Tanggal 2 Januari, semenjak menyaksikan kembang api bersama, aku belum bertemu dengan Lina kembali. Aku tidak diperbolehkan keluar dari rumah oleh kedua orangtuaku karena akhir-akhir ini keadaanku semakin memburuk. Di sisi lain, Lina tidak bisa mengunjungi rumahku karena dia kemarin baru saja pergi berwisata bersama dengan keluarganya. Yah, pada akhirnya kami hanya dapat bertemu melalui video call saja.
Berdiam diri di rumah ternyata sangat membosankan. Apalagi, sejak pagi tadi aku hanya memainkan gim di ponselku. pesanku dengan Lina juga belum dibalas olehnya, sepertinya dia sedang bersenang-senang bersama keluarganya.
“Ardi! Apa ibu boleh masuk?” ibuku mengetuk pintu kamarku dengan pelan.
“Iya!” seruku dari dalam kamar.
“Ya ampun, kenapa kamarmu berantakan sekali?” itulah hal yang pertama ibuku katakan setelah melihat keadaan kamarku yang berantakan, “Cepat bereskan!”
“Untuk apa aku bereskan? Ngomong-ngomong, mulai kapan aku akan dirawat di rumah sakitnya? Apa ibu juga sudah memberitahukan ke sekolah tentang cuti sekolahku?”
“Kita akan berangkat sore ini, dan ibu sudah memberitahukannya ke sekolah.” Ibuku kemudian duduk di tepi ranjangku, “Ardi, apa kau sudah mengatakan keadaanmu pada teman-temanmu?”
Aku segera menaruh ponselku tepat di sebelahku, aku tahu sepertinya ibuku ingin berbicara serius denganku, “Tidak, aku sama sekali tidak mengatakan keadaanku pada mereka.” Kataku sambil memalingkan wajahku, “Yang mengetahuinya hanya Lina saja.” kataku dengan pelan.
“Lina, ya?” ibuku terdiam sejenak, “Gadis itu sangat baik padamu, bukan? Apa sebenarnya dia baik-baik saja setelah mengetahui keadaanmu?”
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak, dia tidak baik-baik saja. Kelihatannya, dialah yang paling menderita daripada diriku sendiri.”
“Begitu, ya?” ibuku menghela napas panjang kemudian berdiri, “Kemasi barang-barangmu. Kita akan bersiap-siap pergi ke rumah sakit.” Ibuku kemudian pergi meninggalkan kamarku.
Aku segera merapikan kamarku untuk yang terakhir kalinya. Sore harinya, setelah mengemasi barang-barangku, aku segera memasukkannya ke dalam bagasi mobil yang terparkir di depan rumahku.
“Sini, biar ayah bantu.” Ayahku membawakan sebuah tas milikku lalu memasukkannya ke dalam mobil, “Apa semua barangmu sudah dibawa semua?”
“Mana mungkin aku membawa semua barang-barangku, kan? Aku akan tinggal di rumah sakit, bukan sedang pindahan.”
Ayahku tersenyum mendengarnya, “Kau benar, cepat masuk ke dalam mobil, ibumu sudah di dalam.”
Aku mengangguk dengan pelan. Sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, aku memandang ke arah rumahku lalu mengenang kembali hal-hal yang telah terjadi.
Lucu juga, ya. Tak kusangka Lina saat itu mengunjungi rumahku dan makan bersama keluargaku seakan-akan hal itu adalah hal biasa. Yah, mungkin itu adalah kenangan yang indah tentang rumah ini. Mungkin, ini adalah terakhir kalinya aku melihat rumahku sendiri. Selamat tinggal, rumahku.
Aku sama sekali tak menyangka mengenang keseharianku di rumahku sendiri ternyata terasa sangat emosional.
Setelah itu, mobil pun akhir mulai bergerak meninggalkan rumah kami. Setibanya di rumah sakit, aku melakukan berbagai pemeriksaan dan akhirnya kini aku sedang berbaring di ranjang kamar rumah sakit. Karena malam hari telah tiba dan untuk saat ini pemeriksaan terhadap diriku sudah selesai, aku akhirnya dapat membuka ponselku.
Aku melihat terdapat banyak pesan balasan dari Lina yang menanyakan tentang keadaanku. Aku segera membacanya satu per satu dan sesekali aku tersenyum karena merasa senang ada seorang gadis yang mengkhawatirkanku.
‘Ardi, apa boleh besok aku menjengukmu? Besok adalah hari pertama untuk semester baru, jadi sekolah memulangkan siswanya lebih awal.’
‘Boleh saja, tapi jangan mengajak siapapun. Aku tidak ingin siapapun tahu kalau aku sedang dirawat di rumah sakit.’
