Tubuhku terasa sangat berat. Mataku sangat berat untuk dibuka. Aku merasa hanya ada kegelapan di sekitarku. Apakah aku mati? Apakah operasiku berhasil? Ataukah operasiku gagal? Semua pertanyaan itu mulai muncul dalam pikiranku.
Dengan sekuat tenaga, aku mulai berusaha membuka kedua kelopak mataku ini. Aku melihat langit-langit yang tidak kukenal. Namun setelah kuperhatikan baik-baik, itu adalah langit-langit ruang kamarku di rumah sakit.
Aku melirik ke arah kanan dan melihat kedua orangtuaku yang tertidur di sebuah kursi tepat di sebelahku. Aku kemudian segera memanggil mereka berdua, “Ayah..... ibu.....” kataku dengan suara yang pelan.
Kedua orangtuaku segera terbangun. Mereka berdua terkejut dan sesaat kemudian, mereka berdua menangis.
“Ardi!” Ibuku dengan cepat memelukku, “Syukurlah! Syukurlah kau baik-baik saja!” Aku mulai dapat merasakan air mata ibuku yang menetes mengenaiku.
“Apa.... Apa operasinya berhasil?” Aku mengatakannya dengan suara terbata-bata.
Ayahku mengangguk sambil tersenyum bahagia, “Benar, operasinya berhasil. Tapi saat operasi, kau sempat masuk dalam kondisi kritis. Untungnya, operasinya berjalan dengan lancar.”
Aku tersenyum kecil mendengarnya. Aku merasa sangat senang operasiku berjalan dengan lancar dan aku dapat memenuhi janjiku dengan Lina, “Maaf, bisa tolong ambilkan ponselku? Aku ingin memberitahu Lina tentang keadaanku.”
Kedua orangtuaku saling bertukar pandang dan tampak sedikit kebingungan.
“Dengar, Ardi.” Ibuku mulai menjawabnya, “Untuk sementara, istirahatlah dengan benar. Kau tidak boleh banyak bergerak atau melakukan aktivitas yang berlebihan.”
“Tapi aku hanya ingin memberitahukan keadaanku pada Lina.” Aku berusaha memprotesnya.
“Tidak boleh!” Ibuku tiba-tiba meninggikan suaranya, “Kau tidak diperbolehkan menyentuh ponselmu itu atau melakukan kegiatan apapun kecuali saat ke kamar kecil!”
“Tapi—“
“Tidak ada kata tapi lagi—“
“Wah, sepertinya dia sudah bangun, ya?”
Ibuku yang memarahiku kini tiba-tiba menjadi diam. Aku dan ibuku kemudian menoleh ke arah pintu masuk kamar dan melihat dokter dan seorang perawat berdiri di depan pintu. Mereka berdua sepertinya melihat pertengkaran kecil kami.
“Maaf. Aku yang memanggil mereka kesini.” Ayahku mengatakannya sambil menunjukkan bel yang digunakan untuk memanggil perawat, “Kupikir kita harus segera memberitahukannya pada dokter.”
Dokter itu melangkah maju menuju ke arahku, “Jadi? Bagaimana keadaanmu? Apa kau merasakan sakit di dadamu?” Dokter itu mengatakannya dengan lembut.
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak. Aku tidak merasakan apapun. Oh iya, dok.” Aku mulai teringat dengan larangan ibuku tadi, “Apa saya diperbolehkan untuk menggunakan ponsel saya walaupun sebentar? Saya ingin memberitahukan keadaan saya pada pacar saya.”
“Pacarmu namanya Lina, bukan?”
“I, iya. Memangnya kenapa?”
Dokter itu mengambil napas dalam-dalam kemudian melanjutkannya, “Dia sudah tiada.”
“A, apa maksudnya, dok? A, anda pasti bercanda, kan?”
“Dokter!” Ibuku mulai memprotes, “Tolong jangan memberitahukannya terlebih dahulu! Dia baru saja pulih pasca operasi!”
“I, ibu juga? Se, sebenarnya apa yang sudah terjadi disini?” Aku menatap mereka semua secara bergantian dengan ekspresi kebingungan. Lina sudah tiada? Apa maksudnya itu?
