Keisya Hanna tidak pernah menyangka hubungan antara dirinya dan Liam bisa menjadi sedekat ini. Setiap hari, mereka tampak semakin tak terpisahkan, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata yang mengikat mereka bersama. Sebenarnya, alasan profesionalnya untuk berinteraksi dengan Liam sudah lama berakhir sejak Hendri, keponakan Liam, pulih dari trauma yang membuatnya takut pada uang. Tapi, Liam terus hadir dalam hidupnya, begitu juga sebaliknya. Apakah mungkin karena mereka menemukan kenyamanan yang sulit diucapkan dengan kata-kata? Hanna bertanya-tanya dalam hati.
Awalnya, perasaannya terhadap Liam hanyalah kekaguman, tetapi belakangan ini, setiap kali berada di dekat pria itu, ia merasakan getaran-getaran halus yang semakin sulit diabaikan. Ia merasa nyaman untuk bercerita tentang apa saja pada Liam, termasuk hal-hal yang sangat pribadi. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan mulai tumbuh, meski ia belum sepenuhnya menyadari atau mengakui perasaan tersebut.
Hal yang paling Hanna sukai adalah ketika Liam sering mengajaknya keluar makan malam di sela-sela kesibukannya mengelola restoran Korea miliknya. Ia selalu menantikan momen-momen itu. Baginya, bukan hanya makanan lezat atau suasana restoran yang membuatnya bahagia, tetapi kebersamaan dengan Liam yang semakin hari semakin membuatnya merasa istimewa. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka, sesuatu yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan percakapan yang kadang berhenti sejenak ketika mereka saling bertatapan.
Pada suatu malam, Liam mengajaknya untuk berjalan-jalan menikmati pemandangan Jakarta.
"Saya tahu kamu suka melihat lampu-lampu kota di malam hari. Bagaimana kalau kita berkeliling Jakarta malam ini? Kita bisa mencari tempat yang bagus untuk melihat pemandangan kota," ajak Liam sambil tersenyum.
Hanna terkejut dan tersanjung bahwa Liam mengingat hal sederhana yang pernah ia katakan beberapa hari sebelumnya. Matanya berbinar-binar menyambut ajakan itu.
"Tentu saja saya sangat suka, Liam! Melihat kota ini di malam hari, apalagi bersamamu. Lampu-lampunya membuat Jakarta terlihat begitu hidup dan penuh warna," jawabnya antusias.
Liam tertawa lembut, lalu mengacak-acak rambut Hanna dengan sayang. Hati Hanna semakin melambung. Ia merasakan sebuah keromantisan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ditengah rasa pesimisnya akan sebuah hubungan cinta, kini ia merasa mendapatkan kesempatan untuk merasakannya.
Mereka menghabiskan malam itu dengan mengelilingi kota, melintasi jalan-jalan yang dipenuhi gedung-gedung tinggi yang bersinar dengan lampu-lampu warna-warni. Setiap detik perjalanan terasa begitu berharga, merasakan ketenangan yang langka ditemani pria yang kini telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Mereka akhirnya berhenti di sebuah bukit yang terpencil, di mana mereka bisa melihat seluruh kota Jakarta dengan jelas. Liam mematikan mesin mobil, dan mereka duduk di atas kap mobil, menikmati angin malam yang sejuk.
"Jakarta memang indah di malam hari," ujar Liam, memecah keheningan.
"Iya, saya bisa duduk di sini sepanjang malam hanya untuk melihat pemandangan ini," jawab Hanna dengan suara lembut.
Liam menoleh ke arah Hanna dan menatapnya dengan serius.
"Terima kasih, Hanna. Terima kasih sudah sering meluangkan waktu untukku di tengah-tengah kesibukanmu. Saya tahu kamu sangat sibuk, tapi kamu tetap peduli padaku."
Hanna tersenyum, merasa pipinya memerah. "Hei, saya yang harusnya berterima kasih, Liam. Kamu yang selalu ada untuk saya, menghibur, mendengarkan cerita saya, dan membuat saya merasa berharga. Kita saling melengkapi, bukan?"
Liam mengangguk, tetapi tampak ada sesuatu di matanya, sesuatu yang ingin ia ungkapkan. "Hanna," katanya dengan nada serius, "Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan denganmu. Ini mungkin terdengar aneh, tapi saya harap kamu mau mendengarkan dulu sebelum memberi jawaban."
Hanna merasa jantungnya berdebar kencang. "Tentu, Liam. Apa itu?"
Liam menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Ayahku, seperti yang kamu tahu, sudah tua dan sakit-sakitan. Belakangan ini dia sering khawatir karena putranya ini belum juga menikah, padahal usianya sudah hampir 40 tahun. Dokter bilang bahwa kekhawatirannya bisa memperburuk kondisi kesehatannya. Saya ingin memberinya harapan, sesuatu yang bisa membuatnya merasa tenang. Jadi... saya berpikir untuk meminta bantuanmu."
Hanna mendengarkan dengan seksama, sedikit terkejut dengan arah pembicaraan Liam. "Tentu saja saya akan dengan senang hati bila bisa membantu, Liam."