Hari Hari Terakhirku Bersamamu

Hafizh Isya
Chapter #4

Bab 4: Kencan

Si, situasi apa ini?!

Jantungku berdegup dengan kencang dan aku mulai menjadi gugup. Lina, saat ini sedang tertidur di bahuku. Aku mulai merasa sangat gugup. Wajahnya yang imut kini sangat dekat denganku.

Gawat! Dia imut sekali saat dilihat dari dekat!

Kemarin, setelah menyelesaikan masalah yang berada di kelas. Aku kemudian menceritakannya kepada Lina saat kami berdua berjalan pulang bersama.

“Wah, untung saja idemu dapat terjadi dengan cepat, ya!”

Aku mendengus kesal, “Tapi tetap saja, Fauzi benar-benar misterius. Tak kusangka ternyata Fauzi dan Arya dulu adalah teman saat masih SD. Ini benar-benar mengejutkanku.”

“Oh, makanya temanmu itu meminta bantuan kepada Arya setelah menjelaskan idemu kepada Arya, kan?”

“Temanmu?” aku menatapnya dengan aneh, “Kenapa kau menyebut Fauzi dengan ‘Temanmu’? Kukira kalian saling mengenal.”

Lina segera membuang muka dariku, “Ah, mana mungkin kami saling mengenal. Aku saja sama sekali belum pernah bertemu dengannya.”

Kenapa kau tidak mau jujur saja, sih?

“Yah, terserah apa katamu.”

“Ehm, Ardi.” Panggil Lina dengan pelan, “Apa kau merasa ada sesuatu yang kau lupakan?”

“Hah?” aku mencoba mengingat-ingat kembali, “Ah, iya! Pensilku tertinggal di kelas!”

Lina mencubit lenganku, “Yang serius, dong!”

“Sakit tahu!” aku mengelus-elus lenganku yang baru saja dicubit oleh Lina, “Iya, aku hanya bercanda. Jadi apa hadiahnya?”

Lina tiba-tiba tersenyum dengan senang, “Baguslah kau ingat! Hadiahnya adalah....”

Aku berusaha mendengarkannya dengan seksama, “Hei, ayo cepat katakan!”

“Akhir pekan nanti, ayo kita berkencan!”

“Hah?! Ke, kencan?!” aku merasa sangat senang mendengar hadiah dari Lina. Saking senangnya, aku diam membatu tanpa berkomentar apa-apa lagi.

“Hei, kenapa kau diam saja?” Lina berdiri di hadapanku sambil melambaikan tangannya tepat di depanku, “Kau pasti merasa sangat senang sampai diam seperti ini, ya?”

“Ti, tidak, kok! Untuk apa aku merasa senang hanya karena kencan?” aku berusaha menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya, “Mana mungkin aku akan merasa senang bila berkencan dengan gadis sepertimu.”

Lina kemudian tertawa, “Kau ternyata sangat pemalu, ya?”

“Sudahlah.” Aku kemudian merubah topik pembicaraan, “Lalu, apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan menonton film lalu makan di restoran? Hanya itu saja, kan?”

Lina berpikir sejenak, “Hm... sepertinya kurang menarik, ya? Kalau menurutmu, apa saja yang perlu dilakukan saat kencan agar terasa menyenangkan?”

Kenapa kau malah tanya kepadaku?

“Apa ya...” aku mulai ikut berpikir, “Menurutku kegiatan kencan memang hanya makan dan menonton film saja, kan? Menurutku itu sudah menyenangkan.”

Lina memasang muka masam, “Hanya itu, ya?” dia mengatakannya dengan rasa penuh ketidakpuasan, “Rasanya sangat membosankan.”

“Kalau begitu, cepat katakan pendapatmu juga!” aku mulai merasa kesal karena dia membalasnya dengan nada seperti mengejekku.

“Ah! Aku akhirnya mendapatkan sebuah ide!” Lina tiba-tiba menatapku sambil menyengir.

Aku mulai mendapatkan firasat yang tidak enak. Aku tahu, sepertinya Lina baru saja mendapatkan ide aneh dan itu akan sangat membuatku jengkel. Jika tidak segera kutanyakan apa idenya, aku pasti akan merasa kesal saat ide Lina benar-benar terjadi.

“Cepat katakan apa idemu.”

Lina tersenyum jahil, “Rahasia. Yang jelas, ini bakal menyenangkan, kok! Kujamin, kau akan terkejut sampai tidak dapat berkata apa-apa.”

Tuh, kan. Firasatku benar.

“Iya, setelah idemu terlaksana, aku pasti akan merasa terkejut sekaligus jengkel.” Jawabku dengan senyuman masam, “Ayo cepat jalan. Gara-gara kejadian di kelas tadi, aku saat ini merasa lelah.”

“Itukan salahmu sendiri!” seru Lina, “Kau benar-benar keras kepala, ya? Ada orang yang benar-benar ingin berteman denganmu tapi kau malah menyia-nyiakannya.”

“Mau bagaimana lagi.” Aku menatap Lina dengan kesal, “Kau kan tahu kalau aku tidak ingin hidup di kenangan mereka. Sejujurnya, aku senang ada orang yang benar-benar peduli kepadaku. Tapi, aku tidak ingin mereka menjadi sedih karenaku.”

