Hari Hari Terakhirku Bersamamu

Hafizh Isya
Chapter #6

Bab 6: Penyesalan

Aku membuka kedua mataku dengan perlahan-lahan. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha mempertahankan kesadaranku kembali. Saat berhasil membuka mataku sepenuhnya, aku melihat langit-langit yang tidak kukenal. Aku menggerakkan kepalaku ke samping kiri dan kulihat Lina yang memakai seragam sekolah sedang duduk dan tertidur dengan kepalanya yang berada di tepi ranjangku.

Ini... aku berada di rumah sakit, ya? Benar juga, sebelum aku pingsan aku berada di sekolah, ya? Sepertinya Lina menemaniku kesini.

Saat aku berusaha bangkit, Lina terbangun lalu terkejut melihatku yang sudah siuman.

“A, Ardi? K, kau sudah bangun?”

Aku mengangguk pelan, “Iya, begitulah.”

Lina kemudian memelukku dengan erat, “Syukurlah kau sudah bangun. Aku sempat khawatir karena kau tidak bangun-bangun.”

“Berapa lama aku pingsan?”

Lina melepaskan pelukannya lalu menjawabnya, “Kau pingsan seharian ini. Sekarang sudah jam lima sore. Setelah kau pingsan di depan gerbang sekolah, para guru segera membawamu ke rumah sakit.” Lina tiba-tiba meneteskan air mata, “Aku sangat senang karena kau sudah bangun.”

“Sudah, jangan menangis.” Aku mengusap air matanya yang keluar, “Ngomong-ngomong, kenapa malah kau yang ada disini? Dimana orangtuaku?”

Lina mulai berhenti menangis kemudian menjawabnya, “Orangtuamu sudah kesini. Mereka saat ini sedang berada di rumah untuk mengambil pakaianmu. Sehabis pulang sekolah, aku segera pergi kesini dan bertemu orangtuamu. Mereka berdua menyuruhku untuk menjagamu sebentar.”

“Kukira mereka belum tahu tentang aku yang pingsan di sekolah.”

“Ardi!” Lina mulai menatapku dengan cemas, “Penyakitmu... apa semakin parah?”

Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan, “Entahlah, aku tidak tahu. Menurut dokter yang memeriksaku dulu, keadaanku seharusnya semakin parah saat bulan Januari. Sedangkan saat ini masih pertengahan bulan November, seharusnya belum saatnya menjadi lebih parah lagi.”

“Begitu, ya...” Lina terdiam sejenak. Aku dapat melihat pancaran kesedihan dari raut wajahnya. Aku tahu jika dia pasti akan merasa sangat sedih saat kepergianku nanti.

“Ngomong-ngomong, Bagaimana hubunganmu dengan Fauzi? Apa kalian sudah berbaikan?”

“Ah, benar juga.” Lina mengambil ponselnya dari tasnya, “Aku harus memberitahu Fauzi kalau kau sudah sadar. Dia akan menjengukmu bersama Arya setelah kau sadar.”

Aku tersenyum kecil, “Aku merasa senang kalian dapat berbaikan.”

“Ardi...” Panggil Lina dengan pelan, “Apa yang akan kau katakan pada mereka? Apa kau akan memberitahu mereka yang sebenarnya? Atau kau masih ingin menyembunyikan hal ini?”

Aku segera menjawabnya dengan cepat, “Aku tetap tidak ingin memberitahukannya kepada mereka. Aku tahu, jika aku mengatakan penyakitku ini dan mengatakan alasan sifatku berubah, mereka berdua pasti akan menjelaskannya kepada orang lain.”

Pintu ruanganku tiba-tiba terbuka dan kedua orangtuaku masuk. Mereka terkejut melihatku yang telah siuman, dengan cepat, ibuku berlari lalu memelukku dengan erat.

“Syukurlah kau sudah sadar, Ardi.”

Ayahku menaruh sebuah tas yang cukup besar di pojok ruangan lalu berjalan mendekati Lina.

“Terima kasih, Lina. Karena sudah menjaga putra kami.”

“Ah, tidak apa-apa, kok. Saya juga ingin menjaga Ardi.” Lina menjawabnya dengan ramah, “Oh iya, kita harus memanggil dokternya. Sejak Ardi sudah sadar, saya belum memanggil dokter dan perawatnya.”

“Kalau begitu, biar kupanggil dulu.” ayahku berjalan keluar dari kamar lalu pergi untuk memanggil dokter dan perawat.

“Bagaimana keadaan putra saya, dokter?” ibu menanyakannya dengan cemas.

