“Siapa yang dirimu tabrak, Ken?” bentak Dhevin dengan kasar.
“Ibu-ibu tua … dia sendiri yang jalan tidak pakai mata!”
“Jalan pakai kaki, Ken! Persoalannya, kenapa kamu sekarang ada di sini? Jangan bilang kamu kabur tanpa mau bertanggung jawab!”
“Pahami posisiku, Bro!” Kenzo menatap wajah kesal Dhevin dengan pengibaan.
“Jangan cari alasan! Perbuatanmu semakin membuatku curiga perihal uang …,”
“Oke aku salah, tapi jangan tumpahkan semua kesalahan kepadaku!”
“Ada indikasi kamu menelan uang hasil penggalangan dana, dan pencetusnya adalah kekasihmu sendiri!” ucap Dhevin membuat Kenzo tidak berkutik.
Pemuda berkulit putih itu terkulai di tempat duduk. Tidak disangka jikalau kekasihnya selama ini mencurigai tindakannya. Rasanya sakit jika orang yang selalu dia harapkan memahami, justru memperosokkan ke dalam lubang gelap.
“Aku memang punya bisnis pribadi! Tapi jangan sangkut pautkan bisnisku dengan masalah hilangnya uang itu! Aku juga punya tabungan, aku bahkan meminjam uang bank untuk proyek pembangunan restoranku!” kata Kenzo dengan suara yang pasrah. Tenaganya lenyap diusung perasaan bersalah akibat meninggalkan korban di jalan. Dia sangat terpaksa, sekalipun alasannya begitu klise.
“Kalau uang itu tidak ketemu, aku akan digampar oleh banyak anak-anak jalanan, mereka juga akan mengutukku sebagai pembohong!”