“Selalu saja jawabanmu sama.” Lina berdiri di hadapanku kemudian menunjuk ke arah wajahku, “Dengar, ya! Apa salahnya jika mereka mencoba baik kepadamu? Mereka benar-benar khawatir kepadamu. Biarkan kau hidup di kenangan mereka. Meskipun akan terasa menyakitkan setelah kepergianmu, tapi kuyakin mereka akan terus melangkah maju.”

“Mudah sekali untuk mengatakannya, ya?” aku berjalan melewati Lina, “Darimana keyakinanmu itu muncul? Jangan menjadi naif.”

“Sebenarnya, kau peduli kepada mereka, kan?” Lina memberhentikan langkahnya, “Justru saat ini yang paling merasa kesakitan adalah dirimu, kan? Kau selalu berusaha menjauh dari mereka padahal kau masih ingin berteman dengan mereka, kan?”

“Kalau kau sudah tahu, memangnya apa yang dapat kau lakukan?” tanyaku sambil memberhentikan langkahku lalu menoleh ke arahnya, “Ini adalah masalahku, jangan coba-coba untuk mencampuri urusanku.”

Lina terdiam sejenak kemudian dia menunjuk ke arah depanku, “Ah, lihat, kita sebentar lagi tiba di depan rumahmu. Ayo cepat jalan!” Lina kemudian berlari melewatiku tanpa melirik ke arahku seakan-akan aku adalah orang asing untuknya.

Apa perkataanku tadi baru saja menyakitinya, ya?

“Hoi! Tunggu aku!”

“Ah, tante, selamat sore!” Lina menyapa ibuku yang baru saja membuka pagar rumah. Dia kemudian mendekati ibuku lalu membisikkan sesuatu kepadanya.

“Wah, kau jenius, Lina!” ibuku tiba-tiba menjadi gembira, “Kalau begitu, tante pergi dulu, ya! Tante harus menyiapkan bahan yang banyak!”

“Sebenarnya, apa yang kalian berdua bicarakan?” tanyaku saat aku mengampiri mereka berdua, “Aku merasa terabaikan.”

“Ardi, ibu akan keluar sebentar, jaga rumahnya, ya!” ibuku pergi sembari bersenandung dengan riang.

“Ibumu lucu juga, ya?” komentar Lina, “Apa ibumu tahu tentang masalahmu yang terjadi di sekolah? Kurasa ibumu tidak tahu, kan?”

“Ibuku hanya tahu bahwa aku di sekolah adalah anak yang populer dan disenangi banyak orang.” aku diam sejenak, “Ibuku belum tahu bahwa kini aku adalah orang yang sangat dibenci di sekolah.”

“Nah, aku pulang dulu. Jangan lupa, besok kutunggu di depan bioskop, ya!” Lina berlari meninggalkanku yang masih menatap kepergiannya.

Saat malam harinya, saat aku sedang bermain gim di ponselku, tiba-tiba sebuah pesan muncul pada notif ponselku.

Siapa sih yang mengirim pesan padaku?

Aku segera membuka pesannya dan melihat ternyata pesan yang baru saja masuk adalah pesan dari Lina. Aku meneruskan bermain gim-ku namun pesan dari Lina terus-menerus bermunculan. Dengan perasaan malas, aku segera membacanya.

‘Hai, Ardi. Apa kau tidak sabar dengan kencan besok?’

Aku segera membalasnya karena aku ingin segera kembali bermain gim lagi.

‘Aku merasa biasa saja, kok. Dan berhenti mengirimiku pesan, aku sedang sibuk saat ini.’

Aku membuka kembali aplikasi permainanku dan tiba-tiba Lina langsung membalas pesanku.

‘Sibuk apa? Kuyakin saat ini kau hanya berbaring di atas kasurmu sambil bermain gim, kan?’

Memangnya kau punya indera keenam, ya?

‘Aku benar-benar sibuk saat ini. Jangan mengangguku.’

Belum sempat aku membuka aplikasi gim-ku lagi, tiba-tiba Lina membalasnya lagi.

‘Sudahlah, jujur saja padaku. Aku tahu saat ini kau sedang bermalas-malasan, kan.”

Aku hanya membaca pesannya tanpa membalasnya. Aku berpikir jika aku hanya membaca pesannya saja, dia akan menyerah dan tidak akan mengirimiku pesan lagi. Namun, aku lupa jika ini adalah Lina. Dia pasti tidak akan menyerah semudah itu.

‘Hei, kenapa kau hanya membacanya saja?’

‘Aku tahu kau ada disana, jangan pura-pura tidak tahu.’

‘Ardi, cepat jawab pesanku.’

Gadis ini benar-benar mengerikan. Aku harus segera membalasnya!

‘Apa? Sudah kubilang jangan mengirimiku pesan terus-menerus!’

Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk datang dari Lina. Aku segera mengangkat telepon darinya lalu segera memarahinya. Aku tidak ingin waktuku diganggu olehnya.

“Hei! Sudah kubilang jangan mengirimiku pesan yang tidak penting!”

“Eh? Memangnya kenapa, sih? Ah, jangan-jangan kau marah gara-gara waktu bermain gim-mu aku ganggu, ya? tebakanku ternyata hebat juga.”

“Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau katakan, lebih baik kumatikan saja teleponnya!”

Aku segera menutup panggilan darinya. Baru beberapa detik setelah kututup panggilan darinya, tiba-tiba Lina meneleponku lagi.

Lihat selengkapnya