Dokter itu menghela napas kemudian menjawabnya, “Keadaannya mulai membaik. Tapi saya sarankan jangan pergi sekolah dulu untuk tiga hari kedepan.” Dokter itu kini menatapku, “Ardi, apa akhir-akhir ini kau memikirkan sesuatu?”

“Memikirkan sesuatu?” Balasku dengan singkat.

Dokter itu mengambil napas dalam-dalam lalu berdiri, “Jantung adalah organ penting bagi manusia. Setiap orang yang memiliki penyakit jantung, tidak diperbolehkan terlalu sering memikirkan suatu hal. Jika kau terlalu sering memikirkan suatu hal, penyakitmu akan semakin parah.”

Apa akhir-akhir ini aku memikirkan sesuatu, ya? Apa karena aku mencemaskan Lina dan juga karena memikirkan masa lalu Lina, ya?

Aku menggelengkan kepalaku, “Saya rasa... saya tidak pernah memikirkan apapun.” Kataku bohong.

Dokter itu menatapku lagi, “Kata orangtuamu, sebentar lagi sekolahmu akan pergi karyawisata, kan? Kalau begitu, aku sarankan jangan mengikuti karyawisata itu. Kita tidak tahu kapan penyakitmu akan menjadi parah lagi. Ini juga demi kebaikanmu.”

Aku mengangguk dengan pelan, “Iya, saya berjanji.”

“Baiklah, kalau begitu, saya permisi dulu.” Dokter itu dan perawatnya pergi berjalan keluar meninggalkan kamarku. Namun, saat dokter itu akan melangkah pergi, dia sedikit terkejut saat melihat Lina, “Uhm.... kalau tidak salah, kau Lina, bukan?” Dokter itu menatapnya dengan sedikit keraguan.

Lina dengan gugup mulai menjawabnya, “I, iya, ada apa, ya?”

“Oh? Jadi itu benar kau, ya? Bagaimana? Apa sudah merasa baikan? Akhir-akhir ini, kau sepertinya mulai jarang memeriksanya lagi, ya? Kusarankan mulai sekarang kau harus rajin memeriksakannya. Nah, kalau begitu, saya izin pergi.”

Setelah kepergian dokter itu, aku melirik ke arah Lina dengan rasa penasaran, “Bagaimana bisa kau mengenalnya? Bukannya dokter itu spesialis penyakit dalam, ya?”

Lina agak ragu-ragu saat akan menjawabnya, “A, ah! I, itu karena nenekku dulu selalu memeriksakan penyakitnya disini. Dan sekarang, keadaannya perlahan-lahan mulai membaik.”

Saat itu, aku belum mengetahuinya, untuk pertama kalinya, Lina berbohong kepadaku.

“Nah, ibu dan ayah mau pulang, ya! istirahatlah dengan tenang dan jangan memikirkan apapun.” Ibuku mencium keningku lalu melambaikan tangan ke arahku dan berjalan keluar ruangan bersama ayahku.

“Oh iya, Lina.” Panggil ayahku, “Apa kau masih disini? Jika iya, tolong rawat putra kami, ya!”

“Apa kau tidak pulang juga?”

Lina tersenyum kecil, “Aku akan bersamamu sampai Fauzi dan Arya datang menjengukmu. Lagian, aku juga sudah meminta izin kepada kakakku.” Lina berdiri lalu mengambil sebuah plastik berisi apel, “Apa kau lapar? Aku akan mengupaskannya untukmu. Ini pemberian dariku.”

Aku mengangguk pelan. Lina kemudian mengupaskan buah apel untukku lalu memberikannya kepadaku. Di sela-sela waktu ini, hanya ada keheningan diantara kami.

Lina akhirnya mulai berbicara, “Kau benar-benar tidak akan mengikuti karyawisata, ya?” tanyanya dengan pelan sambil mengupaskan apel untukku.

Aku menghela napas, “Mau bagaimana lagi? Keadaanku semakin parah dan aku juga tidak ingin tiba-tiba pingsan saat karyawisata.”

“Apa... apa kau memikirkan tentangku akhir-akhir ini?” tanyanya dengan pelan, “Jujur saja, kau tidak perlu membohongiku. Setelah mendengar penjelasan dokter tadi, aku merasa kau memikirkan tentang masalahku, kan?”

“Kalau iya, memangnya kenapa?”

Lina tertunduk lesu, “Sudah kuduga, ini semua memanglah salahku.” Katanya dengan pelan, “Seandainya kau tidak pernah bertemu denganku, kau tidak akan mengalami hal ini.”

