Hari-Hari Berat

Titin Widyawati
Chapter #2

Tanggung Jawab

Mobil itu berhenti tepat di depan sepeda motor Rumaisha. Pergerakannya membuat jantung Rumaisha nyaris lompat dari naungan. Pengendara sepeda motor yang lain juga melotot, sedikit geram karena ada mobil belok secara mendadak. Klakson bersiul sahut-sahutan.

“Hei! Hati-hati, dong! Ingat nyawa tidak punya cadangan!” umpat sopir truk sambil terus melajukan kendaraan.

Pria itu menurunkan kaca mobil.

“Periksa tasmu! Uang-uangmu berhamburan di udara!” jelas pria itu setengah berteriak. Lalu dia melesat pergi seolah tidak terjadi apa pun. Ada lokasi wisata yang sedang diburu.

Rumaisha menoleh ke belakang. Dia melongo menyaksikan tas terbuka lebar-lebar. Beberapa meter di belakang, ada tiga lembar seratus ribuan tergeletak di permukaan aspal. Ia tidak melihat orang-orang yang menangkap uangnya, mereka pergi bersama truk tadi.

Rumaisha meminggirkan sepeda motor dari aspal. Dia memajukan tas ransel ke depan dada. Memeriksa uang yang dibawa. Berharap tidak semengerikan berita dari pria muda tadi. Cukup tiga lembar uang saja yang berhamburan, dan itu sudah dia temukan, jika sampai lebih dari itu—kepalanya mendadak berkunang-kunang. Tangan yang biasa lincah menari-nari di atas lantai keyboard mendadak tremor. Satu hal yang dia sesali, tidak mengikat ulang uang dari bank. Harusnya dia juga tidak ceroboh, membiarkan resliting lupa tidak dikaitkan.

“Allah! Apa yang harus kulakukan?”

Tanpa menghitung kembali Rumaisha sudah yakin bahwa uangnya berkurang dalam jumlah banyak. Sudut matanya tetiba terasa hangat.

“Siapa yang tega mengambil uang-uang ini?” gerutunya ketika memutar balik laju sepeda motor. Dia mengurut lagi alur yang dilalui sampai ke titik awal—bank, tempat berpisahnya dengan Bu Salwa.

‘Apa yang harus kukatakan kepada guru-guru?’

Jika sebelumnya sudut mata hanya hangat, kini mulai mengalirkan cairan perwujudan rasa bersalah yang campur dengan kesedihan.

Tidak ada uang lagi selain tiga ratus ribu yang sudah dia ambil. Dia belum tahu pasti total uang yang hilang, tetapi menafsir ada setengahnya. Dia masih ingat tebal tumpukan uang yang diambil dari bank. Sialnya itu adalah bulan juni, waktu yang selalu bertumpuk-tumpuk dengan agenda penutupan tahun semester. Sisa anggaran di semester II harus tuntas pada bulan itu, sebelum berlanjut pada Semester I yang dimulai dari bulan juli. Uang yang dia ambil sebanyak Rp9.750.000,00 terbilang sedikit untuk orang-orang berduit. Hanya saja Rumaisha tidak cukup uang untuk menggantinya kelak. Gajinya—ah pilu jika dikaitkan dengan tanggung jawab yang harus dia pikul lantaran Rumaisha hanya seorang Tenaga Pendidik tanpa kualifikasi pendidikan tinggi.

Dia takut kembali ke sekolah. Sepeda motor berhenti di Kedai Sambal. Dia tidak pesan nasi, melainkan hanya minum. Bukan karena tidak ada uang, tetapi tak enak makan, nafsu makannya lenyap dibawa kekejaman orang memungut uang bukan hak mereka.

“Haaa! Kenapa kalian tega!” Dia menggebrak meja, membiarkan pembeli lain berdecak heran.

Sebelumnya dia bahkan sempat memeriksa pinggiran jalan raya, melongok irigasi jikalau ada lembar yang tercebur ke air, melongok ke daun-daun rindang penyejuk aspal, kalau saja ada yang tersangkut di pohon, dia bahkan memastikan tidak ada selembar pun yang nyangkut di kabel listrik. Uang-uang itu lenyap dimakan orang jahat. Begitu dia menarik garis merah.

“Allah, aku harus bagaimana?”

Kepala dibenamkan di atas permukaan meja. Bahu berguncang hebat.

“Tolong aku!” Kembali dia menjerit.

Lihat selengkapnya