Harga Sebuah Pelukan

Iir
Chapter #16

Jeda Bahagia

Kepulangan Kang Arman kali ini membawa berita gembira. Ia akan menikah! Keisya tentu sangat senang mendengar kabar itu. Pesta pernikahan rencananya akan diadakan di rumah, secara sederhana. Rumah keluarga mereka masih terletak di daerah perkampungan yang penuh dengan semangat kebersamaan. Setiap kali ada hajatan atau kemalangan, warga desa selalu saling membantu tanpa perlu diminta. Mereka rela memberikan apa saja yang bisa mereka sumbangkan, baik dalam bentuk bahan makanan maupun tenaga. Biasanya, hajatan berlangsung selama dua hari di rumah, dengan suasana yang meriah dan penuh kehangatan.

"Selamat ya, Kang! Semoga berbahagia dan langgeng selamanya," ucap Keisya dengan penuh antusias.

"Terima kasih atas ucapan dan doanya, Neng Geulis," jawab Akangnya dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kamu juga harus ikut membantu, ya. Siapa tahu nanti ada yang melirik kamu."

Keisya tertawa kecil mendengar godaan abangnya. "Ah, Kang, selalu saja bercanda."

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk acara pernikahan. Keisya bersama keluarga dan warga desa berembuk untuk menentukan tugas masing-masing. Ada yang akan menjadi penerima tamu, ada yang bertugas membantu di dapur, menjaga menu prasmanan, dan ada pula yang bertanggung jawab menyewa jasa perias pengantin serta peralatan lainnya.

Sehari sebelum hari H, warga sudah berdatangan membawa beras, makanan kering, dan menyumbang tenaga. Ada yang membawa daun pisang untuk alas masakan tradisional, ada yang membawa kendi untuk air minum tamu, bahkan ada yang menawarkan pinjaman alat musik tradisional. Keisya merasa betapa harmonis dan bahagianya hidup di kampung. Ia beruntung karena sudah merasakan kebersamaan dan kerukunan ini sejak kecil.

Keisya teringat saat Ambu sakit beberapa tahun lalu, para tetangga adalah yang pertama kali menemaninya mengurus Ambu sebelum bibinya datang untuk menetap di rumah hijau mereka. Sementara itu, Kang Arman sendiri jarang ada di rumah karena sibuk bekerja di kota. Kenangan itu membuat Keisya merasa semakin terikat dengan desanya.

"Ah, hampir lupa!" seru Keisya tiba-tiba. "Dia harus mengundang Keisar Liam. Pria itu pasti senang ikut menyaksikan kebahagiaan keluarga kita."

Ambu yang sibuk di dapur tampak sangat senang melihat Keisya bersemangat.

"Ide bagus Keisya, semakin banyak tamu, semakin meriah. Biar dia juga merasakan suasana desa yang penuh kebersamaan ini."

Ambu tak henti-hentinya menyiapkan berbagai masakan bersama para tetangga. Ada karedok, sayur asem, ayam semur, soto, dan aneka masakan tradisional lainnya. Tidak semewah acara di kota dengan menu yang lebih beragam dan diselenggarakan di gedung, tetapi bagi Ambu, Kang Arman, dan Keisya, pesta di rumah dengan menyewa tenda, meja kayu, dan kursi plastik sudah lebih dari cukup untuk menghadirkan kebahagiaan. Tak lupa, mereka juga menyajikan aneka jajanan khas Indonesia seperti kue cucur, uli, dodol, wajik, rengginang, dan bolu kukus yang diletakkan di atas meja bersama pisang ambon. Untuk hiburan, Ambu dan Kang Ardy sepakat mengundang grup nasyid yang anggotanya berasal dari kampung sendiri.

Pada hari pernikahan, Kang Arman dan calon istrinya, Teteh Asih, tampil seperti raja dan ratu sehari. Mereka duduk di pelaminan dengan dekorasi yang sederhana namun indah, menyambut tamu yang datang dengan senyum hangat, menyalami para undangan, dan berfoto bersama.

Saat acara berlangsung, Keisar Liam tiba di antara para tamu. Ia tampak terkesan dengan suasana yang begitu akrab dan meriah.

"Saya merasa surprise diundang ke acara seperti ini. Sebuah pengalaman baru bagi saya," kata Liam sambil tersenyum.

"Biasanya saya menghadiri pernikahan di gedung, yang penuh dengan basa-basi dan formalitas. Makasih ya, Keisya."

Keisya membalas senyumnya, merasa senang bahwa Liam bisa merasakan kehangatan suasana pernikahan di desanya.

"Sama-sama, Liam. Saya senang kamu bisa datang dan menikmati suasananya."

Namun, Keisya tercekat ketika Liam melanjutkan ucapannya.

"Jadi enggak sabar ingin melamarmu, Keisya. Itu kalau kamu mau jadi istriku," goda Liam dengan nada serius tapi bercanda.

Keisya tersentak kaget. Wajahnya memerah, tapi ia mencoba untuk tetap tenang.

"Serius? Saya tunggu kelanjutannya," jawabnya sambil tersenyum tipis, meski hatinya berdebar keras.

"Siapa takut?" balas Liam dengan tawa ringan. Mereka berdua tertawa bersama, tetapi di dalam hati, Keisya merasa campur aduk. Ia ingin menangis, entah karena bahagia atau karena takut akan masa depan yang tak pasti. Ada rasa cemas yang menyusup dalam hatinya, membayangkan risiko besar jika Liam suatu hari mengetahui kebenaran pahit tentang dirinya.

Lihat selengkapnya