“Ardi, tolong bagikan jadwal pelajaran yang baru ini kepada seluruh siswa di kelas, ya!” wali kelasku pagi ini baru saja menyuruhku untuk membagikan jadwal pelajaran kepada teman-temanku di kelas.
Dengan merasa berat hati, aku menerimanya dengan segera. Aku harus melakukan tugas ini karena aku adalah ketua kelas di kelasku. Sesampainya di kelas, seluruh murid menatapku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.
“Hoo... ini dia, ketua kelas kita datang.” Angga, teman sekelasku datang menghampiriku dengan nada mengejek, “Jadi, ada pengumuman apa hari ini?” dia merebut kertas berisi jadwal pelajaran dariku dengan cepat, “Hoo... ternyata jadwal pelajaran, ya?” setelah melihat jadwalnya, dia menghamburkan kertasnya ke segala arah, “Wah, maaf tanganku sepertinya nakal.” Dia mengatakannya dengan datar.
Aku berusaha menahan rasa kesalku sembari mengambil kertas jadwal ujian tersebut satu per satu. Seisi kelas tertawa melihat ulah dari Angga. Mereka sudah tidak menganggapku teman lagi. Kini aku hanyalah pecundang di mata mereka. Padahal, seharusnya tidak seperti ini.
Semua ini dimulai sejak satu bulan yang lalu. Dulu aku adalah seorang remaja biasa yang periang dan disukai oleh banyak orang. Aku sangat baik kepada teman-temanku, aku juga pintar sekaligus memiliki tubuh yang cukup atletis, wajahku juga mungkin termasuk kategori tampan. Banyak siswi perempuan yang juga berusaha mendekatiku. Karena sifatku itulah, aku terpilih menjadi ketua kelas. Banyak orang yang merasa nyaman saat berbicara denganku.
Namun ada suatu kelemahan dalam tubuhku, sejak lahir jantungku sudah lemah. Meskipun tubuhku atletis, aku hanya dapat melakukan olahraga ringan sejak kecil. Setiap jam olahraga pun aku selalu izin untuk tinggal di kelas. Dan sebulan yang lalu aku dan keluargaku memutuskan untuk mengecek kondisiku karena aku sudah lama tidak mengeceknya.
“Maaf, dilihat dari hasilnya...” dokter yang memeriksaku mengatakannya dengan ragu, “Saya pastikan putra anda hanya dapat hidup hingga bulan Februari tahun depan.”
Setelah dokter itu menjelaskan hasil pemeriksaanku, seketika kedua orangtuaku menangis. Aku hanya dapat diam tanpa berkata apa-apa karena saking terkejutnya.
Februari? Berarti waktuku hanya tersisa 5 bulan lagi?
“Namun, kita dapat menyelamatkan putra anda dari kematian.” Dokter itu mengatakannya dengan perlahan, “Hanya saja, kita harus mencari orang yang bersedia mendonorkan jantungnya kepada putra anda. Dan juga, kemungkinan operasinya berhasil hanya dibawah 20 persen, jadi, jika putra anda selamat ini mungkin adalah sebuah keajaiban.”
Setelah pulang dari rumah sakit, kedua orangtuaku semakin memanjakanku. Aku tahu mereka pasti sangat sedih karena aku akan tiada dan aku hanyalah anak tunggal. Aku juga merasa sedih karena akan menghilang dari dunia ini. Padahal, aku masih ingin membahagiakan orangtuaku dan juga aku ingin bercanda dengan teman-temanku.
“Selamat pagi, Ardi!” sapa teman-temanku saat aku memasuki kelas. Aku merasa sangat senang disapa seperti itu, itu membuatku melupakan kesedihanku.
Tapi aku sadar, jika aku banyak membuat kenangan dengan mereka, maka aku akan meninggalkan kenangan yang menyedihkan di kehidupan mereka. Sejak saat itu aku memutuskan untuk berubah. Aku tidak boleh meninggalkan kenangan yang menyedihkan di kehidupan mereka.
Aku mulai merubah sikapku.
Aku mulai menyebarkan keburukan dan rahasia para teman-teman sekelasku. Dulu, Jika ada masalah mereka selalu minta saran kepadaku, karenanya aku tahu keburukan dan rahasia-rahasia mereka. Bila ada siswi yang menyatakan perasaannya kepadaku, aku menolaknya dengan kasar. Hingga kemudian, aku mulai dibenci oleh teman sekelasku. Bahkan, siswa dari kelas lain pun mulai membenciku, hingga akhirnya aku mulai dijauhi oleh semua orang dan banyak yang mulai mengucilkanku.
