Karyawisata. Jika seorang siswa mendengar kata itu, mereka selalu menjadi antusias terhadapnya. Tidak ada siswa di dunia ini yang merasa kegiatan karyawisata adalah hal yang sia-sia. Mereka semua selalu menantikan perjalanan karyawisata itu.
Yah, seharusnya semua orang begitu, kecuali aku.
Saat ini, aku menatap ke arah luar kaca mobil yang dikendarai oleh ayahku. Karena para guru tidak mengizinkanku ikut kegiatan karyawisata karena penyakitku, jadi kedua orangtuaku memutuskan untuk mengantarkanku ke tempat kegiatan karyawisata sekolah.
Pada umumnya, saat ini jika aku dapat hidup dengan normal, mungkin aku sekarang sedang duduk di dalam bus dan saling bercanda dengan teman-teman sekelasku.
Aku hanya dapat mendesah dengan pelan setiap kali mengingat hal itu. Aku saat ini sangat ingin melakukan perjalanan karyawisata sekolah yang normal. Mengobrol dan bercanda di dalam bus, bermain-main dengan yang lainnya saat tiba di hotel, dan masih banyak hal yang ingin kulakukan.
“Jangan mengeluh.” Ucap Ayahku yang sepertinya merasa terganggu melihatku yang menatap ke arah luar jendela mobil dengan tatapan kosong, “Kau seharusnya bersyukur karena ayah dan ibumu dapat mengantarmu ke tempat karyawisata sekolahmu. Setidaknya, kau masih bisa bertemu dengan mereka disana, bukan?”
“Tapi ini rasanya berbeda.” Aku dengan cepat segera menyanggahnya, “Aku ingin mengobrol bersama dengan yang lainnya di dalam bus. Ini malah terasa seperti perjalanan keluarga.”
Yah, meski saat itu aku tidak pingsan di sekolah, di dalam bus aku tetap saja akan duduk berdiam diri tanpa berbicara dengan siapapun, kecuali Fauzi dan Arya yang sepertinya akan selalu mengajakku berbicara.
Ibuku kemudian ikut berbicara, “Tidak apa-apa, bukan? Kita dapat melakukan perjalanan keluarga dan karyawisatamu menjadi satu kegiatan. Kapan lagi kita bisa seperti ini?”
“Itu benar! Tenang saja, ibu dan ayah tidak akan mengikutimu selama kegiatan karyawisatamu. Kau bisa menumpang di kamar temanmu dan bercanda dengan mereka semua. Untungnya, kita dapat memesan kamar hotel yang sama dengan hotel tempat sekolahmu menginap.”
Tapi tetap saja rasanya aneh. Seorang siswa mengikuti karyawisata bersama dengan keluarganya? Bukannya ini terdengar lucu? Tapi, setidaknya aku masih bisa bertemu dengan Lina dan yang lainnya. Mungkin jika dulu aku tidak pernah berbicara dengan Lina, saat ini aku tidak mungkin akan mengikuti kegiatan karyawisata ini.
Karena merasa bosan, aku menyalakan ponselku untuk mengurangi rasa bosanku. Aku dikejutkan dengan banyak notifikasi pesan yang muncul dan seluruhnya berasal dari Lina.
Gadis ini! Kenapa dia mengirim pesan sebanyak ini?!
‘Hei, Ardi. Bagaimana perjalananmu?’
‘Hei, kau sudah sampai dimana?’
‘Ardi, perjalanan ini terasa sangat membosankan karena tidak ada yang mengajakku berbicara.’
‘Hei, kapan kita akan sampai di tempat tujuan? Aku sudah lelah menunggu.’
“Kenapa dia mengirimiku pesan tidak penting ini?! Padahal jelas-jelas kalau aku sekarang tepat berada di belakang bus yang dia tumpangi?!”
“Ardi! Jangan teriak-teriak di dalam mobil!” Ibuku mulai menjadi marah.
“Ma, maaf. Aku cuma merasa kesal karena sesuatu.”
Gadis ini! Benar-benar mengesalkan!
Ayahku sedikit melirik ke arahku lalu dia mulai berbicara, “Kenapa? Apa kau mendapatkan pesan dari Lina? Mungkin dia merasa rindu karena kau tidak ada disampingnya.”
“Jelas-jelas dia mau menggangguku! Mana mungkin ada seseorang yang menunjukkan rasa rindunya dengan mengirimi berbagai pesan yang tidak penting?! Apalagi dia sebenarnya sudah tahu kalau kita mengikuti bus sekolah dari belakang!”
