Kata orang tua, ujian selalu datang untuk orang tepat dengan beban yang telah diukur kadar kesanggupan penerimanya. Akan tetapi, bagi Rumaisha beban bertumpuk di bulan Juni sangatlah berat. Uang yang hilang bahkan belum bisa dia lunasi. Tanggung jawab dan malu di depan Bu Salwa rasanya sangat tipis.
Sudah dua malam ibu dirawat di rumah sakit, dua hari pula wanita tua yang telah kandung dirinya selama sembilan bulan penuh buai kasih sayang itu tidak sadarkan diri. Dia ijin libur ke sekolah, pekerjaan menuntaskan Arkas di akhir semester 2, dia tunda sejenak demi membersamai ibu dalam doa dan harapan kesembuhan.
“Kalau kamu mau berangkat kerja, tidak apa-apa, biar ayah saja yang menjaga ibu,” kata ayah.
Rumaisha mengulum senyum tipis, jujur visual isi layar laptop memanggil-manggil, apalagi dia juga terkenang dengan Info GTK yang belum diunduh dari akun PTK guru yang sudah sertifikasi. Khawatirnya aplikasi mengalami maintenance, atau trobel secara mendadak seperti pengalaman yang sudah-sudah, maka akan menjadikan kendala pada penyusunan berkas pencairan sertifikasi. Dia tidak mau membuat Bu Salwa dan guru yang sudah sepatutnya menerima hak lelah dari hasil jerih payah mereka mengabdikan pikiran terbengkelai. Tetapi, meninggalkan ayah yang dirundung panik seorang diri rasanya membuat batinnya ciut. Dia tidak sanggup meninggalkan sepinya jiwa ayah—Pak Teguh, yang kerap berpendirian teguh dalam menghadapi kenyataan pahit kehidupan, akan tetapi untuk detik itu dia kehilangan keteguhan yang sesungguhnya.
“Aku di sini tidak apa-apa, Ayah. Lagi pula aku sudah ijin sama kepala sekolah,” ujar Rumaisha.
Mereka berdua masih menunggu di depan ruang rawat ICU, sesekali mengintip dari balik kaca memastikan layar monitor masih berfungsi sebagaimana mestinya.
“Bu Rumaisha …!” panggil Alya dari jarak tiga meter.
Satu jam yang lalu Bu Fani, pengampu kelas A menghubungi, meminta diberitahu ruang rawat ibunya. Mereka tidak memberitahu jika akan berkunjung siang itu.
Bu Salwa bahkan ikut membersamai para guru melangkah beriringan. Pengunjung pasien ICU hanya bisa menjenguk penunggunya, tidak boleh masuk ke ruang rawat.
“Yang sabar Bu Rumaisha,” ucap salah satu guru sambil merangkul bahu Rumaisha.
“Bagaimana kronologi kejadiannya, Pak?” tanya Bu Salwa dengan ramah.
Pak Teguh mengurai cerita. Semua mata menatap iba nasib pria dengan tubuh seramping pohon bambu itu. Rumaisha hanya bisa pasrah mendengar setiap bait kalimat yang dimuntahkan.
“Kok bisa ada orang sekeji itu,” celetuk Alya sambil geleng-geleng kepala.
“Benar-benar, itulah pentingnya pendidikan moral sejak dini, begitu banyak orang yang belum bisa bertanggung jawab atas perbuatan salahnya,” ungkap Bu Fani dengan wajah serius.
Bu Salwa menghela napas panjang, dia menatap sekitar rumah sakit, lorong panjang yang disesaki hilir-mudik langkah kaki manusia. Taman bermain yang lengang, langit biru yang terik, bahkan ketinggian gedung rumah sakit seolah sedang dia ukur. Ketika semua diam dan dia merasa waktunya pas, maka dia mengajak guru-guru untuk mengirim doa kesembuhan kepada Pemilik langit.