Wati berdiri dan menaruh tenunannya di atas kursi goyangnya. Dia sedikit bongkok. Dia masuk ke dalam rumah. Dubana menungguinya beberapa saat hingga Wati keluar dari rumah dengan membawa nampan berisi seteko teh dan dua buah cangkir teh.
“Bisakah kamu membawakan ini untukku anak muda?” pinta Wati.
Dubana mengambil nampan itu dari tangan Wati dan membawanya. Wati mengambil tenunannya dari atas kursi goyangnya. Mereka berdua berjalan ke set meja teh melalui rerumputan.
“Meja itu sudah ada di sini sejak lama. Dahulu warga di sini senang sekali minum teh. Kini mereka sudah tidak ada, diganti mesin-mesin yang senang menyerap sinar matahari,” cerita Wati sambil berjalan menuju set-set meja teh.
“Teh, bagus untuk kesehatan,” tanggap Dubana yang tidak tahu harus berkata apa.
“Tentu saja. Bahkan dulu kami punya kebun teh sendiri. Tapi semuanya sudah pergi sekarang. Sepertinya mereka mati di tangan orang-orang sepertimu. Hanya aku yang bertahan,” kata Wati melanjutkan ceritanya.
Mereka telah sampai di set meja teh paling tengah. Di sekitar mereka adalah rerumputan dan set-set meja teh kosong. Di ujung mata terlihat sebuah pohon ek yang besar. Dubana menaruh nampan dan menunggu Wati untuk duduk, barulah kemudian dia melepaskan jaket coklatnya, menggantungnya di sandaran meja teh dan duduk.
“Tuangkah teh untukku,” pinta Wati.
Dubana mengangkat teko dan menuangkan isinya ke dalam cangkir Wati, lalu menuangkannya ke dalam cangkirnya sendiri. Uap panas membumbung tinggi di atas cangkir mereka berdua. Wati mengangkat cangkir teh lalu menghirupnya. Hidungnya terangkat layaknya menghirup aroma bunga yang sangat wangi. Setelah itu dia menyeruputnya.
Dubana mengangkat cangkir tehnya dan menyeruputnya. “Teh yang enak,” komentarnya sambil menaruh kembali cangkir teh ke atas meja.
“Kamu seharusnya menghirupnya dahulu sebelum meminumnya,” kata Wati sambil menaruh cangkir teh dan mengambil tenunannya. “Sudah lama sekali sejak aku terakhir minum teh bersama orang lain di sini. Sudah empat puluh tahun yang lalu.”
“Memangnya Nenek ke mana selama empat puluh tahun ini?” tanya Dubana yang sebetulnya sudah mengetahui jawabannya.
“Bukankah kamu sudah tahu? Orang-orang kepolisian pasti menyimpan data para narapidana dengan baik. Aku dipenjara selama empat puluh tahun,” jawab Wati sambil menenun.
“Oh. Itu adalah hukuman yang sangat lama. Apa yang terjadi?”
“Itu terjadi karena satu peristiwa di suatu malam. Malam itu sebetulnya seperti malam biasanya. Suamiku memukuli putraku atas hal-hal kecil dan remeh yang tidak masuk akal. Hampir setiap hari hal itu terjadi. Tapi bedanya, malam itu suamiku lebih kalap dari biasanya karena dia sehabis kalah judi sabung ayam. Dia memukuli dan mencekik putraku. Dari sorot matanya aku tahu bahwa dia akan membunuhnya. Jadi aku mengambil pisau dan menusuk lehernya,” tutur Wati.
Dubana sedikit paham mendengar cerita itu karena ayahnya pun kasar seperti itu, namun dia tetap menjaga martabatnya. “Bukankah itu bisa dinilai sebagai membela diri?” tanya Dubana.
“Tentu saja. Tetapi orang tua suamiku tidak terima. Mereka berdua menguras hampir seluruh tabungannya dan memenjarakanku. Sedangkan aku tidak mampu menyewa pengacara. Jadi aku hanya mengandalkan pengacara dari pengadilan yang sepertinya menerima suap dari kedua mertuaku. Vonisku dijatuhkan, empat puluh tahun lamanya. Itu lebih dari usiaku waktu itu,” jawab Wati.