Keesokan harinya, Lina datang menjengukku dengan membawa sekantong plastik berisi beberapa buah apel. Dia kemudian meletakkannya di meja yang berada di sebelahku.
“Jadi, bagaimana keadaanmu? Apa memang kau harus menginap selama sebulan penuh disini? Kulihat-lihat, sepertinya kau masih tampak sangat bersemangat.”
“Yah, begitulah. Pada awalnya aku meminta untuk dapat bersekolah lagi walaupun hanya beberapa hari. Tapi, dokter itu melarangku. Dia berkata bahwa keadaanku memang tampak normal dan sehat, namun sebenarnya semakin hari penyakitku akan semakin parah. Dokter itu khawatir jika aku akan pingsan di sekolah lagi sama seperti saat itu.”
“Lalu? Apa penyakitmu memang benar-benar tidak dapat disembuhkan?” Lina mengambil sebuah kursi kecil lalu duduk di sebelahku.
“Bukan berarti penyakitku tidak dapat disembuhkan, hanya saja....” aku merasa agak ragu untuk mengatakannya, “Penyakitku dapat disembuhkan jika ada seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untukku. Tapi tetap saja, meski ada yang mau mendonorkan jantungnya untukku, persentase keberhasilan operasinya sangat kecil. Bahkan dokter saja mengatakan kalau jika operasinya berhasil mungkin itu adalah sebuah keajaiban. Tapi.....” Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat.
“Tapi kenapa?”
“Aku tidak bisa menerima donor jantung itu dengan mudah. Lebih baik aku mati daripada seseorang harus mengorbankan dirinya demi seseorang sepertiku—“
Plakkk—
Wajahku tiba-tiba terasa sakit, sebuah tamparan cukup keras mendarat tepat di wajahku.
“E, eh? Ke, kenapa kau menamparku?!”
Lina tampak menundukkan wajahnya, dia kemudian menatapku dengan ekspresi penuh kemarahan, “Kau bodoh! Jangan berkata seperti itu! Jangan mengatakan seolah-olah kau tidak berhak untuk hidup di dunia ini! Seseorang yang mengorbankan dirinya demi dirimu berarti orang itu menganggapmu layak untuk hidup!” Lina kemudian memelankan suaranya, “Tolong, Ardi. Jangan berkata seperti itu lagi. Itu semua membuatku hatiku terasa sangat sakit.”
“Ma, maaf.”
Keheningan terjadi diantara kami berdua. Aku mulai sadar akan ucapanku barusan sepertinya sangat menyakitkan untuk didengar oleh Lina. Aku segera memulai pembicaraan ini untuk memecah kecanggungan ini.
“A, ah, Lina. Bisa kau ceritakan perjalanan wisatamu bersama keluargamu?”
Ekspresi wajah Lina yang semula tampak muram kini berubah menjadi cerah, “Ah, ba, baiklah. Akan kukupaskan apel untukmu juga.”
Baguslah, akhirnya dia mulai menjadi seperti biasanya.
Lina kemudian menceritakan perjalanan wisatanya dengan penuh semangat. Aku yang mendengarkannya sesekali hanya dapat tersenyum.
“Oh iya, dimana orangtuamu? Kenapa mereka tidak ada disini?”
“Ayahku bekerja sedangkan ibuku sedang membereskan rumah. Mana mungkin mereka harus menemaniku setiap saat, bukan? Semalam saja, aku tidur disini sendirian.”
“Eh?! Ka, kau tidak takut tidur di rumah sakit sendirian?!”
“Hah?! kenapa aku harus takut?” aku mulai sedikit kesal, “Aku tidak takut dengan yang namanya hantu. Seumur hidup, aku sama sekali belum pernah melihatnya.”
“Benarkah? Tapi setahuku, rumah sakit ini terkenal karena berhantu, lho!” Lina mengatakannya dengan penuh keyakinan.
“Berhantu?”
Lina mengangguk, “Benar, berhantu. Dulu, ada pasien yang pernah dirawat disini karena terlibat dengan kecelakaan hebat. Karena kebetulan saat itu tidak ada dokter yang bisa menangani pasien itu, akhirnya dia mati disini. Sesaat sebelum kematiannya, dia mengutuk rumah sakit ini dan bersumpah akan menghantui rumah sakit ini untuk selamanya.”
Aku mendengarnya dengan penuh seksama dan sesekali aku meneguk ludah karena aku mulai sedikit merasakan ketakutan.
“Ma, mana mungkin itu benar, bukan?”
