Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #21

Di Antah Berantah

Hutan itu jauh lebih terang di siang hari. Tanah sudah mengering akibat panas matahari. Seluruh tim SARS dan petugas polisi ikut menelusuri hutan itu. Arial memimpin rombongan dengan berjalan di paling depan bersama dengan Baram. “Aku tidak percaya Dubana bisa tersudut oleh bandit-bandit hutan. Itulah mengapa orang-orang miskin terkadang bisa menjadi berbahaya,” kata Baram.

“Dia tersudut karena menolongku,” kata Arial.

“Aku tahu, kamu sudah bilang itu berkali-kali. Kurasa dia sudah semakin berumur. Sewaktu muda, dia tidak akan tersudut dengan mudah seperti itu. Aku sudah pernah menceritakan mengenai pulau Alea kepadamu bukan?” tanya Baram.

“Ya. Tetapi kamu tidak menceritakannya dengan lengkap. Bagaimana dia bisa menyelamatkanmu dan menghabisi semua robot di sana?” tanya Arial.

“Oh. Benar juga. Dubana datang ke lokasiku dan menemukan bahwa semua anggota regu sudah tewas. Dia melihatku tergeletak di tanah dan mengecek pergelangan nadiku. Dia sadar bahwa aku masih hidup, tetapi di sekeliling dipenuhi oleh robot tentara. Entah bagaimana, Dubana menyadari cara kerja robot-robot tentara itu lalu mencemplungkan diri ke sungai,” cerita Baram dengan berbisik.

“Lalu?”

“Robot-robot tentara itu mendeteksi suhu. Dubana menghabisi mereka semua dengan menancapkan pisau dalam-dalam ke leher robot-robot jahanam itu,” kata Baram.

Arial tampak terpukau. “Itu benar-benar hebat. Dia bisa menyadari hal seperti itu meski di tengah medan perang. Lalu bagaimana dengan para sandera? Bagaimana mereka semua mati?” tanya Arial.

“Tentang itu aku tidak pernah tahu. Sepertinya Dubana menghabisi semua robot itu kemudian memutuskan untuk menggendongku pergi tanpa mencari sanderanya,” jawab Baram.

“Mengapa dia melakukan hal itu?” tanya Arial.

“Aku tidak tahu. Yang terpenting adalah dia tidak meninggalkanku dan menyelamatkanku. Dia juga menghabisi robot-robot itu sendirian. Aku tidak peduli dengan sandera-sandera itu,” jawab Baram.

Mereka telah sampai di tebing tempat Dubana terjatuh. Mayat-mayat bandit sudah terbujur kaku di sana. Beberapa sedang dimakan oleh tikus hutan. Mulut, hidung, mata dan telinga mereka mulai dipenuhi oleh belatung. Beberapa anggota regu mulai mengambil gambar jasad-jasad itu. Semua orang melihat ke bawah. Sungai yang mengalir deras tidak kunjung melambat. “Di sini dia terjatuh,” kata Arial.

“Itu sangatlah tinggi. Aku tidak yakin dia akan selamat. Ayo kirim semua drone menelusuri sungai itu. Kerahkan semua orang dan cari di dataran rendah di sekitar sini. Susuri sungai, pastikan tidak ada yang terlewati,” perintah ketua regu SARS.

“Jika dia meninggal, itu karenaku. Aku sangat tidak kompeten,” kata Arial dengan sedih sambil memandangi aliran sungai di bawah sana.

“Itu benar. Yang kamu lakukan hanyalah mengeluh, bermain-main, bertanya hal yang tidak penting dan sok hebat. Jika dia meninggal, itu karena mengorbankan dirinya untuk orang tidak berguna sepertimu. Jangan jadikan pengorbanannya tampak sia-sia. Berhenti mempermalukan dirimu mulai sekarang,” tukas Baram dengan kejamnya.

“Mengapa kamu tidak memiliki hati nurani sedikitpun,” tanggap Arial. Dia menerima semua kritik itu.

Tiga hari lamanya tim SARS menelusuri dataran rendah dan tepi sungai. Sungai itu bermuara ke sebuah air terjun yang sangat deras. Di bawah air terjun itu adalah danau. Meskipun seluruh tenaga baik manusia maupun robot sudah dikerahkan, mereka tetap tidak menemukan Dubana. Drone-drone pun tidak menemukannya. Mereka hanya menemukan jasad Joni Pangrai yang mengambang di danau.

Pada hari keempat, secara tiba-tiba Ritno memerintahkan untuk menarik pencarian. Tidak ada yang tahu alasannya untuk saat ini. Di hari itu juga, Dubana membuka matanya. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit kayu. Dia merasa sangat lemah. Dia melihat sekitarnya. Dia sedang berada di sebuah kamar yang sangat kecil, hanya ada sebuah lemari. Semua dindingnya terbuat dari kayu. Pintunya pun hanya ditutupi kain kuning. Dia berbaring di sebuah ranjang kayu tanpa kasur dengan bantal yang sudah lapuk. Dia duduk dengan susah payah dan mendapati bahwa luka diperut, bahu dan telapak tangannya telah diperban dengan menggunakan kain yang sepertinya disobek dari pakaian. Celana jeansnya diganti dengan celana pendek. Dia berdiri perlahan dan berjalan ke arah pintu. Luka-lukanya masih terasa sakit.

