Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #9

Cinta Tak Bersuara

Keisya lega akhirnya Tania mulai pulih secara perlahan, walau masih belum mau dengan Mbak Rina ibunya. Untunglah Tania mau dan lengket dengan neneknya, sehingga ketika ayahnya bekerja masih ada yang menjaga dan mengawasi. Sedih memang bila anak sendiri menjauhi kita walau dalam keadaan lagi tidak normal kondisi jiwanya. Pastilah sebagai ibu merasakan rindu yang amat sangat untuk bisa kembali memeluk dan berkomunikasi dengan anak sendiri. Keisya Hanna hanya bisa memberikan dukungan lewat doa dan rasa empatinya ketika Mbak Rina bercerita soal isi hatinya yang kesepian sejak anaknya menderita sakit gangguan mental. Kini saatnya ia healing sejenak dengan mengisi waktu bersama komunitas pena hijau, sebuah grup menulis bertema cinta lingkungan tempat ia baru bergabung. Mengendarai motornya menyusuri kawasan Cikeas, sampailah ia pada sebuah rumah dengan halaman cukup luas yang dipenuhi pepohonan dan aneka warna bunga. Perlahan ia buka pagar bambu yang cukup rendah di depannya. Untung acara baru saja dimulai dan ia harus bersiap-bersiap bersama anggota lainnya untuk mengucap ikrar. Yah, hari ini akan berlangsung pernikahan antara pohon dan manusia. Keisya segera mengambil sebatang bibit pohon dan langsung menuju tempat duduknya di barisan belakang. 

"Saya berjanji, akan sehidup semati dengan pohon. Mencintai dan menyayangi dengan sepenuh hati. Saya bersumpah! Akan setia kepada pohon. Merawat dan melestarikannya, dengan segenap jiwa."

Terlihatlah setiap orang berpakaian jas hijau sedang berdiri mengucap janji sambil memegang bibit pohon di tangan, termasuk dirinya ikut berdiri di barisan belakang mengucapkan janji setia. 

"Baiklah! Ijab kabul dengan pohon sudah selesai. Sekarang dipersilahkan untuk duduk kembali," ucap wanita berusia setengah baya berkulit sawo matang dengan rambut sebahu dari atas panggung.

Tak lama berselang, wanita setengah baya itu kembali naik ke atas panggung bermain drama bersama anggota lainnya. Penuh penghayatan memainkan kisah tentang rintihan pohon. Keisya ikut terbius menyaksikan adegan demi adegan diselingi puisi.

"Kita tercipta karena cinta Sang Pemilik Cinta. Maka, cintailah semua yang sudah di ciptakannya, yaitu alam dan seisinya. Oh, sudahkah kita membalas cinta-Nya? Dengan mencintai segala yang ia ciptakan dengan penuh cinta?"

Sampai tak terasa tepukan tangan menyudahi adegan teater bertema lingkungan hijau tersebut. Acara pun dilanjutkan dengan makan siang bersama ibu pohon sekaligus guru menulis di grup pena hijau, begitu kami memanggilnya 

"Inilah salah satu cara saya menghargai hidup dengan kembali pada alam." Ibu pohon menata kentang, selada, timun dan pisang rebus diatas meja makan panjang ditambah tahu dan tempe kukus yang hangat. Keisya dan anggota grup lainnya merasakan nikmatnya makanan alami singgah di perut. Diselingi perbincangan di antara mereka yang kian bersemangat.

"Pandu, katanya kau penyair kesohor. Tapi aku tak pernah membaca satu pun karyamu di muat di media." Seorang lelaki berbaju kemeja krem terlihat sedang berbicara ke arah Pandu salah satu anggota yang memakai topi pet lusuh."

"Aku hanya ingin berkarya untuk merayakan kehidupan, bukan ingin di publikasikan," jawab Pandu masih asyik menulis di kertas."

"Ho ho ho! Adakah ini sekedar kerendahan hati, atau hanya rasa insecure semata? “ucap anggota lainnya menimpali. 

"Hmmm," lelaki bertopi pet itu hanya menggumam. Lalu diam dan kembali serius dengan goresan syairnya.

“ Iya Pandu saya juga heran, mengapa ceritamu yang sebagus ini tidak kau terbitkan saja atau kirimkan ke media?” tanya Keisya Hanna sambil membuka-buka dan membaca lembaran tulisan teman komunitasnya itu 

"Bagi saya, karya lahir dari cinta, dan kita adalah karya itu sendiri. Karya Tuhan yang paling sempurna. Jadi mau terbit atau enggak, saya akan terus tetap berkarya Keisya.”

“Hidup adalah pilihan, jadi biarkan Pandu memilih jalan hidup seperti apa sebagai seorang penulis, kita harus menghargainya. “ Tiba-tiba Ibu Pohon sudah berada di samping mereka yang sedang asyik berdiskusi. 

Kami pun mengangguk dan ikut mengiyakan ucapan Ibu Pohon karena bagaimanapun yang menjalani hidup adalah Pandu. 

“Jalan kebahagiaan setiap orang itu tidaklah sama, “jelas Ibu pohon lagi sambil tersenyum. Akh, senyum itu begitu damai laksana surga dimata Keisya, dengan tatapan mata Bu Noto yang sejuk bak pohon-pohon hijau di Cikeas ini. Hari menjelang sore acara pun selesai dan setiap anggota pun pamit pada Ibu Pohon alias Bu Noto, tak terkecuali Keisya. 

Dalam perjalanan pulang, Keisya jadi ingat seseorang yang begitu mencintai seorang wanita tanpa perlu dibalas. Seperti Pandu yang mencintai tanpa balasan uang maupun ketenaran. Bahkan Ardy temannya hanya memalingkan wajahnya saat melintasi rumah Diana, wanita yang telah membuatnya merasakan indahnya getaran rindu dan cinta. Bagi Ardy Sudah melihat rumah Diana saja hatinya merasa euforia. Apalagi bila sampai bertemu, mungkin dadanya akan meledak saking senangnya. Keisya tahu, sebab Ardy selalu bercerita padanya bahwa ia telah bertahun-tahun hanya menyimpan rasa cinta dan rindu tanpa berniat mengungkapkannya. Cukup baginya hanya mendengar kabar Diana dari orang lain termasuk dirinya. Keisya suka heran mendapati sahabatnya itu hanya memandangi wajah Diana dari kejauhan. Diana adalah seorang gadis berbakat yang senang melukis dan menari. Wajahnya enak dipandang dan lembut serta meneduhkan. Walau bukan gadis tercantik di lingkungan tempat tinggal mereka, tapi bagi Ardy, Diana sangat jelita dan istimewa. Pernah Ardy begitu ingin bertemu Diana, namun lagi-lagi ia mengurungkan diri untuk berhadapan dengan wanita pujaannya itu. Ardy pun meminta dirinya untuk mendatangi rumah Diana.

"Kau melihat kakinya, Keisya? Bagaimana bentuknya? Panjangkah atau gemuk berisi? Suaranya lembut, mendayu-dayu atau agak keras?"

"Kakinya panjang dan tidak terlalu gemuk. Sedangkan suaranya lembut tapi tidak mendayu-dayu," jelasnya bersemangat. Seakan-akan ia yang baru saja bertemu kekasihnya. Sementara Ardy akan langsung diam menghayati perkataannya itu sambil membayangkan Diana. Setelah itu, akan lahirlah puisi dari tangannya. Ekspresi kecintaan dan kerinduannya yang kian bertambah pada Diana. 

Kutanak sesayap rindu

Di tungku puisi

Senandung matahari menghiasi hati

Menyair rindu hanya padamu

Lihat selengkapnya