Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #4

Hidup Tak Sempurna

Ambu menyambut kedatangannya dengan wajah sedikit berbinar. Keisya sangat senang sekali melihat perubahan pada Ambu yang sudah mulai sedikit ceria. Mengingat beberapa bulan terakhir Ambu tak pernah tersenyum dan tidak mau makan. Ambu juga lebih menarik diri dan sudah tak pernah lagi keluar rumah. Keisya sangat khawatir apalagi ketika Ambu mengatakan sering mendengar suara-suara aneh. Keisya pun membawa Ambu ke klinik Bu Reen, dosen sekaligus psikolog yang sudah ia anggap sebagai ibu sendiri. Bu Reen meminta Ambu untuk mengisi kuesioner sebelum melakukan terapi bicara. Walau awalnya Ambu menolak diajak konsultasi, tapi Keisya terus membujuk hingga Ambu bersedia. Oleh Bu Reen, Ambu didiagnosis mengalami depresi mayor akut dan sudah tahap psikotik, karena Ambu mengalami halusinasi dengan mendengar suara-suara yang tidak real. Ambu mengatakan dia sering mendengar tetangga membicarakan dirinya. Di waktu lain Ambu mendengar tetangga sedang mengamuk dan membanting-banting barang. Setelah dicek, tidak ada tetangga yang membanting barang karena mengamuk. Hanya Ambu yang merasa mendengar, tapi Keisya dan orang sekitar tidak mendengar suara apapun. Oleh Bu Reen, Keisya diberi surat pengantar ke psikiater untuk mendapatkan resep obat depresi, sebab depresi Ambu sudah berat. 

“Ambu sudah makan“? Tanya Keisya sambil membelai telapak tangan Ambunya lembut. Begitu sampai, ia memang langsung ke kamar Ambunya yang sedang berbaring sambil menonton acara kuliner di televisi. 

“Ambu sengaja menunggumu untuk makan bersama. Kebetulan bibimu memasak sayur asem dan ayam serundeng kesukaanmu, “jawab Ambu sambil menatapnya penuh cinta. 

Keisya pun membimbing Ambu ke meja makan, yang sudah dipersiapkan oleh bibinya. Begitu menatap hidangan yang tersaji, Keisya langsung mengambil piring dan menyendokkan nasi lebih dulu ke piring Ambunya. 

“Bibi! ayo sekalian ikut makan, “ajak Keisya demi melihat bibinya masih sibuk di dapur. 

“Iya, Neng, “bibinya pun ikut duduk di meja makan bundar mereka. Keisya senang bisa makan bersama keluarganya, walau ia sedih karena Kang Arman tidak hadir sebab jarang di rumah. Alasannya sibuk kuliah, padahal Keisya pernah cek ke kampusnya di Kampus IPB, Akangnya itu jarang masuk kelas dan lebih sering naik gunung bersama komunitas Mapalanya. Itulah sebabnya ia lebih dulu selesai kuliah dari abangnya yaitu 4 tahun lebih sedikit. Sementara Akangnya setelah 7 tahun baru lulus. Untung dosennya masih mau memberi keringanan agar Kang Arman masih bisa kuliah. Usia mereka hanya terpaut 3 tahun sehingga dulu sering bermain bersama sewaktu kecil. Sebenarnya diatas Kang Arman ada Kang Asep sebagai anak tertua. Namun meninggal saat masih duduk dibangku sekolah menengah pertama karena malaria akut. Setelah selesai menikmati makan siang bersama Ambu dan bibinya, Keisya pun menemani Ambunya mengobrol. Ambu sudah mulai banyak bercerita tentang apa saja termasuk kesehariannya. Keisya bahagia mengingat Ambu sebelumnya lebih banyak berdiam diri di kamar dan lebih sering menangis. 

“Ambu ingin mengunjungi klinik dan apartemen barumu, Keisya. Kapan kamu mau ajak Ambu”? 

“Sabtu depan Keisya jemput Ambu ya”? 

“Dengan senang hati Neng Geulis, “ jawab Ambu sambil mengusap-usap kepalanya. Keisya pun tertawa. 

Waktunya Ambu tidur siang, Keisya pun menuju kamar Akangnya yang terkunci, tapi dia punya kunci cadangannya agar sewaktu-waktu bisa mengecek kamar Akangnya itu. Ia buka pintu perlahan dan sedikit terkejut melihat isi kamar di depannya. Berdebu seperti tak pernah dibersihkan. Beberapa baju kotor teronggok di pojok kamar begitu saja. Aroma apek bercampur bau pakaian kotor menjadi satu. Buku-buku berserakan di atas meja seperti tak pernah dirapikan oleh Kang Arman, pemiliknya. Kamar ini ibarat rumah kosong yang sudah berbulan-bulan tidak ditempati penghuninya. Sementara poster Iwan Fals, penyanyi idola Kang Arman tertempel cukup besar di dinding kamar sambil bertelanjang dada.

Kuraih sebuah buku bersampul kuning dan membersihkan debu di atasnya. Beberapa puisi patah hati dan penuh kemarahan pada ayah yang telah menelantarkan kami walau masih memberi uang untuk sekolah anak-anaknya meski harus selalu diminta, tertulis dengan sedikit acak-acakan. Di halaman lainnya beberapa buah cerita pendek dan curahan hati Kang Arman yang mengalami patah hati soal perempuan. Mungkin akibat terlalu fokus dengan patah hatinya inilah, Kang Arman sampai tidak punya waktu untuk memikirkan Ambu dan aku, adiknya. Mau bilang apa lagi! Kenyataannya Kang Arman selalu berhasil menaklukkan gunung setinggi apapun, tapi tak mampu menaklukkan perasaan kecewanya sendiri terhadap hidup dan wanita yang meninggalkannya begitu saja. Buktinya tak hanya satu puisi tentang rasa kehilangan dan kecewanya tertuang.

Siapakah gerangan wanita yang tega menghancurkan harapan cinta Kang Arman? Andai Akangnya itu mau terbuka padanya, meskipun hanya berstatus sebagai adiknya. Lagi pula ia kan sudah cukup dewasa untuk diajak bertukar pikiran soal perasaan. Sikap tertutup Kang Arman ternyata menurun padanya, yaitu sangat sulit dan kurang merasa nyaman untuk membuka diri, meskipun pada keluarga sendiri. Keisya pun mengumpulkan pakaian kotor Akangnya dan membawanya ke mesin cuci. Menjelang sore, Ambu bangun dan Keisya menemaninya duduk di balkon sambil membuatkan Ambu teh hangat. Mereka kembali mengobrol sambil menemani Ambu yang mulai bersemangat lagi mengurus tanamannya yang terbengkalai. 

Lihat selengkapnya