Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #9

Sebuah Sentuhan

Dubana melirik Roni yang menyambutnya dengan senyuman tipis. Tampaknya dia tidak memberitahu pekerjaan Dubana yang sebenarnya kepada istrinya. Ibunya pun tidak tahu. Yang diketahui ibunya adalah Dubana dulunya seorang tentara namun sudah membanting setir menjadi akuntan. Dubana dan Roni menyembunyikannya dengan rapat. Memang tidak menyenangkan makan bersama seseorang yang dapat menghilangkan nyawa dalam satu tarikan nafas, bahkan nyawa anak-anak.

“Itu benar sayangku, menjadi seorang akuntan memang tidak menarik. Sebetulnya awalnya menarik, namun lama kelamaan membosankan. Setidaknya itulah yang aku dan Dubana rasakan. Tetapi tidak semua orang seperti itu. Beberapa orang benar-benar menikmati menjadi akuntan. Mungkin mereka merasa bergairah ketika melihat angka yang berjuta-juta itu. Bukan begitu, Dubi?” kata Roni.

“Ya, benar begitu,” kata Dubana.

“Oh. Apakah kamu begitu sibuknya sehingga tidak mengunjungi ibu dan saudaramu selama bertahun-tahun? Bahkan pernikahan kami tidak kamu hadiri,” kata Sinta penasaran.

“Emm...”

“Tentu saja,” sela Roni. “Dia adalah akuntan tertinggi di perusahaannya. Maksudku bukan tinggi badan, kalau itu tentu saja ada yang lebih tinggi darinya. Kamu pasti tahu maksudku.”

“Pantas saja kamu begitu sibuk,” kata Sinta.

“Ya, begitulah. Hampir setiap hari aku pulang jam sepuluh malam. Baru kali ini aku bisa cuti,” kata Dubana.

“Sibuk sekali. Aku harap robot mengambil alih pekerjaanmu sehingga kamu bisa beristirahat,” canda Sinta sambil tertawa. “Jangan anggap aku serius.”

Roni tertawa mengikuti istrinya. “Dia memang suka bercanda. Jangan dipedulikan,” katanya.

“Ya, santai saja,” kata Dubana yang sedari tadi tidak tertawa, tersenyum pun tidak.

“Apakah kalian lapar?” tanya Sinta.

“Sayang, kita baru saja makan malam,” jawab Roni.

“Oh, benar juga. Maksudku, aku akan membuatkan kue untuk kalian,” kata Sinta.

“Tidak usah repot-repot. Suruh saja Betty. Robot itu mahal karena dia bisa masak dan tidak kenal lelah,” kata Roni.

“Aku bisa saja menyuruhnya, tetapi di mana kesenangannya? Aku ingin membuatnya sendiri. Aku jadi teringat pembantuku yang terdahulu waktu aku masih di rumah Ibuku. Setelah mencuci piring, dia tidur. Lalu ketika bangun, dia akan menyapu, tetapi setelah itu dia tidur lagi. Jika dihitung-hitung hanya dua kali dalam seminggu dia benar-benar bekerja. Oleh karena itu kami membeli robot dan memecatnya. Kamu benar sayang, robot memang tidak kenal lelah. Cukup berjemur di waktu pagi atau siang, mereka bisa bekerja sehari penuh,” kata Sinta.

“Di mana dia sekarang?” tanya Dubana.

“Terakhir kudengar dia sudah meninggal. Kamu pasti tahu mengapa. Jangan tanya apa keluargaku merasa bersalah atau tidak, kami hanya melakukan yang harus kami lakukan,” kata Sinta sambil berdiri. “Baiklah, aku akan ke dapur dan membuat kue untuk kalian. Silahkan bicara antara sesama pria.”

Sinta berjalan memasuki dapur, meninggalkan dua saudara yang sudah tidak semeja selama empat tahun. Mereka berdua saling memandang dengan canggung. “Maklumi istriku, dia memang agak cerewet,” kata Roni membuka pembicaraan.

“Tidak masalah,” jawab Dubana. “Apakah kamu masih bekerja sebagai akuntan?”

“Ya, tentu saja. Hanya itu yang bisa aku kerjakan. Bayarannya pun besar karena jabatanku sudah lumayan tinggi, walaupun belum bisa membeli rumah,” jawab Roni.

“Mungkin lebih baik kamu membangun bisnis. Akuntan adalah pekerjaan yang rentan, kamu tahu mengapa.”

“Apakah kamu khawatir jika ada robot yang bisa menjadi seorang akuntan?” tanya Roni. “Tenang saja, itu tidak mungkin terjadi.”

“Aku tidak khawatir,” kata Dubana dengan gengsi. “Hanya saja lebih baik membawa payung sebelum hujan.”

“Aku rasa hal itu mungkin terjadi, tapi tidak dalam waktu dekat.”

“Aku rasa hal itu akan terjadi dalam waktu dekat.”

“Mengapa begitu?”

“Apakah kamu tidak membaca berita hari ini? Sudah ada robot yang bisa akting. Aku bahkan sudah melihat videonya.”

“Benarkah? Aku melewati berita hari ini.”

“Ya, robot itu tampak seperti manusia sesungguhnya,” kata Dubana. “Jika mereka bisa melakukan itu di bidang seni, tidak menutup kemungkinan juga di bidang lainnya.”

“Kamu membuat aku takut,” kata Roni. “Aku akan memikirkan saranmu.”

“Ya, lebih baik pilih pekerjaan yang sulit digantikan oleh robot.”

“Apakah kamu takut jika suatu hari kamu menjalankan misi, aku yang ternyata menjadi misimu?” tanya Roni dengan serius. Suasana ramah berubah menjadi mencekam oleh karena pertanyaan itu.

“Itu akan menjadi sangat buruk,” jawab Dubana.

Lihat selengkapnya