Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #15

Tangan yang mulai dingin

Winerson sedang menyantap sirloin di atas meja kerjanya ketika pintu kantornya diketuk. “Silahkan masuk,” katanya.

Pintu kantor terbuka. Dubana masuk ke dalam ruangan Winerson dan duduk di hadapannya. “Ada apa memanggilku?” tanya Dubana.

Winerson bertanya kembali, katanya, “menurutmu?”

“Menurutku? Aku tidak tahu. Kamu yang memanggilku,” jawab Dubana.

“Dubana,” katanya sambil mengunyah sirloin. “Belum sempat sinar matahari masuk ke dalam jendela kamarku, tetapi aku sudah mendengar kabar tidak mengenakan darimu. Mengapa kamu melakukan hal itu kemarin?”

“Melakukan hal apa?” tanya Dubana.

“Jangan berpura-pura,” kata Winerson sambil memotong sirloin yang tinggal sedikit itu. “Mengapa kamu membeli jasad orang miskin untuk menguburkannya?”

“Apakah itu adalah hal yang salah?” tanya Dubana.

“Tidak salah, tetapi mencurigakan. Kamu tahu sendiri bahwa belakangan negara ini sangat sensitif dengan sesuatu yang mencurigakan. Dengar, aku bisa melindungimu dari peluru yang melesat, tetapi aku tidak bisa melindungimu dari Jenderal Ritno.” jawab Winerson.

“Aku hanya berusaha menyembunyikannya. Aku menembak mata orang miskin itu. Itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Aku tidak ingin rumah sakit atau kepolisian mengetahuinya. Jadi kukuburkan saja,” ujar Dubana.

“Dubana... Dubana... Kamu ingin menutupi kesalahan di depan drone-drone pengintai yang berterbangan? Yang benar saja. Jika kamu ingin menutupi kesalahan, aku bisa melakukannya untukmu. Itu adalah hal yang mudah bagiku,” tanggap Winerson.

“Aku tidak ingin merepotkanmu.”

“Itu bukanlah hal yang merepotkan. Jasad itu sudah terlalu tua. Hanya dapat digunakan untuk praktik mahasiswa kedokteran. Mata yang berlubang bukanlah persoalan. Lagipula mengapa kamu menembak mata orang miskin itu? Kamu tidak pernah meleset sebelumnya. Seperti bukan dirimu saja. Apa ada yang kamu pikirkan belakangan ini?” tanya Winerson dengan curiga.

“Tidak ada. Tembakanku hanya meleset, itu saja,” jawab Dubana.

“Jujurlah padaku. Hentikan alasanmu yang mengada-ngada,” perintah Winerson.

“Kamu ingin aku jujur padamu?” tanya Dubana.

“Tentu saja, aku sudah lama mengenalmu. Kamu bisa mempercayaiku,” jawab Winerson.

“Orang miskin itu sudah tua. Dia layak beristirahat dengan tenang. Oleh sebab itu, aku menguburkannya untuk menghormatinya. Itu saja,” ungkap Dubana.

“Dia sama sekali tidak pantas menerima hormat darimu. Dia adalah orang miskin. Tidak ada orang miskin yang terhormat. Harusnya kamu lebih tahu itu dari siapapun,” kata Winerson sambil mengunyah potongan terakhir sirloin-nya.

“Baiklah. Aku akui. Aku salah,” kata Dubana sambil berdiri. Dia berjalan ke arah pintu.

“Matanya tertuju padamu. Kamu bilang kamu menghormati orang miskin. Kantorku memiliki telinga, dan aku yakin matanya sekarang semakin tertuju padamu. Kecuali kamu memberitahu aku alasanmu yang sebenarnya, aku tidak akan bisa melindungimu,” kata Winerson.

Dubana menoleh ke belakang, katanya, “tidakkah kamu berpikir kita telah membakar cukup banyak jasad?”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Dubana membuka pintu dan keluar dari ruangan itu. Winerson memandanginya terus bahkan hingga pintunya menutup kembali. “Itu adalah kalimat yang puitis, akan kuselipkan dalam novelku,” pikirnya.

Dia mengambil glassphone-nya dan menelepon seseorang. “Aku ingin kamu mengawasi Dubana. Dia membeli jasad orang miskin yang baru saja dibunuhnya untuk menguburkannya. Tidak hanya itu, dia juga bilang bahwa dia menghormati orang miskin itu. Aku tidak tahu apakah dia hanya beralasan saja, tetapi itu sudah cukup mencurigakan bagiku,” katanya kepada lawan bicaranya.

Di dalam mobil, Arial termenung menatap jendela depan. Orang-orang berlalu-lalang hanya seperti nyamuk yang berterbangan baginya. Sudah sehari dia mengambil cuti, tetapi dia masih tidak bisa melupakan misi bersama Baram. Wajah anak laki-laki serta ekspresinya itu enggan pergi dari pikirannya. Mengambil nyawa seseorang ternyata bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Tetapi bukan berarti dia tidak mau mencobanya lagi. Dia terus memikirkan itu satu harian.

Pintu mobil terbuka. Dubana masuk ke dalam mobil. “Tumben kamu tidak menyalakan musik,” katanya.

“Aku sedang tidak mood untuk itu,” tanggapnya.

“Selamat siang, tentukan tujuan kamu dan Oskar Autocar akan mengantar kamu tiba dengan tepat dan selamat.”

“Jalan Kampung Janas 5 no 91,” kata Arial.

“Tujuan sudah diterima, kami akan mengantarkan kamu ke Jalan Kampung Janas 5 no 91 yang berjarak sekitar 22 km. Apakah kamu sudah yakin dan siap berangkat?”

“Ya!”

“Kencangkan sabuk pengaman kamu, karena kita akan segera berangkat.”

Arial dan Dubana memakai sabuk pengaman. Mobil itu terangkat ke udara lalu mulai bergerak. “Aku merasa hari ini kamu lebih serius dan bersemangat dibanding biasanya,” kata Dubana.

“Begitukah? Aku merasa mual dan bergairah di saat yang bersamaan,” kata Arial.

“Apakah Baram melakukan sesuatu padamu?” tanya Dubana.

“Tidak. Dia hanya mengajariku beberapa hal,” jawab Arial.

“Baguslah. Aku kira kamu akan mengundurkan diri dari divisi Auditorial karena Baram terlalu keras kepadamu,” tanggap Dubana.

“Aku tidak bisa mengundurkan diri dari sini. Ayahku tidak akan mengizinkannya,” kata Arial.

“Bukankah waktu itu kamu bilang bahwa kamu bergabung ke divisi Auditorial atas keinginanmu sendiri?” tanya Dubana.

“Aku berbohong. Seharusnya aku menjadi seorang arsitek. Tetapi ayahku akan melakukan segala cara untuk membuatku menjadi polisi, setidaknya mencapai pangkat yang tinggi. Itulah sebabnya dia memaksaku untuk masuk ke divisi Auditorial. Dia percaya bahwa divisi ini akan menjadikan aku laki-laki,” ungkap Arial.

Lihat selengkapnya