Dubana melewati kain kuning itu dan tiba di ruang tamu yang kecil. Ada seorang kakek sedang duduk di kursi goyang. Ketika dia melihat Dubana, dia membuka mulutnya. Giginya sudah jarang. “Kamu akhirnya siuman!” kata kakek itu dengan bergembira.

“Di mana aku?” tanya Dubana.

Kakek itu tidak mengindahkan pertanyaannya sama sekali. Dia malah berjalan keluar rumah melalui sebuah pintu kayu. Walaupun kaki kirinya sedikit pincang dan tubuhnya sudah membungkuk, dia sanggup berjalan keluar tanpa menggunakan bantuan tongkat. “Tessa! Jamal! Laki-laki itu sudah sadar!” serunya. Dubana bingung karena kakek itu sangat kegirangan melihat dia siuman. Padahal dia tidak mengenal kakek itu sama sekali.

Kakek itu kembali masuk ke dalam rumah. “Itu dia, di sana!” katanya sambil menunjuk Dubana.

Dua orang masuk ke dalam rumah. Yang satu seorang laki-laki berbadan besar, yang satu seorang wanita berambut panjang yang tingginya hanya selengan laki-laki itu. “Kamu benar-benar tangguh kawan! Kukira kamu sudah pasti akan meninggal,” kata yang laki-laki.

“Aku juga berpikir kamu tidak akan selamat. Bagaimana bisa kamu selamat dengan pendarahan dan aliran sungai yang sangat deras seperti itu?” kata yang wanita. “Oh iya, aku Tessa, dan ini adalah suamiku, Jamal.”

Tessa berjalan menghampiri Dubana dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman, tetapi Dubana tidak mengangkat tangannya sedikitpun. “Mungkin dia masih terguncang, sayang. Biarkanlah dia mencerna semua ini terlebih dahulu,” kata Jamal.

“Ya, kamu benar. Oh iya,” katanya sambil berpindah ke sebelah kakek itu dan memegang pundaknya. “Ini ayahku, Malik. Dia yang menjahit lukamu.”

“Aku mungkin tua, nak. Tetapi aku masih bisa memotong batang kayu dengan kapak,” kata Malik.

“Tetapi setelah itu punggungmu langsung sakit dan minta kupijit,” kata Jamal. Mereka semua tertawa mendengar itu.

“Bagaimana jika kamu bergabung dengan kami di luar? Kamu pasti lapar,” kata Tessa.

Dubana tiba-tiba merasakan lapar, padahal dari tadi dia merasa biasa saja. “Baiklah,” balasnya dengan singkat.

Mereka semua keluar dari rumah. Dubana baru sadar bahwa rumah ini adalah sebuah kabin. Di sekitarnya adalah hutan belantara. Tempat ini benar-benar terpencil. Tidak ada kabin lain di dekatnya. Di depan kabin terdapat empat kursi kecil yang mengelilingi sebuah api unggun. Ada panci yang sedang dipanaskan di atas api unggun itu.

“Kami sedang memasak sup kelinci, ayo makan bersama kami,” kata Tessa.

Mereka bertiga duduk di kursi kayu. Dubana masih berdiri. Dia memandang asap dari api unggun yang membumbung tinggi di udara. “Mengapa kalian memasak di luar sini?” tanya Dubana.

“Lantas kami harus memasak di mana?” tanya Jamal.

“Di mana saja selain di sini. Bukankah sangat berbahaya memasak di luar? Drone-drone yang sedang berpatroli dapat melihat asapnya,” kata Dubana. Jamal, Malik dan Tessa memasang wajah bingung. Tampaknya mereka tidak tahu mengenai drone yang berpatroli.

“Apa itu drone? Tenang saja, kita ada di antah berantah,” kata Malik. “Aku membangun tempat ini iseng-iseng sewaktu masih muda dulu. Aku kadang pergi kemari bersama istriku untuk merayakan hari jadi kami. Tidak akan ada yang menemukan kita. Ayo duduk bersama kami.”

Dubana masih saja tidak bergerak, hanya memandangi mereka. “Apa lagi yang kamu tunggu? Haruskah aku menggendongmu?” ejek Jamal sambil tertawa.

Dubana mulai melangkah dan duduk bersama dengan mereka. Malik di sebelah kirinya, Jamal di sebelah kanannya, dan di seberangnya Tessa. Malik menuangkan semangkuk sup kelinci lalu memberikannya kepada Dubana. “Ini untukmu, makanlah,” katanya.

Dubana menerima mangkuk berisi sup kelinci itu lalu menyuapnya. Rasanya tidak buruk. Tetapi dia tidak bisa memakannya dengan lahap. Ini bukanlah makanan yang biasanya dia makan sehari-hari. “Jadi, pria kuat,” panggil Malik. “Siapakah namamu?”

“Dubana,” jawab Dubana. Biasanya dia malas memperkenalkan diri, tetapi karena orang-orang ini telah menyelamatkannya dia berpikir akan tidak tahu diri jika bersikap demikian.

“Dubana? Itu adalah nama yang unik,” tanggap Tessa. “Apakah kamu ingat apa yang terjadi sebelum kamu pingsan dan terbawa arus sungai?”

“Bandit hutan menyerangku,” jawab Dubana. Pada titik ini dia menyadari bahwa orang-orang ini tidak mengetahui bahwa dirinya adalah polisi Auditor. Beruntung dia tidak mengenakan setelan putihnya sewaktu dikepung oleh bandit-bandit hutan.

“Berapa banyak?” tanya Malik.

Lihat selengkapnya