“Maaf, bu.” Dokter itu menundukkan kepalanya, “Ini adalah permintaan anak itu. Dan juga, keadaan Ardi sudah pulih dan dapat mendengarkan berita ini.” Dokter itu kembali menatap ke arahku, “Ardi, dengar. Lina sudah tiada. Dia adalah orang yang mendonorkan jantungnya padamu.”
Aku hanya bisa tertawa masam dan memasang ekspresi tidak percaya, “Bohong, kan? Mana mungkin dia yang mendonorkannya untukku, kan?” Seluruh orang yang berada di dalam ruangan ini hanya terdiam tanpa menjawabnya, “Hei, ini bohong, kan? I, ini tidak nyata, kan? Eh?” Aku melihat sebuah tetesan air jatuh dan mengenai tanganku. Aku mulai merasakan air mataku jatuh secara perlahan-lahan, “He, hei. Ini bohong, kan? Tolong katakan padaku.” Kataku dengan air mata yang jatuh secara perlahan-lahan.
Ibuku mendekat lalu memberikan sebuah amplop yang berisi kertas yang terlipat untukku, “Bacalah.” Ibuku kemudian menatap ke arah ayah dan dokter serta perawatnya itu lalu mereka mengangguk secara bersamaan dan setelah itu mereka semua pergi meninggalkanku seorang diri.
Aku kemudian segera membuka kertas itu lalu membacanya dengan pelan.
Hai Ardi.
Bagaimana kabarmu? Jika kau membaca surat ini berarti aku sudah tidak ada di dunia ini dan operasimu telah berjalan dengan lancar.
Rasanya aneh juga menulis surat untuk orang yang baru saja menghabiskan waktu bersamaku.
Pertama-tama, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Dasar kau bodoh!
Kau orang yang bodoh, tidak mudah peka, dan tidak bisa memahami perasaan orang lain.
Apa kau masih penasaran kenapa aku bisa mengetahui tentang penyakitmu? Apa kau juga penasaran kenapa aku mau membantumu?
Jika tidak, kau bisa abaikan hal yang akan kuceritakan ini. Dan jika iya, aku akan merasa sangat senang bila kau membaca cerita dariku.
Mungkin kau tidak ingat, tapi pertama kali kita bertemu adalah saat kelas 9 SMP. Tepat beberapa hari setelah insiden kecilku terjadi.
Saat itu, aku membolos dan tidak masuk sekolah. Karena aku tidak ingin kedua orangtuaku memarahiku, aku bersembunyi di sebuah taman. Saat itu, aku merasa sangat takut untuk kembali ke sekolah. Aku takut, aku takut dengan tatapan dan perlakuan mereka padaku.
Dan juga, aku memiliki sebuah penyakit. Aku tidak bisa menjelaskannya secara pasti, tapi karena penyakitku ini, aku sempat merasa ragu apakah aku pantas untuk bahagia. Aku merasa hidupku dipenuhi oleh kesengsaraan. Pergi ke sekolah pun terasa berat untukku, apalagi aku harus berada di UKS setiap saat karena penyakitku ini. Sejak kecil, karena penyakitku ini, aku sering keluar masuk rumah sakit. Dan saat kelas 8 itulah, dokter mengatakan umurku hanya tersisa tiga tahun lagi, tepatnya hanya tersisa hingga bulan Mei saat kelas dua SMA.
Saat aku terduduk di bangku taman dengan perasaan sedih, kau kemudian datang dan mendekatiku. Pada awalnya aku berpikir, Siapa kau ini? Kenapa kau bisa-bisanya sok akrab denganku? Begitulah aku berpikir tentangmu.
Tapi kau dengan lembut menanyakan tentang masalahku dan entah mengapa, aku mau menceritakan masalahku padamu. Yah, meski aku menceritakannya dengan tidak lengkap. Dan ketika aku menceritakannya, kau memberikan beberapa nasehat untukku. Aku masih ingat dengan jelas kata-katamu saat itu.
“Abaikan saja mereka dan teruslah melangkah maju! Jika kau merasa tidak ingin bertemu dengan mereka lagi, buatlah awal yang baru lagi.” Kau mengatakannya dengan penuh semangat.
Dan kau tahu apa yang membuat hatiku merasa tenang? Kau berkata, “Seandainya aku satu sekolah denganmu, aku pasti tidak akan membiarkanmu sendirian! Jadi, untuk saat ini, majulah! Abaikan segala hal yang membuatmu takut!” Kau mengatakannya sambil tersenyum.