Aku sadar bahwa perbuatanku salah. Terkadang, aku merasa menyesal karena telah berperilaku buruk terhadap mereka. Aku bahkan berniat untuk menceritakan semuanya. Namun aku sadar, jika aku menjelaskan semuanya mereka malah akan semakin bersedih jika mengetahuinya.
Jika aku selalu melakukan perbuatan buruk terhadap mereka, aku yakin mereka akan segera melupakan kehadiranku bila aku telah tiada. Dengan begitu mereka tidak akan merasa sedih karena kepergianku.
“Cepat ambil kertas yang berjatuhan kemudian bagikan kepada kami!” Angga mulai memerintahku dengan seenaknya. Dia dikenal karena cukup memiliki kepribadian yang buruk namun dia berubah semenjak sekelas denganku. Entah mengapa dia selalu baik saat di kelas dan tidak pernah berbuat seenaknya sendiri. Namun, semenjak aku merubah sifatku, kepribadiannya kembali menjadi buruk.
Aku menghiraukan ucapannya kemudian berjalan menuju bangkuku, “Ambil saja sendiri. Aku sudah melakukan tugas yang diberikan kepadaku, aku tidak perlu repot-repot lagi untuk mengambilnya.”
“Apa?!” Angga mulai menunjukkan ekspresinya yang mulai kesal, “Kau berusaha menantangku?! Jika iya, ayo maju sini!” dia mulai mengepalkan kedua tangannya.
“Boleh, ayo aku terima tantanganmu!” aku berdiri kemudian berjalan mendekatinya. Seluruh siswa di kelas hanya dapat terdiam melihatnya.
“Sudah, sudah, jangan berkelahi.” Seorang siswa berusaha menahanku agar aku tidak menghampiri Angga, dia adalah Arya. Arya dulunya adalah teman dekatku sekaligus rivalku dalam setiap mata pelajaran. Dia selalu berusaha menjadi unggul diatasku.
“Hoo... ada apa ini?” aku menatap Arya dengan sinis, “Kenapa kau berusaha membantuku? Apa kau ingin terlihat bagus di depan semua orang?”
“A, apa maksudmu, Ardi? Sekarang bukan saatnya seperti itu.”
Aku mendengus kesal, “Huh, bilang saja kau ingin tampil baik di depan semua orang agar kau dianggap unggul dariku, kan? Sudahlah, jujur saja.”
Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di wajahku, aku pun terjatuh ke lantai dan mengerang kesakitan.
“Aduh, duh. Tuh, kan. Sifat aslimu terlihat.” Kataku dengan sinis
Semua orang yang berada di kelas hanya dapat membisu begitu juga dengan Arya yang baru saja memukul wajahku.
“Kenapa sifatmu berubah, Ardi?!” Arya mengatakannya dengan kesal, “Dulu kau tidak seperti ini! Dulu kau adalah orang yang sangat dikagumi banyak orang! kenapa tiba-tiba kau menjadi seperti ini?!”
Aku tersenyum jahat, “Lihat? Seseorang yang sudah kuanggap sahabatku kini baru saja menusukku dari belakang, ternyata kau benar-benar sampah, ya.”
“Apa?!” Arya berjalan mendekatiku kemudian bersiap memukulku yang sedang tersungkur di lantai.
“Cukup!” Angga dengan segera menghentikan Arya, “Jangan berlebihan, Arya. Murid teladan sepertimu akan menjadi buruk bila memukul sampah sepertinya. Jika guru tahu kau akan mendapatkan masalah yang besar.”
“Huh, ternyata orang yang selalu berprilaku buruk dapat berpikir jernih juga, ya?”
Angga menghela napas kemudian dia berbalik dari hadapanku, “Ardi, aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Yang jelas, aku benar-benar kecewa terhadapmu. Cepat urus lukamu di UKS sana sebelum istirahat berakhir.”
Aku berusaha berdiri kemudian berjalan keluar menuju UKS sembari menahan rasa sakit akibat pukulan dari Arya. Siswa yang lainnya hanya bisa melihat karena tidak ingin ikut campur--- lebih tepatnya mereka tidak ingin berurusan denganku lagi.
Ketika tiba di UKS, aku terkejut karena ibu penjaga UKS sedang tidak ada disini. Aku mengambil beberapa lembar tisu kemudian duduk di tepi ranjang sembari membersihkan hidungku yang berdarah akibat pukulan dari Arya.
