sekumpulan teman yang sedang bernostalgia cerita di masa sekolah, tetapi hanya dirinya yang sendirian. Dia mulai sedih. Air matanya mengalir ke pipinya di luar kendali. Maskaranya ikut luntur karena basah oleh air mata. Dia menggebrak meja dengan kedua tangannya sambil berteriak. Seluruh orang di restoran itu tak terkecuali robot-robot pelayan langsung menoleh.

“Di mana ayahku!” teriak wanita itu.

Tiba-tiba dari pintu masuk datang tiga orang laki-laki yang mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi. Mereka berjalan menghampiri wanita itu dan berdiri di hadapannya. “April, kamu mati hari ini!” kata laki-laki yang di tengah. Ketiga laki-laki itu mengeluarkan pistol dari dalam jas mereka, tetapi sebelum mereka sempat mengarahkan pistolnya, terdengar suara tembakan tiga kali.

DOR! DOR! DOR!

April menembak mereka dengan pistol yang dia sembunyikan sedari tadi di kolong meja. Dia hidup dengan selalu waspada. Ketiga laki-laki berjas itu langsung terjatuh. Para pengunjung lainnya berteriak dan bersembunyi di bawah kolong meja. Seorang robot pelayan yang sedang bekerja tetap mengantarkan makanan dan meletakkannya di atas meja pengunjung seakan tidak terjadi apa-apa. Dari arah pintu masuk datang banyak sekali orang seperti semut keluar dari sarangnya. April meneguk Negroni-nya hingga habis sambil menembak tiga orang yang datang. Dia menaruh gelas Negroni-nya lalu mengambil sebuah benda bulat hitam sekecil bola kasti dari dalam tasnya. Dia berlari ke arah beranda sambil menghindari peluru-peluru yang berdatangan. Kaca-kaca, jendela dan gelas di restoran itu berpecahan terkena peluru.

April terus berlari hingga sampai di beranda lalu melompat tanpa ragu. Dia menekan tombol di benda hitam kecil itu, lalu tiba-tiba benda itu berubah menjadi hang glider. April menukik di udara layaknya seekor burung rajawali. Dari balkon restoran, pria-pria itu menembaki April sehingga hang glider-nya menjadi rusak. Dia mengarahkan jalur terbangnya menuju jendela lantai 32 dari hotel itu. Dia menembaki jendela lantai 32 lalu menerjangnya dengan kakinya hingga jendela itu pecah. Dia berguling lalu berdiri dengan keren dengan hang glider yang telah rusak di belakangnya dan maskara luntur di wajahnya. Dia tiba di sebuah aula besar.

CUT!

Gemuruh tepuk tangan membanjiri ruangan itu. “Bravo! Bravo!” Arabella tersenyum malu dan menundukan kepalanya untuk berterima kasih atas pujian-pujian yang dia terima.

“Itu adalah long take yang sangat sempurna. Kerja yang sangat bagus semuanya. Kamu benar-benar luar biasa Arabella. Bravo! Tidak perlu retake. Itu adalah sebuah one take ok yang dahsyat sekali. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Ayo kita lanjut ke shot selanjutnya,” seru Rudi Paulo yang sedang duduk di depan monitor dengan puas.

Kru-kru kamera memindahkan lampu-lampu besar dan kamera. Kru artistik sibuk menyapu pecahan kaca di lantai. Beberapa dari mereka adalah robot. Mereka bersiap-siap untuk pindah setting. Seorang penata rias menghampiri Arabella yang masih tersipu malu di tengah-tengah. “Arabella! Tadi itu benar-benar penampilan yang sangat bagus. Ayo kita retouch dahulu,” katanya sambil menggandeng tangan Arabella.

“Arabella! Kemari,” panggil Rudi Paulo.

Arabella dan penata rias itu berjalan ke arah monitor untuk menghampiri Rudi Paulo. “Iya Pak Sutradara?” sahut Arabella.

“Benar-benar penampilan yang luar bisa, kerja bagus,” kata Rudi Paulo sambil menyalami Arabella.

“Terima kasih, Pak Sutradara. Aku akan berusaha melakukan yang lebih baik lagi,” tanggap Arabella sambil kegirangan.

“Sehabis ini kita lanjut ke scene yang kamu sedang jalan di lorong di depan aula ini, lalu tiba-tiba datang banyak pria bersenjata api, dan di situ terjadi tembak-tembakan. Kamu bantai mereka semua,” kata Rudi Paulo. “Apakah kamu butuh stunt man?”

“Tidak perlu Pak, aku akan melakukannya sendiri,” jawab Arabella.

“Putriku!” panggil sebuah suara dari pintu aula. Dimas Ferdandi datang menghampiri Arabella sambil berlari.

“Ayah! Jangan berlari nanti Ayah bisa sakit,” kata Arabella.

Lihat selengkapnya