Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #11

Ketakutan Yang Aneh

Pagi itu, seperti biasa, Keisya Hanna membuka ponselnya untuk memeriksa pesan-pesan di WhatsApp. Biasanya, ia menerima banyak pesan dari teman-temannya, rekan kerja, atau klien yang meminta sesi konseling. Tapi hari ini, ada satu pesan baru yang menarik perhatiannya. Keisya membuka profilnya dan tertulislah nama pengirimnya bernama Keisar Liam, seorang pria yang namanya belum pernah ia dengar sebelumnya. Hmmm, lumayan dari foto profilnya terlihat sosok pria tampan dengan senyuman ramah menghiasi bibir maskulin itu. Keisya lalu membaca isi pesannya, cukup singkat namun menarik berupa ajakan untuk bertemu di sebuah tempat bernama Secret Garden di kota tanpa cemas, Buitenzorg! 

Sekilas pria itu menjelaskan bahwa ia ingin berkonsultasi mengenai keponakannya yang memiliki ketakutan aneh terhadap uang. Keisya langsung merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa takut biasa. Sepertinya ini bukan fobia yang umum didengar, dan meskipun rasa penasaran menyelimuti pikirannya, Keisya tidak langsung menerima ajakan tersebut. Ada sesuatu dalam instingnya yang membuatnya berhati-hati, mungkin karena pengalaman pahit yang pernah ia alami beberapa bulan lalu.

Pengalaman ketika ia pernah mengalami pelecehan oleh seorang klien pria di kliniknya. Meski kejadian tersebut sudah berlalu, namun tidaklah mudah baginya melupakan pengalaman itu, yang masih meninggalkan bekas trauma di hatinya. Trauma itu berdampak pada dirinya hingga menjadikannya lebih waspada dan cenderung curiga terhadap ajakan dari orang yang tidak dikenalnya. Kejadian itu mengajarinya untuk selalu berhati-hati, terutama ketika berurusan dengan klien pria yang baru pertama kali ditemui. Karena itulah, meski Secret Garden adalah tempat umum, ia merasa perlu mengambil langkah hati-hati sebelum menyetujui pertemuan itu.

Kini sebelum menerima ajakan konseling di luar klinik dari pria asing manapun, Keisya memutuskan untuk meminta Keisar Liam melakukan panggilan video sebelum mereka bertemu. Alasannya sudah jelas ia ingin memastikan bahwa pria ini bisa dipercaya, dengan melihat wajahnya, membaca gerak-geriknya, dan mendengar nada bicaranya. Hanya dengan begitu, ia bisa merasa cukup aman untuk melanjutkan komunikasi dan mungkin, mengatur pertemuan.

Tak lama setelah permintaan itu dikirim, layar ponsel Keisya menampilkan wajah seorang pria yang tampan dan berpenampilan rapi. Tampak dari layar ponselnya Keisar Liam mengenakan kaos biru berlengan pendek yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan bahu yang kokoh. Entah mengapa, tiba-tiba dada Keisya berdesir. Namun segera ia tepiskan desiran gemuruh di dadanya. Apalagi melihat pria itu tersenyum ramah, hingga memperlihatkan sebaris gigi putihnya yang rapi. Pandangan matanya yang berbinar menunjukkan kebaikan dan ketulusan, seolah lelaki ini benar-benar peduli dengan masalah yang dihadapi keponakan laki-lakinya. Belum lagi suaranya pun lembut, ramah, dan sopan, membuat Keisya sedikit lebih tenang dan merasa lebih nyaman. Ingat Keisya, jangan mudah terkecoh dengan penampilan luar seseorang, tegur hatinya mengingatkan. Keisya pun mencoba kembali fokus pada klien barunya. 

"Maaf, Mbak Keisya, saya tidak bermaksud menyulitkan dengan permintaan ini," ujar Keisar dengan senyum penuh simpatik.

"Tidak mengapa, saya mengerti Anda ingin memastikan semuanya berjalan lancar," jawab Keisya sambil membalas senyum. Meski ia masih sedikit waspada, suasana hati Keisya mulai mencair melihat cara bicara Keisar yang sopan dan wajahnya yang penuh ketulusan.

"Sebenarnya saya senang dengan pilihan tempat yang Anda ajukan. Secret Garden memang terkenal dengan suasana yang menenangkan, banyak pepohonan rindang, bunga-bunga yang cantik, dan suara gemercik air yang bisa membuat kita lupa sejenak pada hiruk-pikuk kota. Tapi saya penasaran, mengapa tidak memilih konseling dengan seorang psikolog saja untuk masalah keponakan Anda yang cukup serius? Mereka biasanya lebih berpengalaman dalam menangani kasus-kasus seperti ini," jelas Keisya, sambil menghela napas panjang.

Tampak di layar handphonenya Keisar Liam tersenyum tipis, kali ini berkata dengan nada sedikit lebih serius. 

"Sejujurnya, saya menemukan info tentang klinik Mbak di Instagram, dan entah kenapa, feeling saya mengatakan bahwa saya harus berkonsultasi dengan Mbak Keisya terlebih dahulu. Kebetulan sekarang saya sedang menenangkan diri di hutan mini ini. Saya pun berpikir tempat ini cocok untuk membicarakan sesuatu yang mungkin lebih baik dipecahkan dengan pendekatan yang lebih personal. Soal membawa Hendri ke psikolog saya sedikit ragu. Sepertinya saya merasa lebih nyaman untuk memulai dengan Mbak Keisya dulu, apalagi saya belum pernah ke psikolog dan berhubungan dengan masalah psikologis."

Spontan Keisya tertawa kecil mendengar jawaban Keisar. 

"Jadi, Anda memilih saya karena feeling, bukan karena reputasi saya? Kedengarannya cukup menarik!"

Keisar Liam ikut tertawa dengan suara mengalun lembut di telinga Keisya.

 "Bukan begitu, saya yakin Mbak memiliki keahlian, tetapi konseling di tempat yang tenang seperti ini mungkin bisa memberikan ide yang lebih jelas tentang apa yang harus saya lakukan."

“Baiklah! Keisya mengangguk, merasa sedikit tersentuh oleh ketulusan pria itu. Di balik semua keraguan dan trauma yang masih ia bawa, ada rasa hangat yang tumbuh dalam dirinya. Keisar tampak seperti seseorang yang jujur dan sungguh-sungguh. Meskipun insting kewaspadaannya tetap bekerja, Keisya mulai merasa bahwa mungkin Keisar benar-benar membutuhkan bantuannya.

"Feeling memang sering kali menjadi panduan yang bagus. Terkadang, perasaan membawa kita ke tempat yang tepat. Benar tempat ini memang cocok untuk berpikir dan menenangkan diri," jawab Keisya begitu sampai di lokasi dengan suara yang lebih lembut. 

Sambil menunggu pesanan menu sarapan pagi di cafe bernuansa hijau dan bertema kebun datang, mereka lalu melanjutkan percakapan dan Keisar mulai bercerita lebih lanjut tentang keponakannya, Hendri, yang memiliki ketakutan ekstrem terhadap uang. 

"Setiap kali Hendri melihat uang, dia langsung panik. Tangannya gemetar, keringat dingin, dan wajahnya pucat. Padahal, usianya baru 10 tahun. Saya tidak mengerti mengapa dia bisa begitu takut pada sesuatu yang seharusnya tidak menakutkan bagi anak-anak."

Keisya mendengarkan dengan seksama. 

"Memang sebaiknya Hendri dibawa ke psikolog, " ucap Keisya kembali mengingatkan.

Lihat selengkapnya