Saat itu usiaku 16 tahun. Kudengar di kamar ibu sedang menangis saat menerima telepon dari ayah yang kebetulan menggunakan telepon genggam milikku.
"Cinta kamu bilang? Kamu kan tahu bahwa Pak Ghani sudah memiliki istri dan anak. Apa tidak ada lelaki lain sehingga kamu harus menikah dengan suami saya?"
Kuhampiri ibu. Aku langsung masuk ke kamar untuk bisa mendengar lebih jelas lagi. Ibu menyeka air matanya seraya menyuruhku untuk pergi. Tapi aku memilih diam.
"Tidak ada cinta yang merusak kebahagiaan orang lain."
Aku masih menerka-nerka pecakapan itu. Antara sadar dan tidak sadar, antara percaya dan tidak percaya. Aku masih membaca segala yang dikatakan ibu kepada seseorang di seberang telepon—yang kutahu itu bukanlah ayah.
Akhirnya percakapan di telepon usai. Aku hanya menatap ibu yang menghapus air matanya. Ibu hanya tersenyum di sela sisa-sisa air mata yang basah di pipinya.
"Siapa itu?"
"Bukan siapa-siapa, Kinanti. Itu ayah. Kan pakai telepon genggam milikmu."
"Siapa itu Bu?" Nada bicaraku mulai meninggi.
"Kinanti jangan marah ya. Jangan sedih juga. Ibu bingung harus bicara dari mana."
"Bingung?"
"Tadi itu istri siri ayah."
Bagai disambar petir disiang bolong. Seketika tangisku pecah. Aku memahami tidak ada yang selalu baik dalam kehidupan. Aku memahami bahwa segalanya tidak harus sempurna. Tapi mengetahui kenyataan bahwa ayah sudah mengkhianati ibu, itu menikam hatiku begitu dalam. Ayah yang selalu kubanggakan, yang kujadikan panutan, tidak lebih dari seorang manusia yang tega mengkhianati keluarganya. Dan ibu hanya bisa diam menafsirkan setiap titik kesedihan dan amarahnya. Aku tahu ibu tidak akan bisa meluapkannya.
Di balik perasaannya yang sangat kacau, ibu masih berlapang dada menenangkanku. Hati ibu patah, dan ibu tahu bahwa hatiku juga tidak kalah patah darinya. Aku adalah anak perempuan yang menggantungkan banyak harapan di pundak ayah. Ibu sangat memahami hal itu. Saat ayah mengkhianati kepercayaan kami, maka tidak ada lagi yang bisa kupercaya dari lelaki manapun di dunia.
Kami tidak tahu apa yang harus dibicarakan ketika ayah pulang nanti. Kami hanya ingin diam dan diam. Memikirkan semua ini membuatku sakit kepala dan hati tiba-tiba membeku. Beku dari banyak harapan. Beku dari segala bentuk penyembahan.
***
Tiba waktunya ayah pulang setelah drama berlalu. Kami diam. Ayah bicara dengan nada tinggi dan ibu duduk di hadapannya. Aku di depan pintu kamar duduk bersandar dan menangis.