Mereka melanjutkan sisa perjalanan dalam keheningan hingga sampai di sebuah deretan rumah kayu di pinggiran kota, tepat di bawah sebuah kolong jalan tol. Mobil dinas berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu dengan pintu kayu dua daun yang cukup lebar, seperti pintu pada lumbung padi atau gudang gandum. Tidak ada drone di langit. Dubana dan Arial turun dari mobil dinas. Dubana menaruh jaket coklat kesayangannya di jok bagian belakang karena hujan sudah turun. Arial saat ini terheran-heran mengapa Dubana selalu mengenakan jaket itu padahal dia selalu melepasnya ketika ingin menembak orang miskin. Tetapi rasa bencinya terhadap Dubana membuatnya menutup mulutnya walaupun dia penasaran.
Dubana dan Arial kini berdiri di depan pintu kayu dua daun itu. “Ketuklah pintunya,” perintah Dubana.
“Jangan memerintahku melakukan sesuatu, aku tahu apa yang harus kuperbuat,” tanggap Arial dengan sedikit menjengkelkan. “Lebih baik aku menjalankan misi bersama Baram.”
“Aku lebih baik menjalankan misi sendiri. Kamu adalah beban bagiku,” balas Dubana.
“Oh, jadi itukah aku selama ini bagimu?” tanya Arial kali ini dengan suara yang kencang.
“Kamu harus mengecilkan suaramu,” kata Dubana.
“Aku bukan beban, bagimu atau bagi ayahku!” bentak Arial.
“Mengapa kamu menyebut-nyebut ayahmu? Aku tidak membahasnya sama sekali,” kata Dubana.
“Aku tidak peduli, akan aku tunjukkan bahwa aku bukan beban bagi siapapun!” bentak Arial sekali lagi. Dia mengeluarkan pistol putihnya dan menendang-nendang pintu kayu dua daun itu. “Buka pintunya, atau kubunuh kalian semua.”
Arial terus menendang-nendang pintu kayu dua daun itu, tetapi tidak ada yang terjadi. Pintu itu berdiri dengan gagah dan sepertinya tidak akan jebol dengan tendangan kaki. Dubana hanya memperhatikan kemarahan Arial yang dilampiaskannya kepada pintu. Tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang sangat sayup-sayup dari dalam pintu. Dia memiringkan kepalanya agar telinganya terarah tepat ke arah pintu. Dia berusaha mendengarkan suara apa itu, tetapi Arial terlalu berisik sehingga dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Hujan yang turun juga ikut menyamarkan suara dari dalam rumah itu. Karena kekesalan dan kemarahannya, Arial mengarahkan pistolnya ke lubang kunci pintu dua kayu itu. “Baiklah kalau itu maumu,” kata Arial sambil membentak. “Aku akan hancurkan pintu ini dengan paksa!”
Mata Dubana terbelalak ketika dia menyadari suara apa yang didengarnya. Suara yang berasal dari pintu itu benar-benar tidak asing dan sering didengarnya ketika masih muda. Bahkan ayahnya juga memiliknya. Suara mesin yang sudah lama tidak terdengar di manapun. DOR! DOR! DOR! Arial menembak pintu itu tiga kali. Suara dari dalam pintu itu semakin dekat dan terdengar jelas. Dubana yang menyadari akan bahaya segera melakukan tindakan. “Awas!” seru Dubana sambil menerkam Arial hingga terjatuh untuk menyelamatkannya. Kurang dari satu detik kemudian sebuah sepeda motor menerjang daun pintu sebelah kiri tempat Arial berdiri untuk menembaknya. Seorang pria dewasa yang mengenakan jaket dan helm hitam mengendarai motor itu. Dia hendak kabur dengan mengebut. Dubana langsung berdiri dan mengeluarkan pistol putihnya, tetapi sepeda motor itu sudah pergi lumayan jauh. Dia mengeker sepeda motor itu. Walaupun hujan menyamarkan pandangannya, dia menembakan pistolnya dan mengenai pinggang dari pengendara sepeda motor itu dan membuatnya oleng untuk beberapa saat. Tetapi keseimbangannya kembali pulih dan dia berhasil kabur dengan pinggang berlubang.
Dubana berdiri di tengah jalan dan memandangi sepeda motor yang sudah jauh itu. Arial berjalan menghampirinya sambil memegangi punggungnya seperti orang tua yang encok. “Bukankah itu sepeda motor?” tanya Arial.
“Ya, itu sepeda motor,” jawab Dubana.
“Aku tidak tahu masih ada orang yang mempunyai sepeda motor. Di mana mereka mendapatkan bensin atau onderdilnya? Bukankah tidak ada yang menjualnya lagi?” tanya Arial.
“Pasar gelap,” jawab Dubana sambil menyarungkan kembali pistol putihnya di sabuk pistolnya.
“Aku rasa kamu menyelamatkan nyawaku, terima kasih untuk itu,” kata Arial.
“Tidak usah berterima kasih,” jawab Dubana sambil berjalan masuk ke dalam rumah kayu itu. “Kamu tunggu saja di sini.” Dubana masuk ke dalam rumah itu lalu keluar lima menit kemudian.
“Apakah kamu menemukan sesuatu?” tanya Arial.
“Tidak, sepertinya dia hidup sendiri,” jawab Dubana sambil berjalan ke mobil dinas.
“Aku ingin menegaskan. Kamu memang menyelamatkanku, tetapi bukan berarti kita sudah impas. Aku masih membencimu,” ungkap Arial.
“Aku sudah biasa dibenci. Tambah satu orang lagi yang membenciku tidak akan membuat diriku pusing,” tanggap Dubana. “Oskar, buka pintunya.”
Pintu mobil dinas depan terbuka otomatis. Dubana masuk ke dalam. Seragamnya yang basah ikut membasahi jok mobil dinas. Arial mendekati pintu jok depan satunya lagi dan pintunya terbuka otomatis. “Aku juga masih beranggapan bahwa kamu akan menyelamatkan dirimu sendiri jika sedang dalam situasi yang mematikan,” tukas Arial.
“Apakah menurutmu situasi tadi tidak mematikan? Jika kamu tertabrak sepeda motor, kamu akan jatuh ke belakang dan kepalamu akan terbentur aspal. Kamu bisa mati atau paling tidak mengalami gegar otak,” tanggap Dubana.
“Bukan itu maksudku...”
“Oskar, putar balik dan bergeraklah lurus,” perintah Dubana. Mobil dinas itu terangkat ke udara dan mulai bergerak maju. “Mengapa kamu tidak menelepon markas dan melaporkan saja situasi ini daripada berkata yang tidak-tidak?”
“Itu mungkin ide yang bagus,” tanggap Arial. Dia menekan sebuah tombol yang baru saja dibuat di setiap layar sentuh mobil dinas. “PAI.”
“Ada yang bisa dibantu, petugas Arial?” tanya PAI. Suaranya muncul langsung dari mobil dinas.