Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #10

Cinta Tertinggi

Pagi hari di Klinik Fajar Biru

Janni sudah duduk di hadapanku, dengan sinar mata sayunya yang terlihat layu. Kemana mata yang bersinar indah dan penuh bahagia itu? seperti yang sering kulihat di instagram nya. Kumulai dengan meminta Janni untuk mengisi kuesioner, demi mengetahui adakah indikasi depresi. Setelah kuanalisa dari setiap pertanyaan yang ia jawab di lembar kuesioner, didapat hasil bahwa Janni menderita depresi mayor. Apalagi Janni mengatakan bahwa ia tidak berhasrat lagi untuk hidup, yang merupakan adanya indikasi untuk bunuh diri. Hal ini biasa menghinggapi pikiran seseorang yang tengah mengalami depresi.

’’Aku ingin pergi saja dari muka bumi ini, tapi takut menghadapi alam kematian bila mengakhiri hidup. Bisa tidak aku menghilang saja, Reen? Tidak hidup dan juga tidak mati.’’

’’Hidupmu masih panjang, Janni. Anak dan suamimu juga masih membutuhkan kehadiranmu,” jawabku mencoba menenangkannya.”

“Reen, mengapa hidupku tidak bisa bahagia seperti yang lain. Sedari dulu, aku selalu mencari cara untuk bisa hidup bahagia. Tapi, mengapa aku tak kunjung bahagia, bahkan setelah menikah dengan orang yang kucintai,” tangisnya sesenggukan di meja konseling. Aku pun mendekatinya dan mencoba memberinya pelukan untuk sekedar meringankan luka batinnya.

“Sejak kapan kamu merasa tidak bahagia, Janni? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa Adrian seorang suami yang setia, pekerja keras dan bertanggung jawab. Bahkan aku masih ingat, dulu kau tak pernah bosan menceritakan sosok Adrian padaku, karena orangnya walaupun agak dingin, namun romantis dan sering memberikan surprise ketika mendekatimu. Hal itu masih ia lakukan setelah kalian menikahkan? Tanyaku sambil memandang ke arah Janni penuh rasa iba.

Janni tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia malah terlihat semakin murung dan mencoba mengalihkan jawabannya.

“Mungkin sejak dalam kandungan, aku merasa tidak bahagia Reen,” jawab Janni sambal memilin-milin ujung bajunya. Kondisi Janni yang kini tengah depresi, membuatnya terlihat lebih senang mempermainkan lipatan ujung bajunya.

Aku kembali mendengarkan dengan penuh seksama dan rasa empati

“Untuk mengalihkan rasa cemas di hatiku akan banyak hal, Reen,” ucapnya. ketika aku bertanya tentang kebiasaan barunya itu.

“Aku siap mendengar ceritamu, Janni. Bahkan sejak kita masih sama-sama kuliah di fakultas psikologi. Bicaralah padaku.”

Janni kembali hanya menangis, dan membalas pelukanku erat.

Aku pikir, hanya laki-laki yang tega mengkhianati istrinya. Ternyata dugaanku salah, Reen! Seorang istri juga bisa berkhianat seperti yang telah aku lakukan, tangis Janni pun pecah. Apa yang harus aku lakukan Reen? Masih pantaskah diriku ini dimaafkan? Aku sangat menyesal Reen! “Janni meneruskan ucapannya sambil mengusap air matanya. 

“Why, Janni? “ tanyaku sambil menggenggam tangannya. 

“Semua terjadi begitu saja Reen! Tak pernah sedikit pun ada niat dihatiku untuk menyakiti Adrian. Hanya saja, aku merasa hubungan kami mulai berjarak hingga lahir rasa hampa itu. Lalu, Pram masuk dalam hidupku, mengisi kekosongan hatiku dan tanpa sadar membuatku merasa nyaman. Tapi aku sadar hubungan ini salah Reen, untuk itulah aku segera memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengan Pram. “

“Tindakanmu sudah tepat Janni, untuk mengakhiri hubungan yang tidak semestinya terjadi. “

“Haruskah aku mengaku dan meminta maaf pada Adrian, Reen? Tapi aku takut untuk berterus terang. “

“Sebenarnya itu pilihanmu Janni, bila itu bisa membuatmu lebih tenang atau malah sebaliknya. Saranku kamu berpikirlah dulu dan tidak usah terburu-buru mengambil keputusan. Yang terpenting kamu sudah menyadari dan bertekad untuk tak meneruskan hubungan terlarang itu bersama Pram. Jangan biarkan hatimu dan hati pasanganmu di curi oleh orang lain. Sebab hatimu dan hati pasanganmu adalah salah satu harta yang paling berharga dalam pernikahan, Janni. Untuk itu jagalah harta berharga itu dengan sebaik-baiknya.”

“Terima kasih Reen, akan aku pertimbangkan ucapanmu. “

Janni pulang dengan membawa beban konflik di hatinya. Tapi tak ia sangka beberapa hari kemudian, Adrian suami Janni yang gantian datang berkonsultasi.

“Terus terang saya tidak tahu apa yang terjadi pada Janni, Bu Reen. Beberapa hari ini dia gampang tersinggung dan suka pergi dari rumah begitu kami habis berdebat hanya soal masalah sepele. Kadang-kadang dia suka meminta maaf tiba-tiba dan mengatakan merasa sangat bersalah padaku. Tapi ketika saya tanya ada apa, Janni hanya diam dan mengurung diri di kamar.”

Lihat selengkapnya