Satu pekan telah berlalu sejak pertama kali Ana menceritakan ide bisnis ini pada Muti. Budi berdiri dengan senyuman lebar menyambut kedatangan Ana ke lokasi bakal kafe mereka. Sesaat setelah Ana turun dari motor vespanya, Budi dan Ana saling menyapa.
"Semua yang lo minta udah gue wujudkan," kata Budi lansung membuat Ana sumringah.
"Semuanya banget nih?" tanya Ana sambil berjalan beriringan dengan Budi mendekat ke ruko yang mereka sewa.
"Beneran semuanya. Alat-alat bakery dengan brand yang lo mau, interior, dan dekor yang lo minta. Gak ada yang kelewat," papar Budi dengan bangga dan antusias. Lalu tibalah Ana di dalam ruko yang masih terlihat berantakan dengan berbagai benda menumpuk di beberapa titik.
"Eh?!" Ana reflek mengeluarkan suara karena kaget dan nyaris tak percaya dengan apa yang tengah ia saksikan. Warna cat dinding yang pertama kali membuat dada Ana terasa sesak. Memang benar Ana meminta dinding dicat dengan warna abu demi membuat suasana tenang dan menambah keindahan tapi tetap minimalis. Tapi entah apa yang salah, warna abu yang ia lihat sekarang tak ubahnya warna semen yang belum kering. Meski begitu, Ana mencoba berpikir positif mungkin hanya itu kekurangannya. Kemudian Ana mulai mengecek alat-alat untuk ia membuat kukis coklat. Semuanya lengkap, sesuai seperti pintanya. Ana sedikit lega. Pun saat ia melihat-lihat alat pembuat kopi, terlihat proper dan berkualitas baik.
"Gimana, oke kan?" Budi memastikan. Meski sedikit kaget, tapi Ana berusaha terlihat tenang.
"Iya.. oke kok," ucap Ana sedikit tergagap. Detik berikutnya mata Ana mulai melirik ke arah lain. Kursi, meja, dan properti lainnya benar sesuai keinginan Ana;berbahan kayu. Namun, apa yang Budi beli bukan seperti apa yang ia inginkan dana bayangkan sebelumnya. Meski bentuknya menyerupai, warnanya sangat mendekati, tapi semuanya berkualitas nomor 2. Nyaris seluruh properti terbuat dari kayu palet yang di mata Ana bukan terlihat estetik, malah terlihat murahan dan kumuh. Pun dekorasi lainnya yang jauh dari kualitas premium. Ditambah ruang kafe yang tidak begitu luas tidak seperti yang terlihat di foto membuat Ana tambah kecewa.
"Kita bisa mulai beres-beres sekarang, kan?" tanya Ana tak sabaran. Untungnya Budi langsung mengiyakan begitu Ana bertanya. Jauh dalam hatinya, Ana terus berharap semoga setelah semuanya sudah berada di tempatnya penampilan kafe ini akan menjadi lebih baik. Nyaris seharian penuh hingga petang menyapa Ana dan Budi berbenah sejak pagi. Saat siang keduanya menyempatkan beristirahat sembari makan siang sebelum kembali berbenah. Saat ini kesiapan kafe untuk buka mencapai 90 persen.
"Akhirnya, selesai juga," ujar Budi sambil bertolak pinggang memandangi seluruh isi kafe yang sudah tertata. Ana yang berdiri di sebelahnya tak terlihat sebahagia Budi. Ada gurat kecewa yang masih terpendam. Untungnya Budi tidak mencium kekecewaan itu.
Secangkir cappucino dengan gambar hati di atasnya Budi persembahkan untuk Ana. Sementara Budi membuat americano untuk dirinya sendiri. Hari mulai malam, tapi Ana dan Budi memutuskan untuk beristirahat dulu di kafe sebelum pulang.
"Rencananya kapan kita bisa mulai soft opening?" Budi bertanya pada Ana yang sejak tadi hanya memandangi gelasnya.
"Kok gak diminum?" tanya Budi lagi. Ana terkesiap dibuatnya.