“Aduh, duh, pukulannya sakit sekali.” aku menghela napas sembari melempar senyum penuh kesedihan, “Aku benar-benar merasa menyesal karena telah mengatakannya, kalau bisa aku ingin meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya, tapi itu tidak mungkin apalagi mengingat umurku tinggal sedikit lagi.”
“Memang ada apa dengan umurmu?”
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara tepat dari belakangku. Aku menoleh ke belakang dan melihat tirai di belakangku terbuka dan terdapat seorang gadis yang tengah terbaring di ranjang. Kini dia menatapku dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Eh? Seorang siswi? Gawat! Aku berbicara sendiri tanpa menyadari ada seseorang disini atau tidak!”
“E, ehm, apa maksudmu? Mungkin kau salah dengar.”
Gadis itu tersenyum, dia berusaha bangkit kemudian duduk di tepi ranjangnya, “Mana mungkin aku salah dengar.” Katanya dengan pelan, “Jelas sekali kau bilang jika umurmu hanya tersisa sedikit, memangnya ada apa? Apa kau akan mati?”
“T, tidak, aku tadi hanya bercanda, ahahaha.”
“Hm? Benarkah?”
“I, iya, dan juga, siapa kau? Seingatku aku tidak pernah melihatmu di sekolah ini.”
aku berusaha keras agar dapat merubah topik pembicaraan. Dan lagi, aku benar-benar tidak mengenal gadis ini. Karena dulu aku termasuk siswa yang populer di sekolah maupun di kelas, aku hampir mengenali seluruh siswa di sekolah, meskipun aku tidak mengenalnya, aku pasti akan mengetahui wajahnya. Namun, aku sama sekali tidak pernah melihatnya.
“Ja, jangan-jangan kau penunggu UKS ini, ya?”
Gadis itu kemudian tertawa, “Hahaha, ternyata kau memang tidak mengenaliku, ya? Yah, itu wajar mengingat aku jarang keluar dari kelas, padahal sebelumnya kita pernah bertemu, lho.” Gadis itu kemudian beranjak dari ranjangnya kemudian dia berdiri di hadapanku, “Namaku adalah Lina, sama sepertimu, aku murid kelas 11.”
“Tapi aku benar-benar tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Aku berusaha mengingat-ingat kembali siapa dia namun gagal.
Dia kembali tersenyum kemudian melanjutkan perkataannya, “Hei, kau sama sekali tidak mirip seperti yang dirumorkan, ya?”
“Memangnya mereka membicarakan apa terhadapku?” aku merasa tertarik rumor buruk apa yang mengarah kepadaku.
“Hm...” dia berusaha mengingat-ingatnya, “Ah, aku ingat. Kau disebut-sebut sebagai manusia tanpa hati. Banyak yang bilang kau adalah orang terburuk yang pernah ada, dan mungkin, beberapa dari mereka mengharapkanmu agar menghilang dari dunia ini.”
“Menghilang dari dunia ini, ya?” saat mendengar kalimat itu entah mengapa aku merasa sedikit merasa aneh, aku senang setidaknya mereka akan melupakanku dengan mudah bila aku telah tiada, di sisi lain aku juga merasa sedih karena aku benar-benar kesepian.
“Ada apa? kenapa tiba-tiba kau murung?”
Aku tersenyum pahit, “Ah, tidak ada apa-apa, kok.” Aku berusaha menghilangkan rasa sedihku ini, “Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan disini, Lina?”
“Apa yang sedang kau lakukan bila berada di UKS?” dia melontarkan sebuah pertanyaan ke arahku sembari tersenyum.
“Ehm... sakit?”
“Tepat sekali! jawabannya sangat mudah, kan?”
Aku tertawa kecil, “Kalau itu semua orang juga akan tahu, kan?”
Setelah pembicaraan singkat itu, bel pertanda waktu istirahat berakhir baru saja berbunyi. Aku segera membuang tisu yang telah kupakai kemudian berjalan menuju luar UKS.
“Baiklah, ini memang singkat, tapi aku senang bisa berbincang denganmu.” Yah, memang setelah sekian lama akhirnya aku dapat berbicara dengan seseorang walaupun singkat, “Sampai jumpa lagi. Dan juga, jika kau tidak ingin terlibat masalah lebih baik jangan menyapaku bila kita bertemu.”
“E, eh, tu, tunggu!”