Hari Hari Terakhirku Bersamamu

Hafizh Isya
Chapter #3

Bab 3: Janji

Saat bel pertanda pulang berbunyi, aku segera mengemasi barang-barangku kemudian keluar dari kelas. Sama seperti sebelumnya, kulihat Lina sudah menungguku tepat di depan kelasku. Gadis ini benar-benar membuatku kesal.

“Sudah kubilang, jangan pernah berbicara denganku disini.” Aku menatapnya dengan kesal kemudian berjalan melewatinya.

Dia balik menatapku dengan kesal, “Dan sudah kubilang juga, jangan selalu berusaha mengabaikanku seperti itu.”

“Sejak awal aku memang tidak ingin berurusan denganmu.” Jawabku dengan dingin.

“Hoo...” dia menatapku dengan ekspresi penuh kejahilan, “Bukankah kemarin kau baru saja curhat kepadaku? Berarti kau memang tidak keberatan berurusan denganku, kan?”

“Aku kemarin hanya meminta saran kepadamu.” Jawabku sembari menghela napas, “Kau hanyalah satu-satunya siswa dari kelas lain yang dapat kumintai saran.”

“Hehe...” dia tersenyum jahil, “Tetap saja kan kau bersedia berurusan denganku.”

“Percuma saja berdebat denganmu.” Kataku dengan kesal, “Ujung-ujungnya aku yang bakal kalah. Memang ya, perempuan tidak pernah mau mengalah dalam urusan berdebat.”

“Yah, soal itu, memang sudah menjadi bakat kami sejak lahir.” Jawabnya penuh bangga.

Saat kami berdua tiba di depan gerbang sekolah, aku memutuskan untuk pulang sendirian karena tidak ingin ada gosip tentang kami berdua.

“Kenapa kau tiba-tiba begitu?” Lina berusaha memprotes saat aku berkata ingin pulang sendirian tanpa dirinya, “Padahal kemarin kau tidak keberatan jika kita pulang bersama.”

Aku masih ingat dengan apa yang diceritakan oleh Fauzi tadi saat di kantin.

“Tapi setiap kali aku melihatnya, dia selalu saja sendirian tanpa teman sama sekali.”

Fauzi kemudian menjawabnya dengan semangat, “Meskipun dia adalah primadona sekolah, dia itu seperti sedang memasang dinding yang tak terlihat di sekitarnya.”

“Hah? Apa maksudmu? Jangan ngaco, deh.”

Fauzi menatapku dengan kesal, “Tunggu hingga penjelasanku selesai, dong.” Dia diam sejenak kemudian melanjutkannya, “Dia selalu tidak ingin didekati oleh orang lain. Setiap orang yang berusaha mengajaknya bicara, dia selalu menghindarinya.”

“Sepertimu.” Balasku dengan singkat.

Fauzi segera menyangkalnya, “Tidak, aku memiliki alasan yang kuat karena tidak ingin berteman di kelas. Masa kau lupa?”

“Sudahlah, lanjutkan saja.”

“Hingga akhir-akhir ini, banyak rumor yang beredar bahwa kau dan dia sedang berpacaran. Banyak orang yang mengira-ngira bagaimana caranya Lina bisa jatuh hati kepadamu.”

Aku menatapnya dengan kesal, “Kami berdua sama sekali tidak berpacaran. Bahkan aku ingin dia menjauh dariku. Dia selalu mengusikku dan sekarang kenapa bisa kami berdua digosipkan sedang berpacaran?!”

“Kenapa kau tidak senang bila didekati olehnya?” tanyanya heran, “Bukankah seharusnya senang didekati oleh gadis cantik dan pintar seperti Lina? Banyak anak cowok yang menginginkannya, lho!”

Yah, kalau mengingat kejadian saat itu, aku sedikit terpana melihat dirinya

“Dengar, ya.” aku mulai memberikan penjelasanku, “Kami tidak ada hubungan apapun. Lagian, kau kenapa bisa tahu banyak sekali tentang Lina?”

Dia terdiam sejenak, “Dia adalah temanku saat SMP dulu dan kami cukup dekat.”

“Hah? temannya?”

Seingatku Lina bilang kepadaku kalau aku adalah teman pertamanya.

