Hari-Hari Berat

Titin Widyawati
Chapter #7

Jalan Buntu


“Satu hal, Ken! Tanggung jawab, jangan kabur begitu saja serupa binatang! Kau makhluk berakal, kan?” ucap Dhevin terakhir sebelum akhirnya dia benar-benar pergi.

Dia telusuri kerumunan kota menjelang akhir pekan dengan kepala sedingin di musim kering. Memang benar jika kemarau datang, dingin justru terasa lekat mencucuk pori kulit di waktu malam, apalagi manusia yang tinggal di lereng gunung. Dhevin merapatkan resliting jaket, dia matikan nyala AC mobil, fokus dengan pikiran yang terjebak pada permasalahan uang dan uang.

Manusia selalu bermasalah dengan uang. Ada ibu yang mengorbankan anak untuk diasuh oleh orang lain, lantaran tidak beruang cukup. Banyak kasus kejahatan mengerikan terdorong karena sempitnya keuangan dalam kehidupan. Lantas, para anak-anak yang tercecer di jalanan, menjadi pengamen, pengemis, penjual asongan, itu pun dilatar belakangi keuangan yang miris. Pendidikan tidak bisa mereka raih, sekalipun pemerintah berdalih menggratiskan sekolah. Kasih sayang tergerus letih orang tua yang bekerja seharian dengan upah minim. Lantas Dhevin mengumpulkan teman-temannya yang berjiwa sosial untuk menggalang dana santunan, tidak disangka niat baiknya akan menjadi malapetaka.

Dia sedang berpikir panjang, haruskah mengajukan pinjaman demi menebus keteledorannya mempercayakan uang kepada orang tidak tepat? Mengambil sertifikat tanah? Ah … tangannya menekan tombol klakson dengan kasar sebagai bentuk pelampiasan, lalu mobilnya menepi di tepi jalan. Dia pukulkan kepalanya kepada stang kemudi yang tidak bersalah. Pikirannya benar-benar buntu.

“Apa yang harus kulakukan?”

Mobil kembali melaju membelah keheningan malam. Setibanya di rumah, dia dapati Tuan Mochtar sedang melonggarkan dasi di ruang tengah, tas jinjing tergeletak di atas meja. Pembantunya buru-buru membawa benda berisi berkas yang tidak diketahui Dhevin itu ke ruang kerja.

“Ayah … jika aku meminta bantuan, apakah kau akan membantuku?” tanya Dhevin ragu-ragu.

“Untuk?” respon Tuan Mochtar datar. Dia bersikap ramah serupa kerupuk renyah di lidah-lidah masyarakat, tetapi nyatanya mlempem di dalam toples.

“Itu bukan urusan Ayah, intinya aku minta bantuan … pinjami aku uang …,”

Tuan Mochtar yang berpindah melepas kaca mata tebal itu mendadak tertawa terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya dalam periode dirinya menjabat sebagai wali kota Dhevin mengajukan permohonan bantuan—perihal uang.

‘Ayah! Aku tidak mau makan dari jerih keringatmu! Aku tidak mau kau menjadi serupa kakek yang meninggal di penjara!’ seru Dhevin di masa SMA ketika mendapati Tuan Mochtar dicalonkan sebagai wakil wali kota, jadi karirnya sekarang sudah melampaui banyak rintangan dan tantangan. Sebelum menjadi wali kota, dia sempat mengabdikan dirinya untuk membersamai langkah gerak-gerik pikiran sang wali kota.

Perkataan Dhevin menjadi karak yang sulit dibersihkan dari pikiran Tuan Mochtar. Lantas malam itu putranya tetiba merajuk memohon bantuan ingin meminjam uang. Dunia serasa sedang runtuh menimpa takdir Dhevin.

“Kamu ingat dulu?” tanya Tuan Mochtar dingin, sangat dingin sampai membuat Dhevin muak dan ingin bersegera angkat kaki. Jika bukan terdorong belas kasihnya kepada nasib anak-anak jalanan dan anak yatim, dia sudah hengkang dari sang pemimpin di kotanya lahir itu.

Lihat selengkapnya