Aku masih sedikit mengantuk saat sedang sarapan bersama kedua orangtuaku. Sesekali aku menguap dan memejamkan mata sesaat karena berusaha menahan rasa kantuk yang masih ada.
“Kenapa kau masih mengantuk?” ayahku menanyaiku saat dia sedang memakan sebuah roti, “Apa kau tidur malam-malam? Dengar, tidur malam-malam sangat tidak baik apalagi untuk kesehatanmu.”
Aku tersenyum kecil, “Maaf, tadi malam aku memikirkan banyak hal.”
“Ngomong-ngomong, Ardi.” Ibuku sesekali mengintip ke arah luar rumah, “Apa Lina tidak akan datang menjemputmu lagi? Biasanya jam segini dia selalu sudah siap di depan rumah dan memanggilmu.”
“Entahlah...” aku diam sejenak, “Mungkin dia sudah malas menjemputku.”
Ibuku berjalan mendekatiku lalu menatapku dengan kesal, “Sudah tiga hari ini dia tidak menjemputmu, apa kau tahu sesuatu?”
Aku sedikit memalingkan wajahku, “Ehm, aku tidak tahu apapun. Tapi, kami saat di sekolah selalu bertemu, kok.” Kataku dengan bohong, “Ah, sudah jam segini. Lebih baik aku berangkat dulu, ya!”
Dengan cepat aku segera menyalami kedua orangtuaku lalu berangkat menuju sekolah. Aku tidak ingin mereka menanyaiku berbagai macam hal. Sudah empat hari ini aku tidak bertemu dengan Lina. Dia selalu tidak ada di UKS dan aku berulang kali mengirimi dia pesan tapi dia tidak membaca pesanku maupun membalasnya.
Apa karena pertemuannya saat itu dengan Fauzi, ya? Sudah kuduga, mereka berdua memiliki masalah yang belum terselesaikan. Sial! Seandainya aku tahu kelas atau tempat tinggalnya!
Bel istirahat berbunyi, aku segera berjalan dengan cepat menuju UKS. Setibanya disana, aku sama sekali tidak dapat menemukan Lina. Ruang UKS sangat sepi dan tidak ada satupun orang disini.
Kenapa aku selalu mengkhawatirkan Lina? Ini semua membuatku lapar. Aku ingin makan saja.
Saat aku kembali ke kelas lalu membuka tasku untuk mengambil bekal, aku tidak menemukan bekalku di dalamnya. Aku mulai berusaha mengingat lagi kapan terakhir kali aku melihat bekalku.
Ah! Bekalku kutaruh di kamarku! Untung saja aku membawa uang. Kurasa aku harus membeli makanan di kantin.
Saat aku makan sendirian di kantin, dua orang siswa laki-laki yaitu Arya dan Fauzi datang menghampiriku lalu duduk di depanku. Kedatangan mereka sedikit membuatku risih, tapi kebetulan aku juga ingin menanyai sesuatu kepada Fauzi.
“Apa kami boleh duduk disini?” tanya Fauzi kepadaku.”
Aku sedikit menatap ke arah mereka lalu kembali fokus ke makananku, “Tidak apa-apa. Kebetulan aku ingin bicara denganmu, Fauzi.”
Arya yang daritadi diam kini mulai ikut bicara, “Ardi, terima kasih atas bantuanmu tempo hari. Tanpa bantuanmu, kelas kita tidak akan pernah bisa akrab lagi.”
Aku menghela napas, “Aku tidak butuh rasa terima kasihmu. Lagipula, sudah kewajibanku sebagai ketua kelas untuk memperbaiki keadaan kelas.”
“Hehehe... sudah kubilang, kan? Sebenarnya Ardi adalah orang yang peduli kepada orang lain. Dia hanya merasa malu untuk mengungkapkannya.” Kata Fauzi sambil menyengir ke arahku.
“Tapi kalian berdua keras kepala, ya? Seharusnya setelah aku mengatakan itu saat di kelas, kalian saat ini pasti sudah menjauh dariku. Tapi kenapa kalian malah semakin mendekatiku?!”
Fauzi dan Arya saling memandang kemudian membalasnya dengan serempak, “Tentu saja, kan? Karena kita adalah teman.”
Mendengar jawaban itu dari mereka berdua. Jujur saja, aku merasa sedikit malu. Rasanya aku sangat senang karena ada yang benar-benar menganggapku sebagai teman meskipun aku sudah memperlakukan mereka dengan buruk.
“Ngomong-ngomong, Ardi. Apa benar kau berpacaran dengan Lina?”