Ayahku terkekeh mendengarnya, “Asal kau tahu saja, menebak pikiran seorang gadis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Mungkin saja caranya mengekspresikan rasa rindunya seperti itu, bukan? Setiap orang memiliki sifat yang berbeda saat menunjukkan rasa rindunya.”
Aku hanya dapat tertawa masam mendengarnya.
Perjalanan karyawisata ini akan membutuhkan waktu yang lama hingga tiba di tempat tujuan. Tujuan karyawisata sekolahku kali ini adalah kota Denpasar, Bali. Ini akan terasa sangat lama apalagi mengingat tidak ada teman untuk diajak bercanda kecuali kedua orangtuaku.
Setelah melakukan perjalanan cukup panjang, kami akhirnya tiba di hotel tempat sekolahku menginap pada malam harinya. Aku melihat dari balik kaca mobil seluruh siswa satu per satu turun dari bus mereka masing-masing.
Ayahku memberhentikan mobil tepat di belakang bus yang sedang menurunkan rombongan siswa sekolahku, “Nah, Ardi. Kau bisa turun dan bawalah barang-barangmu terlebih dahulu. Sapalah teman-temanmu, ayah dan ibu akan memakirkan mobil ini lalu segera melakukan check-in kamar.”
Aku menatap ke arah rombongan siswa yang sedang mengambil tas mereka dari dalam bagasi bus. Aku merasa ragu untuk keluar dari dalam mobil sekarang, “Mungkin nanti saja.” Jawabku dengan pelan.
Aku melihat sesosok gadis yang sangat kukenal turun dari dalam bus sambil menggendong tas miliknya. Gadis itu melirik ke arah mobil kami sembari tersenyum. Gadis itu tak lain dan tak bukan adalah Lina.
“Lihat, itu Lina, bukan?” ibuku menunjuk ke arah Lina yang sedang menatap ke arah mobil kami, “Wah, dia sangat manis mengenakan pakaian santai seperti itu.”
Lina berjalan mendekati mobil kami lalu dia mengetuk kaca jendela yang berada tepat di sampingku.
Dengan rasa malas, aku segera membuka kaca jendelaku lalu menatapnya dengan kesal, “Apa? Apa maumu kesini?” tanyaku dengan dingin, “Aku masih merasa kesal karena kau mengirimiku pesan yang sangat tidak penting saat perjalanan tadi.”
Lina memasang wajah cemberut, “Jangan jahat begitu, dong! Aku benar-benar merasa kesepian tadi!” dia kini menoleh ke arah kedua orangtuaku secara bergantian, “Ah, selamat malam, paman, tante.”
Kedua orangtuaku mengangguk sebagai balasan.
Kini giliran ayahku yang kembali berbicara, “Ardi, cepatlah keluar. Teman-temanmu sudah menunggumu disana. Lihat, Lina saja sampai harus menjemputmu.”
“Baik, aku akan segera keluar.”
Dengan perasaan enggan, aku mengambil tasku lalu keluar dari mobil. Tepat sesaat setelah aku keluar dari mobil, aku dapat merasakan tatapan yang tidak mengenakkan dari para siswa lainnya yang tertuju ke arahku.
Inilah yang membuatku malas keluar dari dalam mobil.
“Hei, kenapa kau melamun?” Lina melambaikan tangan kanannya tepat di depanku, “Ayo! Fauzi dan yang lainnya sudah menunggumu!”
Aku mengangguk dengan pelan, “I, iya.” Aku segera berjalan di belakang Lina sambil berusaha mengabaikan setiap tatapan yang tertuju ke arahku.
“Lina!” Risa yang melihat kedatangan kami berdua segera mendekat lalu memeluk Lina, “Kau kemana saja? Aku daritadi menunggumu turun dari dalam bus.”
“Ah, maaf. Tadi aku menjemput Ardi.”
Aku sedikit terkejut saat melihat kedekatan mereka, “Tunggu?! Sejak kapan kalian menjadi akrab?! Seingatku, kalian berdua selalu bertengkar saat bertemu, bukan?”
Mereka berdua kemudian menatapku dengan heran.
“Apa maksudmu? Bukannya kami berdua selalu akrab?”
“Itu benar, Ardi. Jangan mencoba-coba untuk merusak hubungan pertemanan kami!”
“Kalian berdua kenapa, sih?”
Helen yang melihatku kebingungan segera mendekat ke arahku lalu kemudian dia berbisik, “Mereka berdua berjanji untuk melakukan gencatan senjata selama kegiatan karyawisata berlangsung.”
“Hah?! Gencatan senjata?! Ini pasti hanya lelucon, bukan?”
“Kalian berempat, bisakah kalian lebih tenang sedikit?” Arya tampak kesal saat melihat keributan yang kami buat, “Setelah ini akan ada pembagian kunci kamar. Jadi, tolong tenanglah sedikit.”
