HARGA SEORANG PEREMPUAN

Siti Nuzulia Regar
Chapter #3

#3 Titik Balik

Aku menuju ruang Pak Amir selaku pimpinan tertinggi di tempat aku bekerja. Ternyata beliau sedang menerima panggilan telepon. Aku menunggu di depan ruangannya. Di ruangan tersebut ada salah seorang lelaki yang juga menunggu untuk menemui Pak Amir.

"Pak. Ingin menemui Pak Amir juga?"

"Iya Bu."

"Nama Bapak siapa?"

Seraya tersenyum kutanya nama lelaki di hadapanku. Aku masih belum mengenal orang-orang di tempat kerjaku satu persatu sebab aku baru saja masuk sebagai karyawati dua minggu terakhir. Dengan tatapan heran lelaki itu mencoba menjawab pertanyaanku.

"Nama saya Arsyad, Bu. Nama Ibu siapa? Ibu ini guru baru ya?"

"Saya Kinanti, Pak. Iya saya baru dua minggu bekerja di sini. Saya karyawati, bukan guru. Bapak guru di sini?"

"Iya Bu. Saya guru asrama putera. Sebelumnya sudah pernah bekerja di mana saja Bu?"

"Saya? Saya baru lulus SMA, sempat bekerja di toko roti tapi tidak lama. Lalu melamar ke sini dan diterima. Bapak ini bukan asli sini ya?"

"Bukan Bu. Saya orang Nusa Tenggara yang lama tinggal di salah satu pesantren yatim di Bogor."

"Wah jauh juga ya. Keren Bapak ini lulusan pesantren."

Dia hanya tertawa sungkan. Tidak lama setelah perbincangan kami, Pak Amir memanggilnya terlebih dahulu. Akhirnya perjumpaan pertama usai dan dia pamit kembali ke asrama.

Pertama melihatnya, sepertinya dia lelaki yang tidak pernah sekalipun melihat wajah perempuan. Sebab selama kami berbincang-bincang dia tidak sekalipun menatap wajahku. Mungkin memang dia dididik untuk bisa bersikap sopan pada perempuan. Lucu memang di zaman sekarang masih ada lelaki yang demikian.

Kembali kepada rutinitas pekerjaan. Menjadi karyawati di bidang kurikulum memang memiliki warna tersendiri. Bukan hanya kenal dengan guru-gurunya, melainkan juga murid-muridnya. Mereka harus berkali-kali menemuiku untuk melaporkan nilai perbaikan keseharian yang sudah lebih dulu disetorkan guru-guru. Aku bertugas memasukkan nilai perbaikan yang telah disetujui guru mata pelajaran terkait.

Di sini murid-murid begitu manja pada gurunya. Pada kami karyawan karyawati juga. Apalagi orang-orang yang berhubungan langsung dengan mereka. Ada kesenangan tersendiri bekerja di lingkungan sekolah sekalipun bukan menjadi seorang guru.

"Bu, Acha sama Ara mau perbaikan nilai ya. Ini catatan Acha dan ini punya Ara. Thank you Bu."

"Iya Neng Kembar."

Anak-anak kembar identik itu asyik. Cara membedakan mereka juga bermacam-macam. Untuk Acha dan Ara, aku membedakan dari warna barang yang mereka sukai. Acha si pecinta hijau dan Ara si pecinta kuning. Mereka anak yang manis sekalipun sudah berusia 16 tahun. Senang bercerita apapun yang ingin mereka ceritakan. Walau tentang perasaan mereka terhadap orang tuanya. Tapi intinya mereka memiliki cintanya sendiri untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Suasana kerja di sekolah ini sangat menyenangkan. Semua orang di sini menyenangkan. Sampai saat ini aku merasa tidak ada aroma persaingan. Kami memilih tugas masing-masing yang begitu banyak hingga tidak sempat memikirkan jabatan apa yang ingin diraih ke depannya.

***

Pak Dahlan, atasanku di bagian administrasi sekolah. Beliau seperti orang tuaku. Walaupun baru beberapa minggu kerja, beliau tidak pernah menunjukkan keangkuhan. Justru mengajarkanku banyak hal. Begitu pula Ibu Kurnia dan Ibu Umam. Sebagai karyawati termuda di sini aku dibimbing dengan sangat baik. Aku dituntun untuk memiliki semangat kerja yang tinggi.

Suatu ketika kupasang foto di media sosial tanpa mengenakan kerudung yang biasa kukenakan saat bekerja. Tiba-tiba Ibu Umam menghampiriku dan mengajak bicara. Tapi tidak dengan menggurui. Beliau justru sangat mengayomi.

"Kinanti, saya boleh ajak kamu bicara sebentar?"

"Boleh Bu."

"Kinanti kan sudah bukan anak kecil lagi, sudah mulai dewasa. Bagian dari diri Kinanti sekarang adalah aurat yang harus dijaga. Coba deh foto di WhatsApp diganti dengan yang mengenakan kerudung. Pasti lebih anggun dan cantik. Yang pasti juga lebih terjaga."

Aku terkekeh mendengar Ibu Umam bicara. Aku tahu teguran ini begitu tepat di hati dan aku juga mengakui hal tersebut adalah sebuah kekeliruan.

"Baik Bu. Terima kasih ya Bu, sudah mengingatkan Kinanti."

"Iya sama-sama cantik. Jadi perempuan yang terjaga itu sangat baik. Saat kita menjaga diri, maka Tuhan akan menjaga kita lebih baik lagi."

"Siap Bu."

Lihat selengkapnya