Aku yang sedang memakan bakso langsung tersedak karena mendengar pertanyaan dari Fauzi. Arya dan Fauzi dengan cepat segera memberikan air putih kepadaku.
“Uhuk, uhuk, Te, terima kasih.” kataku dengan terbatuk-batuk, “Kenapa kau menanyakan itu lagi? Bukannya aku sudah menjelaskannya saat itu?”
Aku mulai merasakan deja vu.
“Yah, setelah melihat Lina berada di depan rumahmu dan kulihat kalian sangat akrab. Apalagi yang akan orang pikirkan selain kalian berdua berpacaran?”
“Tu, tunggu, Ardi. Ka, kau membawa seorang gadis ke rumahmu?” Arya kini menunjukkan ekspresi yang tidak percaya dengan perkataan Fauzi, “Bu, bukankah kalian terlalu cepat untuk melakukan hubungan terlarang?”
“Tunggu! Apa maksudmu dengan hubungan terlarang!?” aku baru saja menyadari bahwa suaraku barusan sangatlah keras sehingga banyak siswa yang kini perhatiannya tertuju ke arahku, “Ka, kau salah. Lina hanya makan malam bersama dengan keluargaku saja.” kataku dengan pelan.
“Berarti hubungan kalian berdua sudah mendapatkan restu dari kedua orangtuamu, ya?” Fauzi mengatakannya dengan nada mengejekku.
Aku sudah menyerah meladeni sikapnya, “Terserah apa katamu.”
“Jadi, rumor tentangmu yang berpacaran dengan sang primadona sekolah itu benar?”
Fauzi menatapku dengan iri, “Yah, sepertinya itu adalah rumor yang benar. Kau membuat seluruh murid laki-laki di sekolah menjadi iri kepadamu.”
Aku menatap mereka dengan kesal, “Sudah kubilang, kan? Aku dan Lina tidak memiliki hubungan apapun. Terserah kalian mau mempercayainya ataupun tidak!”
“Sudah kuduga, mereka berdua benar-benar berpacaran.”
“Benar seperti yang kukatakan, kan? Kini pastinya kau sudah mempercayaiku.” Timpal Fauzi kepada Arya.
“Oh, iya. Fauzi. Apa kau bersedia menceritakan masa lalumu dengan Lina?” tanyaku dengan pelan, “Sejak bertemu denganmu saat itu, Lina sudah tidak pernah masuk sekolah lagi. Aku juga sudah berulang kali mengirimi dia pesan tapi dia tidak membalas maupun membaca pesanku.”
“Apa ini? Kau sekarang mengkhawatirkan pacarmu, ya?”
“Ardi, aku sekarang mulai iri padamu.” Arya menatapku dengan kesal, “Kau memang berhasil unggul dalam beberapa hal dariku, ya?”
Mereka berdua membuatku kesal saja.
“Berhenti mengerjaiku, Fauzi! Aku benar-benar merasa harus tahu masalahmu yang sebenarnya dengan Lina!”
Arya beranjak dari kursinya, “Sepertinya aku tidak boleh mendengar hal ini, kan? Aku akan pergi dan meninggalkan kalian berdua untuk saling bicara.”
Fauzi menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu pergi, Arya. Kau tidak apa-apa mendengarnya, kok. Lagian, kurasa ini bukanlah suatu rahasia yang perlu kurahasiakan darimu lagi.”
“Kalau begitu, cepat ceritakan apa yang terjadi dengan Lina!” kataku dengan tidak sabar, “Waktu istirahat kita sebentar lagi akan selesai, jadi cepat katakan!”
Fauzi menghela napas, “Ini adalah kejadian saat aku duduk di kelas 9 SMP.” Fauzi mulai menceritakan masa lalunya.
“Saat itu hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Aku dan Lina sama-sama berada di kelas yang sama. Kami sebelumnya saling tidak mengenal satu sama lain. Saat pertama kali aku melihatnya, aku memberikan kesan bahwa dia adalah gadis yang tertutup dan pendiam. Namun aku salah, Lina sebenarnya adalah gadis yang populer sekaligus gadis yang baik yang selalu peduli kepada orang lain.”
“Setelah beberapa hari kami berada di kelas yang sama, kami berdua mulai sangat akrab. Sebenarnya, aku dulu sama sepertimu, Ardi. Aku adalah orang yang selalu menjadi pusat perhatian dan pandai mengatur suasana, karenanya, aku menjadi orang yang populer di sekolah. Kedekatanku dengan Lina mulai menjadi bahan perbincangan oleh para siswa di sekolah. Kami berdua saat itu sangatlah dekat dan bahkan mungkin kami terlihat seperti berpacaran.”
