Perkenalkan namaku Reen. Sebagai seorang konselor pernikahan, sudah tak terhitung banyaknya suami maupun istri yang datang ke klinik ku dengan membawa perasaan yang tidak bahagia dengan pernikahan yang mereka jalani. Padahal sejatinya seseorang menikah untuk mendapatkan bahagia kan? Tapi faktanya, banyak yang mengaku tidak bahagia karena berbagai faktor dalam pernikahan yang mereka lewati. Salah satunya seorang klien yang curhat padaku hari ini. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun dengan inisial D, masuk ke ruanganku dengan mata sembab dan wajah kusut. Tergambar rasa tertekan yang amat sangat di wajah manisnya. Kupersilahkan ia mengeluarkan unek-unek yang menyesaki dadanya, agar aku bisa membantunya mencari jalan keluar terbaik yang mampu ia lakukan.
“Saya sudah tidak sanggup lagi menghadapi perlakukan kasar dari suami saya,” tangisnya.
“Kalau boleh tahu, sudah berapa kali Mbak mendapatkan perlakuan buruk seperti ini sejak menikah?” Tanyaku miris.
“Sudah berkali-kali, dokter, Reen. Biasanya suami saya kalau marah hanya melontarkan kata-kata kasar. Tapi kali ini ia menghina dan merendahkan saya dengan mengatakan saya istri yang tidak becus!”
“Apakah sewaktu belum menikah, suami juga suka kasar seperti itu?”
“Waktu pacaran, sikapnya teramat manis dan jarang marah apalagi berkata buruk sampai isi kebun binatang ia sebut semua. Makanya saya shock mendapatkan perlakuannya yang tidak baik seperti sekarang. Apakah saya terlalu naif? mau menerimanya begitu saja sebagai pendamping. Dalam pikiran saya dulu, suami sangat perhatian dan mencintai saya sebelum menikah. Hanya saja, ia sangat pencemburu dan marah bila saya berhubungan dengan teman pria.”
“Memang, kebanyakan pelaku kekerasan akan menutupi wajah aslinya saat pacaran. Sebab bila kita tahu sikap buruknya, pasti kita tidak akan mau menikah dengannya bukan? Walau ada juga beberapa pria yang sudah menunjukkan perilaku kekerasan sebelum menikah. Tragisnya, sang wanita masih terus memaklumi dan menerima atas dasar masih cinta dan berpikiran si pria akan berubah. Disinilah letak masalahnya, yaitu tidak memakai logika dalam mencintai dan lupa bahwa yang namanya mengubah perilaku manusia itu susahnya setengah mati.”
“Saya sebenarnya sudah bertekad untuk bercerai saja, tapi masalahnya suami saya tidak mau. Ia hanya membuat saya ragu untuk meninggalkannya dengan permintaan maafnya yang penuh penyesalan sehabis memaki saya. Bahkan sampai menyembah dan memohon agar saya tidak meninggalkannya. Saya harus bagaimana lagi, dokter Reen?”
“Hm.…Bagaimana kalau suaminya diajak untuk konseling juga, Mbak?”
“Saya tidak yakin suami bersedia, dokter Reen. Tapi akan saya coba dulu.”
Sebagai seorang konselor pernikahan, tentu aku ingin pasangan suami istri kembali bahagia dengan pernikahan mereka, setelah konseling dan mendapatkan solusi. Tapi sebagai manusia, aku hanya bisa membantu memberikan jalan. Selebihnya tergantung pasangan suami istri tersebut, apakah mau melewati proses perbaikan yang sudah pasti awalnya tidak nyaman. Belum lagi ego dari kedua belah pihak yang sulit hilang dan masih merasa benar. Ibarat penari tango, dibutuhkan kerja sama dalam membangun rumah tangga seumur hidup. Sang suami tak mau diajak berkonsultasi karena berpikiran hanya membongkar aib sendiri. Akhirnya Mbak D kembali curhat padaku di lain hari bahwa ia dipukuli suaminya hingga babak belur karena cemburu. Mbak D pun nekat kabur membawa putri tunggalnya dan menuntut cerai. Aku hanya bisa ikut prihatin dan merasa sedikit kecewa. Andai suaminya berniat mempertahankan rumah tangganya, tentu ia mau melakukan usaha apapun termasuk konseling dan menjalani terapi.
Berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga, sebenarnya tak hanya mengenai kekerasan fisik dan verbal yaitu lewat penghinaan dan kata-kata kasar pada pasangan. Dalam hal finansial juga bisa terjadi kekerasan misalnya suami yang mengabaikan nafkah terhadap istri dengan merasa tak bertanggungjawab untuk menafkahi. Atau bisa juga perhitungan pada istri tapi royal pada orang lain atau pada keluarga besarnya. Bahkan yang lebih miris lagi meremehkan istri serta merendahkannya karena merasa istri tidak ikut mencari nafkah alias hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja. Padahal tugas ibu rumah tangga sungguh berat dan tak mudah. Sehingga sang suami merasa memiliki power untuk berlaku sewenang-wenang pada istri. Bisa juga terjadi sebaliknya yaitu istri yang memiliki penghasilan lebih tinggi dari suaminya, merasa memiliki kekuasaan untuk merendahkan si suami.
Bahkan aku pernah mendapat curhatan dari seorang istri yang tadinya bekerja lalu oleh suaminya di suruh berhenti, demi fokus mengurus anak-anak mereka. Tapi setelah si istri berhenti bekerja, suaminya malah membatasi pemberian uang pada istrinya. Bayangkan! Betapa sedih dan kecewanya si istri, mengingat suaminya memiliki keuangan yang lebih dari cukup. Yups! Begitulah pernikahan yang isinya tak melulu tentang rasa bahagia. Ada rasa kecewa, marah, sakit hati, sedih juga pengkhianatan. Namun bukan berarti tidak ada pernikahan yang didalamnya berisi lebih banyak kebahagiaan daripada rasa sakitnya. Kuncinya ada pada komunikasi yang terbuka, saling pengertian dan mau bekerja sama. Sebab pernikahan tidak bisa dijalankan seorang diri karena menikah itu membutuhkan dua orang yaitu suami dan istri. Pertanyaannya, apakah ketika tidak bahagia dalam menjalani pernikahan, jalan keluarnya adalah dengan bercerai? Tentu tidak bila pernikahan masih bisa diupayakan untuk bisa kembali bahagia dalam menjalaninya bersama pasangan.