“Iya, kami berdua dulu sangat dekat seperti kau dan Lina saat ini.” katanya dengan pelan, “Tapi, ada suatu kejadian yang membuatnya menjadi penyendiri seperti saat ini.”

Semakin aku mendengar kisah tentang Lina, semakin aku merasa penasaran terhadapnya. Dia adalah gadis yang sangat sulit ditebak. Jujur saja, aku benar-benar ingin mengetahui segala hal tentang gadis itu.

“Kejadian? Tolong ceritakan secara rinci.”

Fauzi tersenyum kecil kemudian beranjak dari kursinya, “Yah, tidak sopan menceritakan masa lalu orang lain. Kuyakin suatu saat dia akan menceritakannya padamu.”

Aku mendengus kesal, “Gadis itu, mana mungkin mau menceritakannya padaku.”

Fauzi menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kuyakin dia mau. Setelah melihat kedekatan kalian berdua, aku semakin yakin kalau perlahan-lahan pintu hati Lina mulai terbuka untukmu. Selanjutnya, hanya kau yang dapat menentukan pilihanmu sendiri.”

Fauzi berjalan pergi meninggalkanku yang masih berusaha mencerna maksud dari perkataannya. Aku dan Lina hanya baru dekat beberapa hari saja, mana mungkin dia mau membukakan pintu hatinya kepadaku.

“Aku tidak ingin ada gosip tentang kita berdua.” Jawabku kepada Lina.

Dia menatapku dengan kesal, “Masa bodoh dengan gosip itu, aku benar-benar tidak memperdulikannya.”

Tidak, aku yang benar-benar memperdulikannya. Bagaimana tanggapan orang lain bila melihat primadona sekolah sedang berjalan bersama orang yang dicap sebagai manusia terburuk ini?

“Baiklah, kau boleh ikut pulang bersamaku.” Jawabku dengan pasrah, “Lagian, ada yang ingin kutanyakan tentangmu.”

“Kau ingin bertanya apa lagi?” katanya sembari berjalan di depanku, “Jika bertanya bagaimana caranya aku mengetahui rahasiamu, itu tidak bisa kujawab.”

“Bukan itu yang mau kutanyakan.” Aku mengambil napas dalam-dalam kemudian segera mengutarakan maksudku, “Apa kau kenal dengan Fauzi?”

“E, eh? si, siapa?” dia menjawabnya dengan terbata-bata.

“Fauzi, murid dari kelasku. Dia juga yang bercerita kepadaku tentang keadaan siswa di kelasku.” Aku menatapnya dengan tajam, “Apa kau mengenalnya?”

“Eh? Si, siapa itu? Aku tidak mengenalnya.”

Tidak, aku yakin kau baru saja berbohong. Untuk sesaat aku melihat kau memalingkan pandanganmu dariku. Itu tidak lain adalah tindakan spontan yang dilakukan manusia saat berbohong.

“Kau yakin benar-benar tidak mengenalnya?” tanyaku sekali lagi.

Lina membalikkan tubuhnya kemudian berdiri diam di depanku, “Sudah kubilang aku tidak mengenalnya. Kenapa kau masih saja menanyakannya, sih?”

Sepertinya dia sedikit merasa jengkel.

“Ah, maaf kalau begitu.”

Kuyakin dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi aku tahu, ada batasan setiap orang untuk tidak berusaha mencari tahu masa lalu orang lain. Apalagi, kurasa masa lalunya sedikit kelam.

“Kalau begitu, ayo kita jalan lagi.”

Aku mengangguk, “Iya, ayo kita pulang aku sudah merasa lelah.”

Sesampainya di depan rumahku, Lina berhenti sejenak kemudian membuka tasnya lalu memberikan sebuah tempat makanan kepadaku.

“Ini, tolong kasihkan ke ibumu.” Katanya sembari meberikanku sebuah tempat makanan.

“Apa ini?” aku membukanya lalu melihat di dalamnya ada cukup banyak potongan dari buah apel yang sudah dikupas, “Kau ingin memberikannya untuk ibuku?”

“Iya, anggap saja hadiah untuk ibumu.”

Kenapa kau malah memberikan ibuku hadiah dan bukannya aku?

“Baiklah, besok akan kukembalikan tempat makananmu.”