“Hingga suatu hari, ada seorang gadis yang menyatakan perasaannya padaku. Aku menolak perasaannya karena saat itu aku menyukai Lina. Mungkin, cara penolakanku saat itu membuat hati gadis itu terluka. Sejak aku menolak gadis itu, mulai banyak rumor yang bermunculan bahwa aku dan Lina saling menyukai dan kami berdua sedang berpacaran.”
“Karena rumor itu mulai bermunculan, Lina mulai dijauhi oleh teman-teman perempuannya. Dia bahkan mulai dibenci oleh seluruh murid saat itu. Lina segera berusaha menjelaskan kepada yang lain bahwa kami berdua tidak berpacaran. Namun, apa kalian tahu jawaban yang dia terima? Seluruh siswa yang membencinya mengatakan kepadanya bahwa dia terlalu merendahkan dirinya sendiri dan bersikap sombong karena berpacaran denganku.”
“Semenjak itulah, Lina mulai tidak pernah masuk sekolah lagi. Dia sudah tidak kuat menerima perlakuan buruk dari teman-temannya. Satu minggu sejak Lina tidak masuk sekolah, tiba-tiba guru wali kelasku memberitahukan bahwa Lina sudah pindah sekolah. Aku saat itu sangat merasa syok karena gadis yang kucintai sekaligus sahabatku tiba-tiba pergi tanpa memberitahukan kepadaku.”
“Sejak saat itu, aku selalu mulai merasa menyesal karena telah kehilangan seseorang yang berharga bagiku. Saat aku masuk ke SMA ini, aku mulai memutuskan untuk menjadi orang biasa yang hanya memperhatikan orang populer seperti dirimu, Ardi. Saat aku masuk ke SMA ini, aku terkejut karena aku dapat bertemu dengan Lina lagi. Tapi, setiap kali aku berusaha menyapanya, dia selalu berusaha menghindar dariku. Aku pun mulai menyadari bahwa Lina di sekolah ini juga tidak memiliki teman sama sekali. Sepertinya dia merasa trauma karena kejadian dulu. Dan juga, sepertinya dia belum memaafkanku karena telah membuatnya mengalami kejadian itu.”
Setelah mendengar cerita dari Fauzi, aku dan Arya hanya bisa diam tanpa berbicara apa-apa. Sejujurnya, aku bingung harus menilai cerita dari Fauzi seperti apa. Aku mulai merasa kesal setelah mendengar cerita dari Fauzi.
Ini sepenuhnya bukan salah Lina maupun Fauzi. Mereka disini hanyalah korban dari perlakuan egois teman mereka. Seandainya saja dulu satu SMP dengan mereka, kuyakin aku pasti dapat mencegah kejadian itu.
“Tapi, Fauzi.” Arya mulai berkomentar, “Aku tidak menyangka kau mempunyai masa lalu seperti itu. Pantas saja aku terkejut saat pertama kali melihatmu lagi saat SMA, sifatmu sangat berbeda dengan saat SD dulu. Saat SD kau tidak pendiam dan mempunyai teman yang banyak, kini kau hanya melihat dan mengamati tanpa mengobrol dengan yang lain saat di kelas.”
Fauzi segera membalasnya, “Begitulah alasanku menjadi pendiam di kelas. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Aku tidak ingin keberadaanku dapat menyakiti orang lain lagi.”
Aku memukul meja sehingga membuat seluruh murid yang berada di kantin melihat ke arahku, “Dengar, Fauzi! Apa kau merasa puas dengan hidup dibawah rasa penyesalan?!” aku mulai merasa kesal, “Ini semua bukan salahmu! Jangan menyalahkan dirimu sendiri atas semua ini!”
“Tenanglah, Ardi.” Arya berusaha menenangkanku, “Kau lagi-lagi menarik perhatian seluruh murid yang sedang berada disini.”
“Aku tidak peduli dengan hal i—“ sesaat sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku mulai merasakan kesakitan yang datang dari dadaku.
Ke, kenapa harus sekarang?!
“Ardi! Kau tidak apa-apa?!” Arya dan Fauzi yang melihatku merasa kesakitan langsung berdiri lalu mendekat ke arahku.
“Ak, aku sudah tidak apa-apa.” Rasa sakit yang kurasakan tiba-tiba langsung menghilang dengan cepat. Sepertinya karena aku baru saja merasa kesal hingga marah menyebabkan penyakitku tiba-tiba muncul kembali.
“Ada apa denganmu?” tanya Arya dengan cemas, “Raut wajahmu tiba-tiba terlihat sangat kesakitan dan kau terus-menerus memegang dadamu.”