Satu jam terakhir Muti nyaris tak bersuara. Di sisi lain Ana masih bercerita dengan penuh semangat meski kini mereka sudah ada di ujung cerita.
"Nanti kafe ini bakal jadi kafe paling keren deh gue jamin! jadi gue bisa pamerin ke temen-temen gue di tempat kerja yang dulu kalo gue bisa lebih keren dari mereka. Jadi owner kafe! dan sekarang gue gak berhenti untuk mikir dan ngebayangin kalau pembangunan kafe ini bakal gagal. Kalaupun kafenya jadi, gue akan membayangkan kafenya bakal jelek dan kumuh. Sampai orang gak ngeh kalau itu kafe. Biar nanti yang kejadiannya kebalikan dari pemikiran gue tadi," pungkas Ana menyudahi cerita yang jika ditulis entah berapa ribu jumlah kata yang ia gunakan.
Muti menghela napas berat lalu menggaruk kepalanya yang sama sekali tak perlu digaruk.
"Sumpah ya, makin gak ngerti gue sama jalan pikiran lo sekarang," ucap Muti. Tak terima dengan perkataan sahabatnya, Ana yang semula duduk santai sekarang mulai menyilangkan kedua tangan di dadanya.
"Kenapa sih lo akhir-akhir ini? apapun yang gue lakuin kesannya salah terus di mata lo!" protes Ana.
"Emang lo salah. Pikir aja, orang gila mana yang langsung percaya sama orang yang baru dikenal sampe mau bangun bisnis bareng? gimana kalo dia penipu? gak ada yang tahu, Na! orang sekarang tuh gak bisa ditebak, kalo dia punya niat jahat gimana?" kali ini Muti kembali berbicara dengan emosional.
"Oke, gue paham. Lo khawatir kan? tapi lo tahu sendiri kan, apapun saran lo-," kata Ana seolah benar-benar memahami maksud Muti. Orang di hadapannya hanya mengangkat kepalanya sedikit.
"Gak akan mengubah keputusan lo. Gitu kan?" potong Muti sebelum Ana benar-benar menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi Mut, lo juga bakal bangga sama gue nanti. Bayangin, sahabat lo ini jadi owner kafe! owner loh Mut, OWNER!!"
"Iya iya. Gue bantu doa aja lah buat kebaikan ibu owner," akhirnya hanya itu yang dapat Muti katakan. Seketika Ana memeluk Muti erat-erat.