Hari-Hari Berat

Titin Widyawati
Chapter #4

Uang Hilang

Rumaisha merasa seisi langit dan obyek di bumi merutuki nasibnya. Orang-orang yang singgah maupun pergi memandang penuh keheranan, ada sebagai yang acuh tak acuh. Dia jijik pada muntahannya sendiri, membayangkan makanan yang dikunyah—lumer bercampur dengan biji cabai yang menguarkan aroma busuk. Dia bahkan malas menggelegak air liur sendiri.

Beruntungnya satpam tempat makan itu begitu baik. Pria berkumis tebal, berperawakan kekar dengan seragam khas penjaga keamanan mencarikan tongkat kayu untuk meraih kunci motor Rumaisha. Kepalanya nyaris dimasukkan ke lubang selokan demi mendapatkan benda yang bukan miliknya itu. Satpam menutup seluruh lubang hidungnya menggunakan masker.

Rumaisha terduduk lemah di bawah pohon tabebuya, daunnya rindang diombang-ambing angin sore. Langit sebentar lagi menggulung terang, malam akan sambut sunyi di balik gedung-gedung tinggi. Sementara Rumaisha belum melakukan perjalanan pulang, dia sibuk mengamati sekeliling yang begitu riuh, antara meledek kunci motornya masuk selokan, atau mengasihani tetapi tidak juga membantu cari solusi. Hanya satpam itulah yang peduli.

“Berapa jumlah uang yang hilang,” ucap seorang pemuda yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Rumaisha. Suaranya mengantar pada memori perjalanan. Wajah asing tetapi sudah direkam oleh ingatan.

Rumaisha terbatuk, perutnya semakin melilit, dia harus segera pulang.

“Dapat!” teriak sang satpam.

Bersamaan itu Rumaisha menarik napas lega. “Terima kasih, Pak.”

Satpam itu mengulum senyum kemudian berlalu pergi, kembali di pos penjagaan, dekat dengan pintu gerbang.

“Maaf saya mau pulang, saya tidak mengenalmu.”

“Kamu tidak bisa menyetir dalam kondisi seperti itu,” ucap pemuda itu lagi. “Yang mengambil uangmu adalah sopir angkutan, seorang pelajar, pengendara sepeda motor, orang pejalan kaki dan anak kecil di emperan ruko,” seru pemuda bernama Dhevin.

Dia bermaksud makan dan nongkrong di tempat itu. Kebetulan pemiliknya adalah teman masa kecilnya, maka dia jadikan tempat itu sebagai pelarian dari kesuntukan hidup selama ini. Lalu, dia menyaksikan seorang gadis muntah-muntah karena terlalu banyak makan sambal. Sebelumnya dia hanya menjadi pengamat dari balik dinding kaca tebal, tetapi setelah menyadari kemalangan gadis itu—sosok yang dia lihat kemarin sewaktu di jalan raya, uang-uang berhamburan di langit dan gadis muda yang terkenang menyumpal dua lubang telinga menggunakan headset, dia beranjak.

“Kenapa tidak kau beritahu lebih awal!” tuntut Rumaisha.

“Sudah, tetapi kau tidak mendengarnya!” kata Dhevin dengan wajah serius. “Kau banyak pikiran karena uangmu hilang? Berapa?” lanjut Dhevin.

“Haa! Kenapa ada orang jahat yang ambil uang itu!” jerit Rumaisha.

“Zaman sekarang, cari uang susah, ada uang melayang-layang di udara, tidak salah kan jika diambil?” kata Dhevin membela para pemungut uangnya.

“Itu bukan hak mereka!”

“Siapa pula yang peduli dengan hak orang lain, apalagi mereka yang lemah, kau tahu sendiri ada beberapa pemimpin yang tidak peduli hak manusia dan kebenaran, pada dasarnya rakyat hanya mencontoh pemimpinnya bukan?”

‘Bicara apa ini orang?’

“Entahlah, maaf saya pulang!” Kali ini Rumaisha sungguh beranjak dari tempat duduk. Dia menetralisir tubuh juga perasaan, kemudian melangkah pelan menuju sepeda motor.

Dhevin tidak bermaksud mengantar pulang, dia hanya iba dengan Rumaisha malang itu. Pada akhirnya dia membalik tubuh, masuk kembali ke tempat makan. Memesan spaghetti dan satu gelas es jeruk.

“Halo, Bro!” pemilik rumah makan itu menghampiri Dhevin, menyeret kursi lantas duduk di depannya.

“Hmm,”

“Makan banyak, aku traktir! Jangan pedulikan berat badan!”

Lagi pula Dhevin juga bukan pemuda gemuk, dia tidak peduli dengan berat badannya.

“Mau coba menu sambal baruku?” tawar Kenzo.

Dhevin menggelengkan kepala. “Aku tidak mau muntah karena kepedasan!”

“Kedengarannya seperti melecehkan bisnisku! Dari sambal aku bisa hidup, jadi jangan asal bicara! Apalagi sampai terdengar telinga pelanggan, kau mengerti?” geretak Kenzo tetapi tidak benar-benar marah, hanya bergurau.

“Bagaimana donasi yang kita bahas kemarin?” tanya Dhevin memulai obrolan.

“Nah itu dia pokok permasalahannya, uangnya …,” suara Kenzo merendah. Tidak ingin telinga orang asing menguping, bahkan dinding dengan anyaman bambu yang khas digunakan untuk sekat bilik model kekinian, minimalis tetapi bergaya kuno itu tak boleh mendengar. Lampu-lampu oren menemaramkan tatapan mata Dhevin. Terang benar-benar pamit pergi, membuat denting sendok dan kasak-kusuk obrolan anak adam menjadi kontras di pendengaran.

“Jangan ada berita buruk, aku kemari untuk makan dengan lezat,”

“Uangnya tidak ada di kotak donasi!” Kenzo memberanikan diri.

“Maksudmu?” Dhevin sungguh kehilangan nafsu makan.

Lihat selengkapnya