Pada waktu siang di hari keenam, Dubana sedang duduk bersantai di kursi depan kabin bersama dengan Malik. Jamal dan Tessa sedang di dalam kamar bersama dengan Sheila.
“Kamu tahu nak? Dahulu aku adalah seorang guru,” kata Malik.
“Oh,” jawab Dubana dengan singkat.
“Aku benar-benar suka mengajar. Tetapi sejak sistem operasi diciptakan, aku kehilangan pekerjaanku,” lanjut Malik.
“Lalu apa yang kamu lakukan selanjutnya?” tanya Dubana dengan sopan.
“Aku mencoba membuka tempat les. Tetapi para pengusaha berbondong-bondong membuka tempat les. Mereka menjadikan robot-robot sebagai guru les,” jawab Malik.
“Pasti sulit untukmu,” tanggap Dubana.
“Sangat sulit. Perlahan murid-muridku pindah semuanya. Mereka lebih senang diajarkan oleh robot, bukan karena metode mengajarnya, manusia jauh lebih baik untuk hal itu. Apakah kamu tahu mengapa?” tanya Malik.
“Tidak. Aku tidak mau menebaknya,” jawab Dubana.
“Karena mereka bisa memperlakukan robot dengan kurang ajar dan robot itu tidak akan membalas mereka. Mereka membawa cat semprot setiap hari dan mewarnai gurunya sendiri,” kata Malik. “Bukankah manusia selalu begitu? Mereka ingin berbuat semena-mena tanpa terkena konsekuensi.”
“Aku rasa begitu,” tanggap Dubana.
“Itulah mengapa kurasa menjadi seorang polisi Auditor menyenangkan karena mereka bisa membunuh tanpa harus menghadapi hukuman apapun,” tutur Malik.
“Apakah kamu pernah membunuh seseorang?” tanya Dubana.
“Pernah,” jawab Malik. “Adikku sendiri.”
“Apakah kamu keberatan jika menceritakan tentang itu denganku?” tanya Dubana.
“Tentu saja tidak. Santai saja denganku,” jawab Malik. “Ketika aku masih kecil berumur lima tahun, aku pernah secara tidak sengaja menjatuhkan adikku yang baru berumur satu bulan. Aku sedang menggendongnya, dan entah bagaimana dia jatuh begitu saja. Orang tuaku membawanya ke rumah sakit, tetapi dia sudah meninggal dalam perjalanan.”
“Pasti berat mengalami itu,” tanggap Dubana.
“Bagaikan neraka. Orang tuaku tidak pernah menganggapku anak setelah kejadian itu. Mereka memanggilku pembunuh adik dan menyuruh adik-adikku yang lain untuk menjauhiku,” kata Malik.
“Itu adalah hal yang sangat kejam,” kata Dubana.
“Menurutku itu biasa saja. Masih banyak hal yang lebih kejam yang pernah dilakukan oleh orang tua di dunia ini kepada anak-anaknya. Bahkan seorang robot pembantu tidak pernah menyakiti anak asuhannya. Ngomong-ngomong aku sudah memaafkan mereka sejak dulu,” kata Malik.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Dubana.
“Ketika membunuh adikku?” tanya Malik.
“Bukan. Apa yang kamu rasakan ketika kamu membunuh adikmu dan mengetahui bahwa kamu harus hidup dengan fakta itu setiap harinya?” tanya Dubana.
“Tentu saja aku merasa bersalah. Aku sering berpikir jika adikku hidup, apakah aku akan akrab dengannya?” jawab Malik. “Apakah menurutmu polisi-polisi Auditor itu merasa bersalah setiap kali mengeksekusi orang miskin?”
“Aku tidak tahu. Mungkin saja tidak,” jawab Dubana.
“Aku rasa juga tidak. Mereka membunuh orang dengan mudah seperti menginjak kecoak,” tukas Malik.
“Aku ingin tahu pendapatmu. Apakah menurutmu kematian adikmu disebabkan oleh takdir?” tanya Dubana.
“Tidak,” jawab Malik sambil menatap mata Dubana. “Takdir tidak ada hubungannya dengan hal itu. Kecerobohankulah yang membunuhnya. Manusia tidak lahir hanya untuk pergi secepat itu.”
“Kamu adalah orang tua yang bijak,” puji Dubana.
“Itulah manusia seharusnya. Semakin tua semakin bijak, bukan semakin jahanam. Aku tidak akan berterima kasih untuk pujianmu itu. Itu adalah hal yang normal,” tanggap Malik. “Ngomong-ngomong apakah kamu pernah membunuh seseorang?”
“Ya. Bandit-bandit hutan yang melukaiku.”
“Maksudku sebelum itu.”
“Tidak,” jawab Dubana, tentu saja bohong.
“Jangan mencobanya sama sekali,” kata Malik. “Ada sebuah ember di samping kabin ini. Bolehkah kamu mengambilkan aku air di anak sungai? Aku ingin merendam kakiku.”
“Baiklah,” jawab Dubana sambil berdiri lalu mulai berjalan. Pembicaraan sudah mengarah ke sesuatu yang tidak ingin dibahasnya. Ini adalah sebuah kesempatan untuk mengakhiri percakapan ini.
“Ketika kamu tua, merendam kaki adalah surga tersendiri,” tutur Malik sambil bersandar hingga kepalanya menghadap langit.