Aku tersenyum ke arahnya sambil mengelus kepalanya, “Dengar, ini semua bukan salahmu. Aku sendiri yang memutuskan untuk ikut campur dalam masalahmu. Justru jika aku tidak bertemu denganmu, mungkin sampai saat ini aku akan selalu menyendiri dan tidak akan punya teman bicara lagi.”

“Ardi, sebenarnya aku—“ saat Lina akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba pintu kamarku terbuka.

“Yo, Ardi, apa kau sudah merasa lebih baik?” Fauzi masuk kemudian disusul oleh Arya masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Ah, kalian sedang bermesraan, ya?”

“Ardi, ini rumah sakit, dilarang bermesraan.” Komentar Arya.

Aku segera menarik tanganku sedangkan Lina dengan cepat membuang muka dariku.

“Ketuk pintu dulu sebelum masuk!” jawabku dengan kesal, “Dan juga, kami berdua tidak bermesraan! Jangan membuatnya menjadi salah paham!”

“Ah, kami juga membawa seseorang kesini.” Fauzi berjalan keluar kamar lalu kembali masuk sambil menarik lengan seseorang. Seorang gadis yang sangat kukenal muncul dari luar, “Kenapa kau tidak langsung masuk saja?”

Gadis itu adalah Risa, “Jangan menarikku!” Katanya dengan kesal sambil berusaha melepaskan diri dari Fauzi, “Aku bisa berjalan sendiri!”

Risa, dia adalah gadis yang cukup populer di kelas. Aku dan dia dulu sangatlah dekat sebelum aku dibenci oleh semua orang. Sama seperti Lina dan Fauzi di masa lalu, dulu jika kami selalu mengobrol berdua, banyak siswa yang mengatakan jika kami adalah pasangan yang serasi. Namun, sejak aku merubah sikapku, Risa mulai menjauh dariku. Aku tahu dia mulai menjauh karena dia hanyalah tipe perempuan yang diperhatikan orang lain, makanya dia selalu berusaha dekat-dekat denganku.

Fauzi dan Arya berjalan mendekatiku lalu memberikanku sebuah kantong plastik yang di dalamnya terdapat sebuah gorengan.

“Ini, makanlah.” Kata Fauzi sambil menyodorkan kantong plastik itu ke arahku.

Aku menatapnya dengan masam, “Kalian gila?! Orang sakit malah diberi gorengan? Kalian pasti bercanda, kan?!”

Arya menatapku dengan heran, “Memangnya tidak boleh, ya?”

Risa yang sedaritadi bersandar di pojok kamar kini mendekat ke arah kami, “Kalian bodoh atau apa? Orang sakit tentu saja diberikan buah.” Risa menyodorkan kantong plastik yang berisi buah apel.

Aku segera menerimanya, “Te, terima kasih. Tapi Risa, aku baru saja diberi apel oleh Lina, kurasa terlalu banyak buah apel disini.”

Risa menatap Lina dengan kesal, “Sejak kapan kau dekat dengan gadis ini? Gadis ini hanya ingin mempermainkanmu! Kusarankan lebih baik kau menjauh darinya.”

Lina berdiri lalu menghela napas, “Aku masih lebih baik hanya karena sering mengganggu Ardi. Daripada seperti seseorang yang awalnya dekat tapi setelah Ardi merubah sifatnya tiba-tiba dia menjauh.”

Lina dan Risa mulai saling berdebat satu sama lain. Kami bertiga hanya dapat menyaksikan pertengkaran mereka tanpa berkata apa-apa.

“Sudah, sudah.” Aku mencoba menenangkan mereka, “Ini di rumah sakit. Jangan bertengkar disini. Ngomong-ngomong, Risa. Kenapa kau menjengukku? Kukira kau membenciku.”

Risa kini tersenyum dengan sombongnya, “Sebenarnya aku tidak ingin menjengukmu, tapi kedua orang yang disana memaksaku untuk ikut bersama mereka.”

Arya menatapnya dengan kesal, “Bukannya kau sendiri yang memaksa ikut? Saat aku dan Fauzi merencanakan untuk menjenguk Ardi, kau yang menguping kami berdua kemudian memaksa untuk ikut, kan?”

Wajah Risa kemudian memerah, “Bo, bodoh! Mana mungkin aku meminta untuk ikut dengan kalian!” Risa kemudian menatapku, “Kau tidak percaya dengan perkataan Arya, kan?”

Lihat selengkapnya