Fauzi tertawa pelan, “Hahaha, sudahlah, Arya. Mereka semua sangat bersemangat karena ini adalah kegiatan sekali seumur hidup. Harusnya kau merasa lebih bersemangat lagi, dong!” Fauzi kemudian berjalan ke arahku, “Maaf, Ardi. Arya sepertinya sudah merasa kelelahan karena perjalanan panjang ini.”
“Yah, aku sudah mengetahuinya dari raut wajah Arya yang sepertinya sedang sekarat itu.”
“Mau bagaimana lagi.”Helen mulai ikut berbicara, “Sejak berangkat tadi, dia selalu merasa mual dan untungnya dia tidak muntah selama perjalanan tadi.”
“Ah, aku bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama perjalanan.”
“Baiklah anak-anak! Aku mohon untuk meminta perhatian kalian!” seorang guru mengeluarkan suaranya yang lantang hingga terdengar dari kejauhan, “Setelah ini akan ada pembagian kamar sesuai seperti yang kalian inginkan. Ingat! Setelah ini kalian harus segera beristirahat! Tidak boleh ada kegiatan apapun! Kegiatan yang sebenarnya akan dimulai keesokan harinya!”
“Baik, pak!” seluruh siswa menjawabnya dengan serentak.
“Ardi, Arya. Biar aku yang mengambilkan kunci kamar kita. Kalian berdua tunggu disini saja.”
“Ah, aku juga ikut!”
Fauzi dan Risa bergegas pergi untuk mengambil kunci kamar.
“Ngomong-ngomong, Ardi.” Helen mulai membuka pembicaraan kembali, “Bagaimana bisa kau satu kamar dengan Arya dan Fauzi? Bukannya sebelumnya kau membatalkan untuk ikut perjalanan ini dan memutuskan untuk pergi bersama kedua orangtuamu?”
“Yah itu sebenarnya—“
“Karena kamarku hanya ada aku dan Fauzi saja, Ardi diperbolehkan untuk menumpang di kamar kami. Lagipula, sebenarnya dia memang akan tidur bersama kami.”
“Hei, kenapa kau menyelaku?”
“Eh?” Arya menatapku dengan kebingungan, “Memangnya tidak boleh?”
“Sudahlah, lupakan saja.”
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Fauzi dan Risa kembali dengan membawa kunci kamar. Kami berenam kemudian berpisah lalu pergi masuk ke dalam hotel.
Kamar untuk murid laki-laki berada di lantai tiga, sedangkan untuk murid perempuan berada di lantai dua. Kami bertiga akhirnya tiba di kamar kami. Setelah melakukan perjuangan menaiki tangga sampai lantai tiga, kami tiba di kamar dengan napas tersengal-sengal.
“Gila! Bagaimana bisa antrian lift sampai sepanjang itu?!” Arya membaringkan tubuhnya yang kelelahan itu di atas kasur yang empuk, “Aku merasa tidak ingin turun lagi dari lantai ini!”
Fauzi meletakkan tasnya lalu dia duduk di atas kursi sambil menyeka keringatnya, “Kau benar, Arya. Tapi itu wajar saja mengingat jumlah siswa angkatan kita yang banyak. Belum lagi, ada tamu hotel selain kita yang menginap disini.” Fauzi kini berganti melirik ke arahku, “Tapi, Ardi. Bagaimana bisa kau tampak tidak kelelahan setelah menaiki tangga tadi?”
“Oh, aku menaikinya dengan santai. Setiap beberapa anak tangga yang kulangkahi, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Salah kalian sendiri terlalu terburu-buru menaiki anak tangga itu.”
Yah, aku melakukannya dengan pelan-pelan karena tidak ingin membuat diriku sendiri menjadi kelelahan. Jika aku kelelahan karena menaiki anak tangga tadi, bisa-bisa aku akan pingsan lagi.
“Pantas saja kau selalu tertinggal di belakang kami.” Gerutu Arya.
“Ngomong-ngomong, apa kalian sudah melihat sisi lain dari hotel ini?”
Aku dan Arya saling bertukar pandang kemudian membalasnya secara bersamaan, “Sisi lain?”
“Itu benar.” Jawab Fauzi sambil mengangguk, “Jika kalian mau melihatnya, kita harus turun ke lantai dasar.”
Aku dan Arya langsung memancarkan ekspresi kelelahan.
“Kau pasti bercanda. Aku sudah tidak kuat berjalan lagi! Aku ingin beristirahat!”
“Maaf, Fauzi. Aku juga setuju dengan Arya. Aku sudah lelah.”