Katanya, perempuan tidak akan pernah menang. Kami ini kaum yang tidak boleh punya keinginan. Segalanya hanya sebatas angan-angan.
Sebelum menikah kami adalah milik ayah yang menjaga dan melindungi kami sepenuh jiwanya. Setelah menikah tugas itu jatuh ke tangan suami. Tapi tidak semua perempuan seberuntung itu. Banyak di antara kami yang menderita, mendapatkan perlakukan yang tidak seharusnya. Tidak bahagia. Bukankah bahagia adalah hak mutlak seluruh makhluk yang Tuhan karuniai? Hanya saja manusia terlalu kejam dan angkuh tatkala berjalan di atas muka bumi.
Perempuan layaknya kaca yang begitu rapuh. Sekali pecah, tentu tidak akan kembali. Rusak, serusak-rusaknya. Kehormatan adalah mahkota tertinggi. Ketika tidak terjaga, maka tidak ada lagi yang dijunjung dalam diri kami, para perempuan.
"Kelak kamu harus menikah dengan seseorang yang mapan harta dan pekerjaannya agar hidupmu bahagia."
Pak Ghani, ayah tercintaku sudah menentukan kriteria calon suamiku kelak. Sebagai anak perempuan, aku seperti tidak boleh merasakan jatuh cinta. Ayah memang memiliki prinsip yang kuat dan orang yang berwatak keras. Apapun katanya adalah sebuah perintah yang tidak akan mampu dibantah. Sementara aku setiap kali mendengarkannya bicara hanya diam dan menganggukkan kepala. Kemudian berlalu. Ayah menyadari bahwa aku bukan anak-anak lagi. Aku puteri kecilnya yang sudah tumbuh dewasa—berusia 23 tahun—dan harus mulai memikirkan masa depan dalam wujud pernikahan. Kekhawatiran ayah adalah jika kelak aku menikah dengan lelaki yang biasa-biasa saja. Sebab memang kupahami bahwa ukuran kebahagiaan baginya adalah harta. Selebihnya menjadi omong kosong.
Sebagai anak perempuan, sejak kecil aku dididik seperti anak laki-laki. Semua serba mandiri dan keras. Didikan itu membuatku tumbuh menjadi perempuan yang tidak terlalu sibuk dengan pernak-pernik atau semacamnya. Hingga aku dewasa tidak sedikit orang yang sibuk mengomentari keseharianku.
Di sini menjadi hal aneh saat seorang anak perempuan usia 20 tahun belum menikah. Mereka akan memberi julukan perawan tua.