"Sampai ketemu ya," ucap Budi di ujung telpon. Begitu panggilan diakhiri, saat itu pula Ana berjingkrak kegirangan. Tidak lama lagi ia akan bertemu Budi di tempat olahraga dekat rumahnya.
"Gue tahu lo udah lama jomblo, tapi gak gini juga kali, Na!" protes Muti yang sedari tadi menatap jijik pada sahabatnya yang tak henti salah tingkah selama bicara dengan Budi.
"Biarin! ini namanya butterfly era! masa gitu aja lo gak tau?" Ana balik protes sambil mematut penampilannya yang terlihat sporty dengan celana jogger dan kaus pendek pas badan lengkap dengan sniker di depan cermin. Muti hanya bisa menghela napas. Adalah sebuah topi warna hitam yang Ana ambil secepat kilat dari tempatnya dipajang.
"Plis jangan yang itu! lo boleh pake barang gue yang mana aja asal jangan yang itu!" seketika Muti bangkit berusaha meraih topi favoritnya tapi gagal. Ana terlalu sulit untuk Muti lawan.
"Pelit banget sih lo! sekali ini aja. Siapa tau topi ini bawa keberuntungan," dalih Ana sambil tetap memakai topi itu tanpa rasa bersalah. Tak peduli dimana mereka berada, di kamar Muti sekalipun Ana tetap mendominasi dan tak pernah mau kalah. Tak banyak yang bisa Muti lakukan selain membiarkan Ana berlaku semaunya. Bukankah itu yang harus dilakukan jika Muti memang menyayangi Ana?
"Gue duluan. Nanti lo nyusul ya! perhatiin gue dari jauh, tapi jangan kejauhan. Jangan terlalu deket juga, nanti ketahuan lagi!" cerocos Ana di depan pagar rumah Muti tepat sebelum ia pergi ke lapangan olahraga. Kali ini Muti tidak menimpali kecuali dengan anggukan dengan kedua tangan memegangi pagar rumah untuk kemudian ia tutup rapat kembali.
Hari ini Ana membuat janji temu dengan Budi di lapangan olahraga. Tidak, Ana tidak rajin olahraga sebelumnya. Ini hanya karena ia ingin bertemu dengan Budi saja. Itu sebabnya sebelum pergi Ana mendatangi Muti dulu untuk memastikan bahwa penampilannya cukup meyakinkan sebagai orang yang juga rajin olahraga seperti yang ia katakan pada Budi sebelumnya. Sedangkan Budi memang rutin lari pagi di hari Minggu. Maka disinilah Ana, baru beberapa menit berlari kecil saja sudah ngos-ngosan. Bahkan ia lupa pemanasan dan peregangan otot terlebih dulu. Jika terus dipaksakan, mungkin Ana akan merasakan sakit kaki usai olahraga dadakan ini. Sudah lima belas menit Ana mengitari lapangan yang ramai ini, tapi ia belum berhasil bertemu dengan Budi yang bahkan tidak membalas pesannya sejak panggilan terakhir mereka. Frustasi tak kunjung bertemu Budi dengan perut kosong, akhirnya Ana melipir ke barisan para pedagang yang menjajakan berbagai makanan disana.
Dua bapau hangat dengan isian ayam pedas jadi pilihan Ana. Baru beberapa gigit, lidahnya terasa terbakar dan membuatnya cepat-cepat membeli air putih dan susu lalu meneguknya hingga setengah kenyang. Dua puluh menit kemudian tangan Ana sudah penuh dengan sebungkus cakwe, nasi bakar, burger anak SD, dan beberapa benda lucu yang ia beli secara impulsif.
"Ana?" seorang pria bertubuh tinggi membuat Ana terpaku. Karena perbedaan tinggi yang cukup jauh, pria itu hingga menghalangi sorot matahari ke wajah Ana. Seketika pandangan Ana menjadi gelap, seketika Ana memincingkan mata berusaha mengenali pria di hadapannya.
"Yah, lo udah jajan duluan. Tadinya gue mau ngajakin lo ke tukang bubur ayam langganan gue," kata pria itu. Ana terkesiap dan melanjutkan mengunyah sosis bakar yang baru ia lahap. Kini Ana yakin itu adalah Budi.
"Bubur? mau dong!" seru Ana.
"Terus semua makanan ini gimana?" tanya Budi. Ana baru sadar sebanyak apa yang sudah ia beli.
"Ini.. bisa gue makan di rumah ko," kata Ana seraya menahan malu. Lalu Ana mengikuti Budi ke tempat yang Budi maksud. Tempatnya sedikit menjauh dari lapangan itu. Disana sudah ramai yang sedang menyantap bubur dan beberapa orang antre untuk membawanya pulang.