“Itu sangat tidak adil,” tanggap Dubana dengan tenang.
“Begitulah dunia kita,” ucap Wati.
Dubana mengangkat cangkir tehnya, menghirupnya terlebih dahulu kemudian menyeruputnya. Dia tidak mengerti apa enaknya. Dia melakukan ini untuk menghormati Wati. “Lalu bagaimana dengan putramu? Pasti berat hidup tanpa kedua orang tuanya,” tanya Dubana sambil menaruh kembali cangkir tehnya.
“Waktu itu dia berusia sembilan tahun. Dia sudah cukup usia untuk bisa mengerti dan mengingat apa yang menimpanya. Setelah aku di penjara dia dirawat oleh mertuaku. Awalnya dia sering mengunjungiku di penjara. Namun tidak lama setelah itu, kedua mertuaku meninggal. Putraku mendapat warisan sepenuhnya karena suamiku adalah anak tunggal. Dia jadi jarang mengunjungiku. Aku rasa hanya tiga kali dalam setahun. Yang aku tahu dia tinggal sendiri, terkadang di rumahku terkadang di rumah mertuaku. Dia bercerita bahwa dia berkuliah di kota, menemukan seorang wanita dan bekerja,” cerita Wati.
“Lalu di mana dia sekarang?” tanya Dubana.
“Aku tidak tahu. Suatu hari dia berhenti mengunjungiku begitu saja. Sudah dua puluh enam tahun lamanya aku tidak menemuinya. Mungkin dia lelah harus terus menerus datang ke penjara dan berbicara denganku,” kata Wati. Dia berhenti sebentar untuk menghirup dan menyeruput teh. “Atau dia malu karena orang tuanya adalah seorang pembunuh. Atau dia hanya merasa sudah bisa mandiri dan lepas dariku. Bagaimana pun dia hanya mengenal sosokku selama sembilan tahun hidupnya. Begitulah seorang anak, ketika mereka sudah mempunyai uang mereka akan lupa dengan orang tua yang membesarkan mereka. Aku mengerti itu tetapi aku tidak pernah siap untuk mengalaminya.”
“Tetapi Nenek menyelamatkan hidupnya. Dia tidak akan hidup sampai saat ini jika bukan karenamu,” tanggap Dubana.
“Benar katamu. Aku menyelamatkan hidupnya dengan mengorbankan hidupku. Terkadang aku merasa dia sangatlah kurang ajar. Tetapi aku menyadari bahwa ini bukan salahnya, atau salahku. Ini adalah salah ayahnya dan keluarga ayahnya yang mendidiknya dengan tidak baik sehingga tumbuh menjadi seorang yang kasar. Jika aku harus mengulangnya, menyelamatkan putraku dengan mengorbankan hidupku sendiri, aku akan melakukannya lagi. Ibu mana yang bisa melihat buah hatinya dipukuli dan akan dibunuh bahkan oleh suaminya sendiri?” tutur Wati.
“Jika Nenek tahu bahwa suatu hari putramu akan berhenti mengunjungimu dan melupakanmu, apakah Nenek tetap akan melakukannya?” tanya Dubana. Akhirnya kalimat yang agak panjang terucap dari mulutnya.
“Ya,” kata Wati sambil menghirup teh. “Aku akan melakukannya lagi.” Air mata mengalir dengan lembut melalui pipinya yang sudah dikerutkan oleh usia ketika dia meminum teh di dalam cangkirnya hingga habis. Dia menaruh kembali cangkir teh yang sekarang kosong di atas meja.
Dubana mengangkat teko lalu menuangkan teh ke dalam cangkir Wati hingga penuh. “Itu adalah cerita yang mengiris hati,” komentarnya.
“Begitulah,” kata Wati sambil melanjutkan tenunannya. “Ketika bebas aku kembali ke sini dengan harapan bisa bertemu putraku. Tetapi yang kudapat hanyalah rumah tua kosong yang sudah usang dan gelap. Aku menantinya, bahkan hingga hari ini aku masih menantinya, lebih dari aku menantimu anak muda. Sang malaikat pencabut nyawa.”