“Kau ingin hadiah juga?”

“Kalau iya, memangnya kenapa?”

Lina tersenyum kemudian berkata, “Kalau begitu, akan kuberi kau sebuah hadiah tapi dengan satu syarat.” Dia menjulurkan jari telunjuknya ke arahku.

Aku menatapnya dengan masam, “Syarat apalagi? Kalau kau tidak ingin memberikanku hadiah, aku juga tidak keberatan, kok.”

Yah, meskipun sebenarnya aku ingin.

Dia kembali tersenyum, “Jika kau berhasil menyelesaikan masalah yang ada di kelasmu, aku akan memberikanmu sebuah hadiah.”

Jadi dia berusaha menantangku, ya?

“Baik, aku terima tantanganmu. Kalau boleh tahu, hadiahnya apa?”

Dia menunjukkan senyumannya yang manis sekali lagi, “Rahasia.”

Lina kemudian berjalan pergi meninggalkanku yang masih terpesona melihat senyumannya yang indah.

“Andaikan saja aku benar-benar bisa berpacaran dengannya.” Gumamku.

“Hei, Ardi!” aku terkejut dan segera menoleh ke belakangku, kulihat ibuku membukakan pintu untukku, “Jangan melamun, ayo masuk.”

“Ah, iya.”

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjangku sembari mengingat-ingat senyuman dari Lina.

Yah, kurasa kini aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Ini memang aneh, padahal aku baru mengenalnya hanya baru beberapa hari saja dan kini aku sudah jatuh cinta kepadanya. Apalagi karena cerita dari Fauzi yang mengatakan bahwa banyak murid laki-laki yang berusaha mendekatinya, aku semakin merasa senang karena Lina yang mendekatiku terlebih dahulu.

Hadiah apa yang akan dia berikan padaku, ya? Ah, paling juga dia hanya memberikanku buah apel seperti dia memberikannya kepada ibuku. Atau, jangan-jangan dia akan memberikanku sebuah ci, ciuman?! Ah! Mana mungkin, Ardi! Jernihkan pikiranmu!

Tapi tetap saja, aku masih penasaran dengan masa lalu Lina. Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia juga sangat peduli kepadaku? Apa yang membuatnya menjadi penyendiri? Huh, semua masalah ini membuat kepalaku pusing saja.

Saat aku sedang melamun memikirkan masalah yang sedang kuhadapi, tiba-tiba pintu kamarku diketuk lalu ibuku masuk kedalam kamarku. Aku segera duduk di tepi ranjang kemudian menanyai ibuku.

“Ada apa, bu?”

Ibuku tampak memasang ekspresi penuh kecemasan, “Ardi, Apa Lina sudah tahu kalau umurmu hanya tersisa 4 bulan lagi?”

Aku mulai teringat lagi, “Iya.” Jawabku dengan pelan, “Dia sudah mengetahuinya.”

Ibuku kemudian duduk tepat di sebelahku sembari merangkulku, “Apa kamu benar-benar mencintai Lina?”

Aku terdiam sejenak. Baru beberapa hari ini aku kenal dengan Lina, dia selalu berbuat iseng kepadaku. Dia juga selalu mengangguku dengan ocehan-ocehannya. Tapi aku tahu, dia sebenarnya sangat peduli kepadaku dan dia benar-benar ingin berteman denganku.

“Entahlah, bu.” Jawabku dengan pelan, “Aku tahu dia selalu berusaha mendapatkan perhatian dariku. Aku juga baru beberapa hari ini baru mengenalnya. Aku masih belum mengenal dia lebih dekat. Dan sepertinya, dia benar-benar sudah membuatku jatuh cinta kepadanya.”

“Apa kamu sudah siap dengan konsekuensinya?”

“Dulu, aku sudah berulang kali menjelaskan kepadanya agar tidak dekat-dekat denganku. Aku tahu jika dia berpacaran denganku, dia akan merasa sedih jika aku telah tiada. Di sisi lain, aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku ingin menikmati hari-hari terakhirku dengannya.”

Ibuku tersenyum kemudian berjalan menuju pintu kamarku, “Semua jawaban ada pada dirimu. Jangan sampai menyakiti perasaannya.”

Lihat selengkapnya