“Dulu, ada seorang pasien yang sedang tidur di kamarnya seorang diri.” Lina mengabaikan pertanyaanku dan terus bercerita, “Saat tengah malam tiba, dia mulai merasakan keanehan. Televisi yang berada di kamarnya tiba-tiba menyala, keran air kamar mandinya tiba-tiba terbuka. Dia juga dikejutkan dengan sosok bayangan yang berdiri di balkon kamarnya. Saat dia mendekat untuk memeriksanya.....”
Aku mulai bergidik ketakutan.
“Dan Uwaaaaa!!!” Lina berteriak sembari menggenggam kedua pundakku sehingga membuatku sangat terkejut.
“Uwaaa!!”
“Hahahaha, lihat, ekspresi terkejutmu sangat lucu.” Lina tertawa terbahak-bahak setelah melihat responku, “Ternyata kau penakut, ya?”
“Bodoh! Aku tidak penakut! Aku hanya terkejut karena kau tiba-tiba menyentuhku lalu berteriak sekencang itu!” jawabku dengan kesal, “Jadi, tadi hanya cerita karanganmu?”
Lina masih terus tertawa, “Hahahaha, entahlah, coba tebak saja.” katanya dengan nada mengejek, “Aku tidak pernah menyangka seseorang yang selalu sok keren ini ternyata penakut juga.”
“Berhenti mempermainkanku! Awas saja kalau ceritamu tadi sampai terbawa ke mimpiku!”
Lina kemudian tersenyum penuh jahil ke arahku, “Bukannya dulu kau pernah bilang kalau kau suka saat kupermainkan?”
Uh— wajahnya sangat manis saat tersenyum.
“Ber, berhentilah untuk mencoba menggodaku!”
“Wah, lihat, wajahmu memerah.” Dia mulai meledekku lagi.
Aku segera memalingkan wajahku darinya, “Apa boleh buat.” Kataku dengan pelan, “Kau sangat manis saat tersenyum tadi.”
“Eh?” Kini wajah Lina ikut memerah.
Lagi-lagi, terjadi keheningan diantara kami berdua. Tapi kali ini, keheningan ini dikarenakan rasa malu-malu kami berdua.
“A, ah, sudah jam segini. Lebih baik aku pulang sebelum kedua orangtuaku mencariku.” Lina mengambil tasnya lalu berdiri untuk bersiap-siap pergi, “Sampai jumpa lagi, Ardi. Besok aku akan kesini lagi, ya!”
“Eh? Tidak usah repot-repot kesini lagi. Aku tidak ingin menyulitkanmu karena kau harus selalu menjengukku.”
Lina menggelengkan kepalanya, “Tidak, Ardi. Ini adalah keputusanku sendiri. Aku akan menjengukmu setiap hari. Karena kau adalah seseorang yang sudah mencuri hatiku, jadi aku akan selalu menemanimu untuk memastikan bahwa hatiku sudah dijaga olehmu. Sampai jumpa lagi.”
Lina segera pergi meninggalkanku yang masih terngiang-ngian dengan kata-katanya barusan.
Seseorang yang mencuri hatinya, ya?
Aku merasakan perasaan yang amat terasa bahagia. Seorang gadis yang kusukai akan selalu menemaniku hingga saat-saat terakhir.
Yah, akhir seperti ini tidak terlalu buruk, bukan?
Keesokan sore harinya, tepat sesuai janji Lina, dia kembali datang untuk menjengukku. Tidak seperti kemarin saat dia datang mengenakan pakaian kaos yang ditutupi oleh jaket, kini dia datang dengan mengenakan seragam sekolah. Tentu saja hal itu membuatku terkejut.
“Tunggu, jadi kau langsung kemari setelah pulang sekolah?” itulah komentarku ketika Lina datang menjengukku untuk kedua kalinya, “Kau kan bisa pulang terlebih dahulu, bukan?”
“Kalau aku sudah tiba di rumah, rasa malasku untuk keluar rumah akan meningkat. Jadi, aku memutuskan untuk langsung kesini.” Entah mengapa, dia mengatakannya dengan rasa penuh bangga, “Ngomong-ngomong, ada hal yang lebih penting lagi. Hari ini, wali kelasmu memberitahukan tentang dirimu yang harus cuti sekolah hingga waktu yang tidak ditentukan, tapi dia tidak mengatakan alasan kenapa kau harus cuti sekolah. Dan tentu saja, berita tentang kau yang harus cuti sekolah kini tersebar dengan cepat ke seluruh sekolah.”
“Oh....” aku membalasnya dengan rasa tidak tertarik.
“Hei, kenapa kau tidak tertarik? Yah, memang sih seluruh siswa merasa senang karena orang yang paling mereka benci sudah tidak datang ke sekolah lagi.”
“Oi, aku merasa tersinggung dengan kata-katamu barusan.”
“Kenapa? Bukannya harusnya kau merasa senang akhirnya mereka bisa melupakanmu?”