Sejak siang hari, Ana sudah mulai sibuk di dapur. Meramu tepung terigu, gula, mentega, telur, coklat berbentuk bulat berukuran kecil dan bahan lainnya.
"Kali ini kamu bikin salah apa sama Muti?" tanya Anto yang tiba-tiba muncul sembari membenarkan posisi kacamata yang ia kenakan.
"Eh, papah tahu aja. Kemarin aku ngilangin topi kesayangan Muti hehe," timpal Ana tanpa melihat orang yang diajak bicara. Tangannya masih sibuk menata loyang yang baru saja keluar dari oven. Jenis kue ini perlu didiamkan setidaknya tiga puluh menit begitu selesai dipanggang agar bentuknya kokoh. Jika dipaksakan diangkat dari loyang, yang terjadi kuenya akan mudah patah dan hancur. Anto duduk lalu memandangi loyang-loyang di hadapannya.
"Kalau papah jadi Muti, papah gak akan mau lagi tuh temenan sama kamu," celetuk Anto ampuh mengubah wajah Ana tampak cemberut.
"Kok gitu?!" Ana jelas tak terima.
"Setiap bikin salah malah ngasih kue, bukannya minta maaf," ungkap Anto.
"Untung papah bukan temen aku. Muti aja ngerti kok kalo kue ini bentuk penyesalan aku. Emang cuma Muti yang ngertiin aku," balas Ana membuat Anto tertawa.
"Papah ke bandara dulu ya, jemput istriku," ucap Anto.
"Bukannya besok ya mamah pulang?"
"Dipercepat. Udah kangen sama papah katanya,"
"Dih!" kata Ana sambil bergidik. Anto kembali tertawa, kali ini ia sambil berlalu meninggalkan dapur dan kesibukan Ana.
Satu jam kemudian Ana mulai menata kuenya ke dalam tiga toples. Satu toples untuk Muti. Satunya lagi untuk stok camilan di rumah. Satu toples lagi entah untuk siapa. Yang jelas toples itu yang paling diperhatikan oleh Ana dibanding toples lainnya. Usai itu, Ana naik motor vespa miliknya menuju rumah Muti. Tanpa babibu Ana langsung memberikan setoples kue pada sahabatnya yang sudah khatam apa maksud ini semua. Tentu saja Ana dimaafkan.
"Dimakan ya! gue mau jalan lagi," Ana bicara di atas motornya yang sudah menyala dan siap pergi.
"Kemana lagi?" tanya Muti.
"Ketemu Budi,"
"Lagi?!" wajar Muti kaget, sebab baru kemarin keduanya bertemu di lapangan olahraga dan hari ini Ana dan Budi kembali bertemu.
"Gue mau nemenin dia ngopi. Bye!" tanpa menunggu respon dari Muti, Ana langsung tancap gas meninggalkan Muti yang hanya bisa melongo menyaksikan keanehan sahabatnya. Tidak pernah terjadi sebelumnya Ana begitu antusias dengan orang baru. Kini Muti jadi penasaran seperti apa sosok Budi itu.
Ana langsung menuju parkiran kafe. Perlu sedikit keahlian khusus untuk bisa parkir dengan rapih mengingat saat ini hanya ada ruang terbatas yang tersisa untuk motor Ana. Budi telah memberi tahu Ana untuk langsung masuk ke kafe karena ia telah memesan kopi untuk Ana juga.
"Thank you banget udah nunggu. Tadi mampir ke temen dulu," ucap Ana begitu ia ada hadapan Budi.