Bukan sebuah kebetulan bahkan jika kita dipertemukan dengan keadaan paling memuakkan sekalipun.
Pagi ini kelas bernuansa putih tulang itu gaduh tiada duanya. Seruan-seruan di segala penjuru terdengar sangat memekik di telinga.
Hari ini Raka enggan bahkan hanya untuk sekadar menonton dua sahabat gilanya bermain gunting batu kertas. Laki-laki dengan rambut berantakannya kembali menjatuhkan kepalanya ke meja. Dia memejamkan matanya, tapi lagi lagi gagal untuk membawanya ke alam mimpi. Pertengkaran sengit kemarin malam masih terngiang jelas di benak lelaki itu.
"Lo gapapa Ka ?" Tanya Bagas saat melihat Raka gelisah, menoleh ke kanan dan ke kiri hanya untuk mencari posisi pas untuk tidur.
"Berantem lagi ya ?" Tambah Dimas sembari menyisir rambutnya ke samping agar tetap terlihat rapi.
Dimas bisa dibilang adalah yang paling terlihat disipiln diantara mereka. Baju seragam yang dimasukkan, sabuk yang tidak pernah dia lupakan dan rambut yang selalu dia sisir ke samping, entah menggunakan jarinya atau sisir yang ia bawa.
Karena penampilan dan kepintarannya tidak heran banyak yang mengejar lelaki itu, tapi rupanya dia punya prinsip yang tidak diketahui oleh orang lain. Bahwa dia tidak akan pacaran sebelum Raka jatuh cinta.
Raka mendongak, dia jadi teringat akan sesuatu. Tangan lelaki itu menjangkau sisi terdalam lokernya.
"Buat lo" Ucap Raka dengan raket berwarna merah yang ada di genggamannya. Mata Bagas berseri-seri, menerima dengan hati-hati raket merah pemberian Raka.
"Ini.. Beneran buat gue?"
Raka mengganguk menyakinkan. Dia selalu terheran dengan sahabatnya ini, padahal bisa saja Bagas menyuruh orang tuannya membelikan yang lebih mahal, tapi entah mengapa laki-laki itu justru terlihat lebih bahagia jika mendapatakan raket dari darinya.
"Lo kok malah kasih raket lo, bukanya lo mau ikut olipiande bulutangkis ?" Tanya Dimas terheran.
"Gue gak ikut" Balas Raka yang cukup membuat mata Bagas dan Dimas membulat seketika, saling berpandangan satu sama lain. Dimas mengehela napasnya dalam, ingin angkat bicara, menanyakan sesuatu pada sahabatnya.
"Gue udah berhenti main bulutangkis" Terang Raka sebelum Dimas bertanya lebih banyak.
Satu hal yang hampir mustahil di sekolah ini akhirnya terjadi, seorang Raka yang dianggap rajanya bulutangkis memilih berhenti meneruskan mimpi.
Untuk beberapa detik hanya lenggang yang tersisa. Bagas masih menatap kosong raket di tangannya sedangkan Dimas sedari tadi terlihat ragu-ragu hendak bertanya.
Raka benci melihat pemandangan ini, dua sahabat cerewetnya terdiam lesu hanya karena masalahnya. Raka berdiri dari duduk nyamannya, membuat Bagas dan Dimas sedikit tersentak.
"Gue pergi dulu" Pamit Raka yang dsambut tatapan penuh tanya dari Dimas. Raka tak mengubrisnya, berjalan meinggalkan kegaduhan kelas.
Kaki jenjang itu melangkah menuju lenggangnya koridor pagi ini, tidak peduli ada guru yang melihatnya atau tidak. Dia hanya ingin pergi sekarang, jauh menepi dari apa yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Salah satu hal yang Raka syukuri hari ini adalah Bu Desi sedang sakit jadi dirinya bisa mengambil kesempatan untuk pergi meinggalkan gerbang sekolah. Suasana lapangan sepi, sepertinya kegiatan olahraga belum dimulai.