Hari Hari Terakhirku Bersamamu

Hafizh Isya
Chapter #2

Bab 2: Teman

“Nah, aku sudah siap berangkat!” aku segera mengambil tasku kemudian berjalan keluar dari kamar menuju meja makan. Disana sudah tertata rapi makanan dan juga kedua orangtuaku yang sedang sarapan.

“Ardi, ayo cepat segera sarapan.” Seru ibuku.

Aku mengangguk kemudian duduk di sebelah ibuku dan berhadap-hadapan dengan ayahku. Ayahku yang sedaritadi membaca koran segera menurunkan korannya kemudian melirik ke arahku.

“Jadi, Ardi. Bagaimana dengan sekolahmu?”

“Sama seperti biasanya, tidak ada yang spesial.” Jawabku sembari mengunyah roti yang sedang kumakan.

Ibuku tersenyum kemudian ikut menimpali, “Jika kamu ada masalah, kamu bisa menceritakan ke ibu atau ayahmu, kami siap kok mendengar curhatanmu.”

“Tidak ada masalah kok, bu.” Jawabku bohong. Yah, aku tidak ingin kedua orangtuaku tahu bahwa aku dikucilkan dan dijauhi oleh teman-temanku. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir.

Saat aku sedang meminum air putih, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ibuku kemudian beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju pintu rumah untuk melihat siapa yang datang. Karena aku adalah anak yang berbakti, aku mengajukan diriku menggantikan ibuku untuk melihat siapa yang datang.

Ting... ting... bel rumah terus-menerus berbunyi, “Iya, iya. Siapa sih pagi-pagi begini menekan bel secara berulang-ulang?”

“Iya, ada apa?” aku membuka pintu rumah dan terkejut melihat Lina sedang berdiri tepat di depan pagar rumahku. Saat dia melihat kehadiranku, dia tersenyum sembari melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera membalikkan badanku dan segera menutup pintu rumah. Aku berpura-pura tidak melihatnya.

“Siapa disana?” tanya ibuku saat aku kembali ke meja makan.

“Bukan siapa-siapa kok.” Jawabku sembari tersenyum.

Ting... ting... lagi-lagi bel rumah berbunyi kembali.

Cewek itu! Dia benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah!

“Biar ibu saja yang melihatnya.”

“Ah, ja, jangan, bu!” seruku.

Namun ibuku mengabaikanku dan berjalan menuju pintu rumah. Aku segera mengikutinya dari belakang. Ini pasti akan menjadi rumit.

“Iya, oh?” ibuku tampak terkejut melihat kehadiran Lina, “Kamu pacarnya Ardi, ya?”

Lina melemparkan senyum ke arah ibuku, “Iya, tante. Saya pacarnya Ardi.”

“Tak kusangka anakku punya pacar secantik dirimu.” Puji ibuku.

Aku segera merespon percakapan mereka, “Hei, sejak kapan kau menjadi pacarku?”

“Aduh, Ardi. Tidak perlu merasa malu di depan ibumu sendiri.” Ibuku kemudian berjalan menuju pagar rumahku kemudian membukakannya untuk Lina, “Apa kau sudah makan ehm...”

“Lina, namaku Lina.” Lina menyalami ibuku seakan-akan dia adalah anak kandungnya yang asli, “Saya biasa sarapan di sekolah kok, tante.”

“Aduh, mana bisa begitu. Ayo masuk, tante punya makanan yang enak untukmu.”

“Ah, terima kasih, tante.” Dia menggelengkan kepalanya, “Tapi tidak usah, saya sudah membawa bekal untuk sarapan di sekolah nanti. Saya datang kesini untuk menjemput Ardi.”

“Hoo...” ibuku kemudian menoleh ke arahku, “Ardi! Jangan membuat seorang gadis cantik menunggu lebih lama lagi! Segera ambil tasmu dan segeralah berangkat!”

“Tapi aku belum selesai sarapan.”

“Sudah cepat laksanakan!”

Dengan perasaan malas aku segera mengambil tasku yang berada di meja makan. Ayahku yang melihatku mengambil tas dengan rasa tidak semangat menatapku dengan heran.

“Siapa disana?”

“Pacarku.” Aku segera mengambil tas kemudian berjalan menuju pintu rumah.

“Hoo... pacarnya. Eh?! Tunggu?! Anakku punya seorang pacar?!”

Aku berjalan dengan tidak ada semangat. Aku segera menyalami ibuku kemudian berjalan menghampiri Lina, “Ayo kita berangkat.”

“Hati-hati dijalan, ya! Dan juga jaga pacarmu, ya!”

“Sudah kubilang dia bukan pacarku!”

“Kenapa kau tidak mengangkat teleponku, sih!” Lina memasang ekspresi kesal, “Padahal aku sudah meneleponmu berulang kali tapi kau sama sekali tidak menjawabnya.”

“Ah, aku mematikan ponselku.” Aku segera mengambil ponselku di dalam saku celana kemudian menyalakannya. Aku melihat banyak sekali riwayat panggilan dari Lina.

“Kenapa kau mematikannya, sih? Aku kan jadi tidak bisa memberitahumu kalau aku akan menyusulmu.”

Aku menatapnya dengan dingin, “Tidak perlu menjemputku. Lagian, memangnya tidak capek menjemputku? Rumahmu jauh, kan?”

“Tidak, kok. Jarak dari rumahku ke rumahmu hanya 5 menit saja.”

Saat membahas jarak rumahnya, aku mulai tersadar satu hal, “Tunggu dulu. Kenapa kau bisa tahu rumahku? Seingatku aku tidak pernah memberitahukan alamatku.”

“Oh, kalau itu, hm... coba tebak.”

Kenapa cewek ini memiliki hobi bermain tebak-tebakan, sih?

