Jam menunjukkan pukul setengah tujuh, sebentar lagi Rumaisha harus bergerilya di jalan menuju tempat kerja. Dia buru-buru menandaskan makanan di piring yang tinggal tiga suap, sesekali melirik ibunya, berharap wanita tua dengan anak rambut yang selalu berantakan itu tidak ada di rumah. Dia berjalan menjinjit ke dapur, meletakkan piring dan sendok ke wastafel pencucian.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini?” sentak ibu yang hari itu memakai baju daster. Dia berkacak pinggang, pipinya menggelembung kemerah-merahan.
“Aduh, Bu! Jangan paksa Rumaisha,” kelit gadis berjilbab cokelat itu, “Ini sudah siang, Rumaisha bisa terlambat, absen finger tidak pernah memberi toleransi barang cuma sedetik!”
“Jangan banyak alasan! Cuci piring!”
“Enggak, Bu! Rumaisha tidak bisa,” bantah perempuan dengan lesung pipit di pipi sebelah kiri.
“Rumaisha, kamu sudah besar, kalau mencuci piring saja tidak becus, bagaimana nantinya kamu berumah tangga, ibu mertuamu bisa ngomel-ngomel!” sentak ibu lebih kasar.
“Bu, Rumaisha pengennya punya suami yang tampan, kaya raya dan yang bisa menyewa pembantu untuk mencuci piring!”
“Rumaisha! Sekalipun suamimu kelak orang kaya, tetapi kamu harus bisa menyelesaikan pekerjaan dasar sebagai seorang perempuan!”
Pagi itu justru kedua kaum hawa berdebat gara-gara piring kotor. Ayah, menggeleng-gelengkan kepala, dia yang sudah siap berangkat kerja tetiba urung karena merasa kasihan terhadap nasib putrinya. Selalu kena omel oleh istrinya sepanjang hari gara-gara piring kotor.
“Apa wanita wajib mencuci piring?” tanya Rumaisha dengan enteng.
“Aku ini wanita karir, Bu. Kalau disuruh membersihkan sepuluh rumah, Rumaisha mau, tapi jangan untuk mencuci piring, plis, Bu! Rumaisha bukannya banyak alasan, tetapi Rumaisha memang punya alasan!” Dia mencari-cari kalimat yang cocok untuk menangkis omelan ibunya.
“Sudah-sudah, jangan berantem hanya gegara piring kotor!” Ayah mendekati wastafel, dia mengambil piring kotor Rumaisha, menyalakan krans, membasuh dengan air kemudian membaluri sabun. Piring kotor Rumaisha dicucikan.
“Terima kasih, Ayah. Kau memang pahlawan hebat!”
“Rumaisha!” geretak ibunya.
“Maaf, Bu! Rumaisha harus segera berangkat.”
Dia lari menuju kamar, mengambil tas ransel berisi laptop, ponsel dan satu notebook beserta dua bolpoint. Langkahnya tergesa menuju garasi, mengeluarkan motor bebek lantas melesat pergi.