Rumaisha tumbuh dengan kasih sayang dan perhatian lebih. Ibu memang sering marah-marah serupa wanita tua miskin pada umumnya. Ayah sabar, senantiasa mengulum senyum dan kedamaian ketika belahan jiwanya uring-uringan mengeluhkan kebutuhan pangan semakin melejit. Apalagi di era tahun 2024 ini, harga sembako meroket, sementara mencari uang tidak semudah mengajukan piutang. Ayah hanyalah seorang buruh bangunan, ingat buruh! Bukan kontraktor apalagi pemborong. Upah diberikan mingguan setiap sabtu sore, itu pun kalau mandornya tertib, kadang diulur-ulur sampai akhir bulan.
Raut wajah Rumaisha begitu mendung, dia tidak berani menatap Bu Salwa yang baru saja melakukan perjalanan panjang dari dinas pendidikan.
"Kenapa bisa, Bu Rumaisha? Coba diperiksa lagi, mungkin kamu lupa."
"Enggak lupa, Bu. Soalnya tadi ada yang melihat uang-uangnya berterbangan dari tas ...."
"Maksudmu?"
"Saya lupa mengaitkan resleting tas saya, uang-uang itu keluar dari tas."
"Aduh, kamu teledor, Bu Rumaisha!"
"Iya, Bu. Maafkan saya."
Akan tetapi dimaafkan juga tidak bisa mengembalikan uang yang terlanjur terbang ke tangan orang lain.
Rumaisha mustahil meminta bantuan kepada ayah dan ibu. Nasib yang dia alami hanya akan menjadi beban hidup untuk keduanya.
“Saya akan bertanggung jawab, Bu. Gaji saya dipotong per bulan sampai mencukupi uang yang hilang," tutur Rumaisha buru-buru.
“Sudah sekarang kita pulang dulu, istirahat di rumah. Terkait masalah ini besok saya bahas di rapat pekanan," kata Bu Salwa dengan tenang.
Masalahnya, Rumaisha tidak bisa tenang. Berhari-hari selanjutnya aura wajahnya dikerubungi dengan mendung, senyumnya juga pudar. Beruntung sekali dia seorang Tenaga Kependidikan yang duduk di kantor membersamai internet merekam data sekolah. Jika tidak, amat malang nasib murid-muridnya di kelas. Dia sulit menceritakan problem keuangan yang sedang dihadapi kepada orang lain. Baginya masalah uang merupakan masalah paling tabu dalam kehidupan.
Ada satu kebiasaan Rumaisha ketika stres, dia gemar sekali menyantap makanan pedas. Maka, di sore hari menjelang akhir pekan, Rumaisha nekat jalan sendirian ke pusat kota demi memburu rumah makan Kedai Sambal.
Dia duduk di gazebo sambil menikmati pemandangan sore, alam begitu meriah, menampilkan warna oren yang megah, sementara bunga asoka yang menyerupai kelopak cengkeh itu disepuh oleh percik senja. Burung-burung terbang pulang, bosan mencari ikan di Kali Progo.
‘Jadi, beban berat apa yang kau maksudkan kemarin, Sha?’ tanya Alya via chatting.
Setelah pertemuan di depan kantor hari itu, Rumaisha belum menyambung obrolan lagi. Dia justru menjaga jarak dengan para guru, menutup pintu kantor sewaktu istirahat, terkadang jika guru sedang berkeperluan di kantor, dia justru yang menyingkir untuk mengasingkan diri. Dia belum siap dengan konsekuensi digunjingkan seperti hal-hal remeh pada umumnya. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa kesalahan seseorang senantiasa dijadikan hidangan obrolan di meja-meja kerja, terkadang juga meja makan keluarga.
‘Tidak apa-apa, aku sedang tidak mood saja.’
‘Sekarang posisi di rumah atau ada di mana?’
‘Lagi mau makan di Kedai Sambal.’
‘Aduh, kumat nih, nanti kalau pencernaanmu terganggu bagaimana?’
Rumaisha merasa bosan, dia fokus terhadap hidangan yang tengah dipesan. Menyantap dengan lahap. Ada lima macam sambal berlauk ikan goreng dan ayam goreng bagian paha atas. Dia habiskan aneka sambal yang sudah dipesannya.
Ujian hidup Rumaisha tidak berhenti pada uang yang berhamburan di jalanan. Perutnya mendadak melilit perih, dia buru-buru membayar bil makan, kemudian melesat ke parkiran. Pencernaannya tidak kuat seperti yang diucap oleh Alya. Keningnya bercucuran dengan keringat. Banyak cairan berwujud air liur yang keluar dari mulut. Tepat di depan selokan dia muntah-muntah, menjadi pusat perhatian orang yang mau makan di Rumah Makan KS—Kedai Sambal.
“Kamu tidak apa-apa, Mbak?” tanya petugas parkir yang panik.