Hari-Hari Berat

Titin Widyawati
Chapter #5

Tidak Tanggung Jawab

Rumaisha merasa pegal. Tangannya sibuk bergerak menekan tut-tut keybord untuk mencetak nama siswa yang lulus. Di sisi lain dia harus menyelesaikan laporan Buku Kas Umum di aplikasi Arkas.

“Jangan lupa, agenda yang sudah dilaksanakan dan itu memiliki kewajiban membayar pajak, maka segera bikinkan bilingnya ya, Bu!” perintah Bu Salwa, membuat mata Rumaisha berkali-kali mengamati kalender di layar laptop. Dia akan menunda sedikit panjang lagi jika belum mendekati deadline. Ada hal yang lebih urgent, ijazah haruslah kelar karena akan dikebutkan untuk dimintakan tanda tangan Ketua Yayasan oleh Bu Salwa.

Menyambut perpisahan kelas B, ada yang menyebut sebagai bulan perpisahan, ada juga yang memanggil sebagai perayaan akhir tahun—akhirussanah. Pada bulan tersebut kelulusan diumumkan secara dramatis dengan ucap haru dan kasih sayang guru. Biasanya doa juga harapan membumbung tinggi di balik suara MC. Masalahnya tangannya tetiba mati kutu, dia tidak punya kekuatan untuk melanjutkan pekerjaan setelah ponselnya berdering nyaring.

‘Rumaisha …,’ lirih suara ayahnya memanggil. Lelaki tua yang kerap kali memberikan pembelaan sewaktu dirinya tidak mau mencuci piring itu, mendadak menelpon di jam kerja—hal yang tidak pernah dilakukan selama bertahun-tahun. Tandanya ada hal genting yang perlu disimak Rumaisha.

‘Ya, Ayah. Ada apa?’

‘Ibu mengalami kecelakaan … tabrak lari, Sha. Sekarang dia ada di RSU terdekat, bisakah kamu ke rumah sakit?’

Tangan Rumaisha bergetar hebat. Kecelakaan akibat tabrak lari benar-benar memuakkan. Itu sama saja dengan uang yang jatuh miliknya sekolah kemarin, diambil oleh orang yang pergi begitu saja tanpa memikirkan dampak yang terjadi pada pembawanya.

Rumaisha langsung menyambar ransel, memasukkan laptop dengan buru-buru. Dia bahkan lupa mematikan mesin printer. Ijazah yang sudah di-print disusun rapi di dalam map kemudian diamankan di etalase.

Bu Salwa sedang keliling kelas, dia tidak memiliki waktu untuk ucap pamit, maka cukup dengan absen finger sebagai bukti otentik kepulangan awal. Besok tingal utarakan alasannya menyelinap pergi di tengah-tengah jam kerja. Baginya kesibukan bulan Juni penuh derai tangis pilu. Meski kerap mengomel dan suka membentak, ibu tetaplah orang pertama yang dia cintai. Ibu menduduki posisi paling penting dalam setiap embusan napas kehidupan Rumaisha.

“Bagaimana kondisi, Ibu?” tanya Rumaisha dengan bibir bergetar.

Lihat selengkapnya