“Aku sedang tidak ingin bermain tebak-tebakan denganmu.” Jawabku dengan sinis, “Dan juga, kenapa tadi kau mengaku sebagai pacarku, sih? Saat pulang nanti aku bakal ditanyai berbagai pertanyaan karena ulahmu.”

“Ahahaha, maaf. Lagian, ternyata kau sangat akrab dengan ibumu, ya.”

“Memangnya kenapa? Bukannya wajar jika orangtua dan anak sangat dekat?”

Dia menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu maksudku. Hanya saja aku sedikit iri padamu.”

“Aku justru lebih iri denganmu.” Kataku dengan dingin, “Kau masih bisa mengobrol dengan kedua orangtuamu. Kau juga masih bisa melihat senyumannya. Tidak lama lagi setelah aku tiada, senyuman kedua orangtuaku pasti perlahan akan menghilang.”

“Jangan berkata seperti itu.”

Lina tiba-tiba menghentikan langkahnya. Aku ikut memberhentikan langkahku dan menoleh ke arahnya, “Hei, kenapa kau berhenti?”

“Kuyakin senyuman kedua orangtuamu akan tetap ada meskipun kau telah tiada.”

Aku menatapnya dengan sinis, “Memang kau tahu darimana jika senyuman mereka tidak akan menghilang? Mereka akan kehilangan satu-satunya harta mereka yang dianggap sangat berharga, yaitu diriku. jelas sekali senyuman mereka akan menghilang.”

“Kenapa kau merasa pesimis?” Lina menatapku dengan pandangan kosong, “Padahal aku merasa ikut bahagia melihat hubungan kalian. Kuyakin mereka tetap menjaga senyumannya demi dirimu.”

Aku menghela napas, aku mulai tidak terima dengan pendapat dari Lina, “Baguslah kalau itu memang terjadi. Tapi kau tahu? Senyuman seseorang dapat dengan mudah menghilang. Meskipun mereka tersenyum setelah kepergianku, kuyakin itu hanyalah senyuman palsu.”

Lina terdiam sejenak, “Sudah, aku tidak ingin berdebat denganmu. Ayo kita segera berangkat menuju sekolah. Aku tidak ingin terlambat masuk.”

Padahal kau duluan yang memulainya.

Selama berjalan menuju sekolahan, Lina hanya terdiam tanpa bicara sepatah katapun. Ini memang terasa aneh mengingat dia selalu berbicara panjang lebar saat bersamaku. Apa mungkin dia merasa kesal karena sudah berdebat denganku, ya? memangnya perkataanku ada yang salah?

“Hei, sebentar lagi kita sampai gerbang sekolah.” Kataku sembari menunjuk ke arah gerbang yang hanya tersisa beberapa meter saja, “Berjalanlah duluan di depanku, aku tidak ingin ada rumor yang mengatakan bahwa kau dekat denganku.”

Lina mengangguk tanpa memberikan jawaban. Dia segera berjalan mendahuluiku. Setelah Lina berjalan cukup jauh dariku, aku segera mengikutinya dari belakang. Aku tiba di gerbang depan dan segera berjalan menuju kelas.

Sesampainya di kelas, seperti biasa, aku segera menuju bangkuku tanpa berbicara dengan murid yang lainnya. Aku segera menyalakan ponselku kemudian melihat-lihat media sosialku.

Yah, tidak ada yang menarik untuk dilihat.

Bel pertanda pelajaran pertama pun akhirnya berbunyi. Seluruh siswa mulai kembali duduk di bangkunya masing-masing. Aku hanya memperhatikan mereka tanpa mengajak bicara mereka sama sekali.

Saat bel istirahat berbunyi, aku segera berjalan menuju UKS. Aku sebenarnya merasa enggan untuk kesana, tapi aku sudah berjanji akan menjadi teman Lina. Aku adalah tipe orang yang selalu memegang janjiku dengan baik.

Sesampainya di UKS, aku melihat hanya ada Lina yang tengah berbaring di atas ranjang. Aku sama sekali tidak menemukan ibu penjaga UKS disini.

“Jangan-jangan kau tidak ikut pelajaran jam pertama, ya?” aku berjalan menghampirinya yang sedang berbaring di atas ranjang.

“Ah, Ardi, ya?” dengan sekuat tenaga, Lina berusaha bangkit dari ranjangnya.

“Hei, jika kau sakit lebih baik berbaring saja.” Aku berusaha mencegahnya untuk tidak banyak bergerak terlebih dahulu.

Dia menolak saranku, “Tidak, aku sekarang sudah baik-baik saja.”

Aku mengambil sebuah kursi kemudian duduk berhadapan dengannya, “Jadi, kau sakit apa? Kenapa setiap istirahat kau selalu di UKS? Kupikir sebelumnya kau hanya bermain-main di UKS. Ternyata kau sakit beneran, ya?”

“Iya, begitulah.” Jawabnya dengan pelan.

Entah mengapa aku merasa situasi di antara kami tiba-tiba terasa canggung. Aku tidak dapat menjelaskannya dengan benar, tapi aku merasa ada jarak di antara kami berdua.

“Ka, kalau boleh tahu, kau sakit apa?”

Lina sedikit terkejut kemudian tertawa, “Hahaha, apaan sih. Kenapa kau menjadi gugup? Ah, pasti karena kau merasa canggung karena kejadian tadi pagi, kan?”

Si, sial, kenapa aku malah menjadi gugup?

“Tidak, kok. Aku sama sekali tidak merasa canggung.”

“Sudahlah, jujur saja kepadaku.” Lina kemudian terdiam sejenak lalu melanjutkan perkataanya, “Hei, aku mau minta maaf.”

Lihat selengkapnya