Baram tertawa terbahak-bahak menyaksikan kejadian ini. Arial tidak mampu berkata-kata. Dia sekarang benar-benar berpikir bahwa Baram sudah gila dan sangatlah berbahaya. Awalnya dia berpikir bahwa Dubana sangatlah gila karena mampu membunuh seorang anak kecil tanpa berpikir dua kali, sekarang dia berpikir bahwa Dubana tidak ada apa-apanya dibandingkan Baram. Dia benar-benar maniak, sesuai dengan reputasinya.
“Baiklah, aku akan membiarkan dia tergeletak begitu saja,” kata Baram.
“Bolehkah aku bertanya kepada mereka?” tanya Arial kepada Baram.
“Boleh saja,” jawab Baram.
“Bagaimana cara kalian menghindari dekrit Auditor dan menghasilkan uang? Aku tidak melihat ada ladang, sawah, ataupun peternakan di tempat ini. Hanya beberapa kendang ayam,” tanya Arial kepada keluarga itu.
“Ya, aku juga sedikit penasaran,” timpal Baram.
“Itu semua karena Bapak Mandra,” jawab Agus.
“Mandra? Siapa dia?” tanya Arial.
“Bapak Mandra adalah juragan desa ini. Beliau memiliki banyak toko di ibu kota. Ketika gelombang robot terjadi, beliau tidak membeli robot dan tetap mempertahankan kami semua warga desa ini sebagai karyawannya. Istriku dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di kediamannya, sedangkan aku menjaga salah satu tokonya,”
“Dia tinggal di desa ini juga?” tanya Arial.
“Ya, beliau ingin menghabiskan masa tuanya di desa ini, desa kelahirannya,” jawab Agus.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Beliau meninggal, dan semua bisnisnya diambil alih oleh istri mudanya yang jahat dan kejam. Wanita iblis itu memecat kami semua dan menggantikan kami dengan robot.”
Mendengar cerita itu, Arial berpikir, ternyata masih ada pengusaha baik yang memikirkan orang lain di dunia ini. Memang sesekali dia pernah melihat toko-toko di ibu kota yang masih mempekerjakan tenaga manusia.
“Cukup dongengnya, sekarang biarkan aku menyelesaikan semua ini. Sudah terlalu lama kalian menyita waktu kami,” kata Baram. “Kamu, kepala keluarga, katakan padaku, apakah kamu mencintai istrimu?
“Tentu saja aku mencintainya,” jawab Agus.
“Katakan kepadanya,” perintah Baram.
Agus melihat istrinya yang berlutut di sampingnya. “Aku mencintaimu,” katanya.
“Ingat baik-baik, jika kalian menginginkan pengampunanku, kalian harus menuruti perintahku,” jelas Baram sekali lagi. “Sekarang, Agus, ludahi wajah istrimu.”
Mendengar itu, Arial tertegun. Agus memandang wajah istrinya sejenak, lalu memandang Baram. “Aku tidak bisa,” katanya.
Baram mengarahkan senjatanya ke dahi Agus. “Ludahi wajah istrimu, atau aku yang akan meludahimu dengan pistolku,” ancamnya. Sesudah itu, dia menengok ke Arial. “Kosakataku sudah mulai berkembang, bukankah begitu?” godanya.
Arial tidak mampu berkata apa-apa. Tangannya mulai gemetaran menyaksikan kegilaan ini. Dia hanya bisa menganggukan kepalanya. Dia bergantian memandangi satu per satu anggota keluarga yang malang ini. Betapa harga diri mereka sama sekali tidak bernilai, layaknya sampah kertas yang terombang-ambing angin.
“Tunggu apalagi? Ludahi istrimu sekarang,” perintah Baram.
Agus menengok ke wajah istrinya yang sekarang sedang menangis. Anak-anaknya tidak bisa melakukan apapun selain gemetaran. Bibir Agus bergetar, bahkan untuk berbicara saja dia sudah tidak bisa. Dia mengumpulkan air liur di dalam mulutnya, lalu meludah. CUIH! Tetapi tidak sampai, terjatuh di dagunya sendiri. Baram tertawa cengengesan melihat hal itu. Agus kembali mengumpulkan air liur di dalam mulutnya, lalu meludah. CUIH! Tepat mengenai pipi istrinya.
Tawa Baram berubah dari cengengesan menjadi terbahak-bahak. Arial bingung apa yang lucu. Dia hanya memperhatikannya dengan risau. “Sekarang, tampar istrimu,” perintah Baram.
Tanpa pengulangan, Agus langsung menampar istrinya. Baram tertawa-tawa.
“Lakukan dengan lebih keras!”
Agus kembali menampar istrinya dengan lebih keras lagi.
“Lebih keras lagi!”
Agus menampar istrinya lebih keras lagi.
“Terus!”
“Udah, Ayah, hentikan!” teriak Icat sambil memegangi tangan ayahnya.
Baram berjalan selangkah lalu mengacungkan pistolnya ke dahi Icat sehingga dia melompat ke belakang dan Agus berhenti menampar.
“Kamu membunuh semua kesenangan ini bocah,” kata Baram.
“Apa tujuanmu melakukan ini semua? Bukankah mereka sudah cukup menderita? Berhenti mempermainkan mereka,” seru Arial yang kini sudah berhasil mengumpulkan keberaniannya.
“Kamu bertanya apa tujuanku? Biar aku jelaskan,” jawab Baram sambil mengelus-elus pistolnya. “Ada suatu hal penting yang aku pelajari di militer. Manusia akan menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya ketika nyawanya sedang di ujung tanduk. Itulah jati diri kepala keluarga kalian yang sebenarnya, wahai istri dan anak-anak. Dia akan mengorbankan kalian ketika sedang dikepung oleh serigala. Dia akan memakan kalian semua dalam bencana kelaparan. Cinta, hanyalah mahkota kemunafikan belaka.” Dia melihat ke Arial dan bertanya, “Apakah kosakataku sudah cukup luas, kutu buku?”
“Kamu benar-benar gila,” jawab Arial.