Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #6

Waktu pun, Cemas!

Hari ini usianya bertambah satu, tanpa adanya ucapan selamat ulang tahun, pesta ataupun kado. Keisya hampir lupa kapan ia terakhir kali merayakan hari jadinya. Seingatnya saat ia berusia 5 tahun ketika ayah dan Ambunya masih hidup bersama. Ambu membuatkan kue ulang tahun untuknya dengan mengundang teman-teman bermainnya. Tidak mewah namun acara ulang tahun yang sederhana itu sangat berkesan baginya. Perayaan ulang tahunnya yang kedua dilakukan kecil-kecilan bersama teman-teman di asrama sekolah ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia masih ingat saat di prank oleh anak asrama dengan dituduh mengambil dompet salah satu anak putri. Kebetulan waktu itu ia lagi bertugas menjadi tim penyelidikan di asrama karena mulai banyak anak yang mengaku kehilangan barang. Benar-benar tak terlupakan walau sempat marah dan malu akibat dikerjai.

Alangkah cepatnya waktu berlalu, ucapnya lirih. Tanpa sadar, matanya berembun dan hatinya menangis karena rasa sedih yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia hanya bisa mengucapkan rasa syukur pada Tuhan masih diberi kesehatan dan kebermanfaatan dalam hidup. Keisya menatap arloji di tangannya, mengingatkannya untuk bersiap-siap menyambut klien yang sudah membuat janji pagi ini. Kliennya seorang editor senior di sebuah penerbitan besar bernama Reni, kini sudah ada di hadapannya. Keisya menyambutnya ramah dan menuntunnya untuk duduk di sofa yang nyaman di penuhi bantal empuk. Seperti biasa, Keisya akan berusaha memasang senyum dan bersikap lebih santai meski hatinya lagi mendung. 

    “Apa kabar Mbak Reni, bagaimana perasaannya hari ini? “Sapa Keisya membuka percakapan. 

    “Saya sedang membutuhkan pelukan di hari ulang tahun saya hari ini, Mbak. Hati saya sangat sedih karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi . “

     Keisya pun memberikan pelukan hangatnya, dan dengan lembut merengkuh Reni dalam pelukannya, sambil mengusap-usap bahu Reni, mencoba memberikan kehangatan dan rasa aman yang dibutuhkan. Ia biarkan Reni tersedu-sedan di bahunya, agar beban emosinya yang sudah menumpuk keluar. Setelah beberapa menit, tangisan Reni mulai mereda. Keisya pun melepaskan pelukannya perlahan, memberikan ruang bagi Reni untuk menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan dirinya kembali.

   "Terima kasih, Mbak Keisya. Pelukan tadi benar-benar membantu mengurangi kesedihan sekaligus kecemasan dan rasa takut saya selama ini. “

    "Sama-sama, Mbak Reni. Kalau boleh tahu, apa yang membuat rasa cemas dan takut itu muncul? “

 Reni pun bertutur sambil sesekali menarik nafas, seperti menyimpan sebuah beban berat yang hendak ia lepaskan. Reni cemas karena setiap hari ulang tahunnya tiba, hanya akan mengingatkannya akan kematian saudara-saudaranya. Kakak pertamanya meninggal akibat kanker ganas, lalu beberapa tahun kemudian adik lelakinya juga meninggal akibat kanker yang sama yaitu kanker hati. Terakhir ibunya menyusul kedua saudaranya setelah berjuang dengan penyakit leukimianya. 

   “Saya selalu dibayang-bayangi oleh monster kematian bernama kanker yang merenggut kedua saudara dan ibu saya yang berakhir tragis, Mbak. Untuk itulah setiap hari ulang tahun tiba, Saya berpikir itu artinya usia saya berkurang, yang membuat saya cemas dan takut mendapat giliran berikutnya. Akankah saya juga mengalami kematian yang sama tragisnya. Saya juga takut waktu berlalu begitu cepat, rasanya ingin menghentikan waktu yang terus berlalu. “

   Keisya tetap menyimak sambil menatap kedua mata Reni dengan penuh perhatian. Ternyata tidak semua orang bahagia menyambut hari ulang tahunnya sendiri. Ia pikir seseorang hanya merasakan 2 hal yaitu rasa bahagia dan sedih seperti yang ia rasakan, tapi ternyata ada rasa takut dan cemas dalam menghadapi hari kelahiran. 

   “Apakah perasaan cemas dan takut hanya Mbak Reni rasakan sewaktu hari ulang tahun saja?” tanya Keisya ingin tahu lebih jelas. 

   “Sebenarnya hampir setiap hari saya merasakannya, Mbak. Hanya saja puncak rasa cemas dan takut itu muncul menjelang bertambahnya umur saya. Bahkan saya sering diam di kamar tanpa melakukan apapun dan banyak tulisan novel saya yang tidak selesai. Belakangan ini naskah editan saya pun mulai terbengkalai dan tidak selesai sesuai tenggat waktu. Saya merasa kalau terus menulis maka waktu akan cepat berlalu tanpa bisa saya cegah. Apalagi menyelesaikan tulisan butuh waktu berbulan-bulan bahkan tahunan hingga sampai terbit. Saya hanya ingin menunggu waktu setiap hari tanpa melakukan apapun, agar setiap detik yang lewat bisa saya rasakan. Bahkan saya sering tidak bisa tidur karena tak ingin tertidur yang membuat hari kembali berlalu esok paginya. “

   “Sangat disayangkan bila Mbak Reni sampai berhenti menulis, toh waktu akan tetap berjalan meski Mbak Reni menulis atau tidak, kan?" terang Keisya tersenyum. Menurut saya, sepertinya Mbak Reni sudah taraf pada gejala mengalami kecemasan waktu. Saran saya sebaiknya berkonsultasi ke psikolog, saya rekomendasikan untuk ke klinik fajar biru. “

"Saya tahu Mbak Keisya, bila saya menulis ataupun tidak, waktu tak pernah menunggu. "

"Nah, benar! Lebih baik tetap menulis agar waktu Mbak Reni tetap terisi. Apalagi saya baca tulisan Mbak bagus sekali, sayangkan tidak diselesaikan. Padahal pembaca Mbak Reni selalu menanti dan akan kehilangan bila Mbak berhenti menulis. '

" Saya juga menyadari hal itu Mbak Keisya, namun bila kecemasan itu datang, Saya tak bisa berpikir jernih. "

      "Saran saya bila kecemasan itu datang, Mbak Reni bisa menerapkan terapi butterfly hug. Sebuah metode penanganan kecemasan dan kepanikan yang dilakukan dengan memeluk diri sendiri dalam menenangkan diri dari segala perasaan negatif seperti cemas, sedih, takut dan perasaan tak nyaman lainnya. "

"Begitu ya Mbak Keisya, bagaimana caranya?"

Lihat selengkapnya