Hari-Hari Berat

Titin Widyawati
Chapter #10

Kehilangan

“Ibu!”

Pikiran Rumaisha begitu kacau, tidak pernah dia sangka jikalau kejadian mengerikan itu akan berdampak pada perpisahan. Dia cukup sabar menanti Ibu Diana membuka mata. Sayang, takdir tidak mengijinkan perpanjangan kontrak hidup wanita tua yang telah mengandungnya di masa ranum. Rumaisha berkali-kali menyeka buliran air mata.

Dia membawa jenazah pulang menggunakan mobil ambulance. Sirine memekak telinga, menusuk pendengaran, bahkan sampai membuat pening kepala Pak Teguh, sosok pria tua yang merasa ditinggalkan oleh kekasihnya.

“Kenapa kau pergi begitu cepat …,” lirih Rumaisha sambil menyandarkan kepala di sebelah kepala jenazah yang tertutup kain. Mobil bergerak lincah membelah keramaian jalanan kota.

“Ikhlaskan!” titah Pak Teguh. Sekalipun ikhlas itu berat luar biasa. Ada sesal yang bertumpuk-tumpuk di dadanya hari itu. Kalau saja dia menolak diajak ke pasar, atau kalau saja dia sedang berada di luar rumah, maka kejadian itu mustahil terjadi. Pak Teguh masih sangat marah jika ingat pelakunya tidak bertanggung jawab. Ulu hatinya dirasa tersayat-sayat.

Mereka tiba di depan rumah, sudah disambut keluarga yang berderai-derai dengan air mata. Rumah yang sebelumnya dipenuhi dengan gurau, perselisihan perihal cucian piring menumpuk, omel-omelan Ibu Diana, kelakar ringan Pak Teguh di depan beranda rumah, menjadi begitu pilu lantaran satu ruh berpulang ke pangkuan Pencipta.

Jenazah diturunkan, dibawa ke ruang tamu. Ambulance berlalu pergi setelah selesai menunaikan tugas. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani dari rumah sakit. Rumaisha menyetujui pemulasaran jenazah di rumah sakit. Setibanya di rumah, tinggallah air mata, lalu luap rindu yang kelak tak akan pernah berkesudahan, dibubuhi doa-doa permohonan ampun.

“Kenapa tidak mengabari dari awal, Teguh? Istrimu kecelakaan kau diam saja?” protes saudara yang tinggal di Yogyakarta. Niatnya dia mau menjenguk ke rumah sakit, setiba di sana justru sudah dikabarkan meninggal dunia. Saudara itu tahu kondisi Ibu Diana dari obrolan chatting orang lain.

“Semuanya sudah berlalu, kita ikhlaskan dan doakan yang terbaik untuk ….” Suara Pak Teguh bergetar, tubuhnya berguncang hebat. Peluh menetes begitu lebat.

Rumaisha sendiri bersandar di bahu nenek. Kalau saja bisa dia peras air matanya, sudah dia lakukan sejak kabar kematian itu diungkapkan oleh dokter.

Tetangga sedang bekerja bakti mendirikan tratak duka, terpal hijau dilembarkan sebagai atap. Kursi-kursi disusun rapi, meja ditumpangi toples berisi kue kering dan setumpuk piramida minuman mineral. Orang-orang yang melayat bergilir menyolati jenazah.

“Rumaisha!” teriak Alya dari ambang pintu. Dia langsung hambur di pelukan Rumaisha, menangis dahsyat. “Kau yang tabah!” lanjutnya.

Lantas di belakang tubuh guru dengan pakaian masih berbalut seragam itu berjejalan para guru lain yang juga melayat jenazah. Mereka turut berbela sungkawa atas kepergian ibu kandung Rumaisha. Bahkan para guru juga ikut mengantar pemakaman demi menguatkan batin Rumaisha yang sedang disiksa dengan kehilangan.

Dhevin beserta wali murid yang lain juga datang. Dia menggelegak air liur dalam-dalam tatkala menyaksikan bulir-bulir gadis tidak bersalah itu. Dhevin sangat marah atas perbuatan Kenzo yang tidak masuk akal. Dia menyeret sang pemilik sepeda motor elektrik tersebut. Mendorong untuk ungkap ribuan maaf, tetapi Kenzo mati kutu di depan rumah duka. Dia sungguh pria pengecut yang takut nama baik orang tuanya tercemar.

“Pulang, Sha! Kamu butuh istirahat,” ucap Pak Teguh ketika para pengiring jenazah telah bubar, berpulang ke rumah masing-masing.

Gundukan tanah masih terlihat gempur, kelopak bunga mawar berbaur dengan melati, kantil, keningkir dan bunga-bunga lainnya tersebar di atas kubur. Rumaisha mengelus lembut permukaan tanah yang menjadi rumah untuk jasad Ibu Diana.

Lihat selengkapnya